webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

DUA GUNUNG

Angin berhembus mistis dari arah gunung. Menyentak rumah sederhana yang mendadak hening. Satu per satu rokok menyala. Membunuh dingin yang menjalar, melesap bersama aliran darah. Tapi, belum juga ada petunjuk.

"Jadi bagaimana, Tata?" Tak sabar lelaki itu mendesak.

"Apa mungkin kami bisa mendaki Gunung Bawakaraeng malam ini atau besok?"

Tata Rasyid, lelaki tua yang hatinya terikat pada Hutan Bawakaraeng menggeleng.

"Jangan! Sangat berbahaya untuk mendaki. Bukan saat yang tepat. Dirikan tenda saja di Lembah Ramma."

Beberapa pendaki yang datang dari Makassar mengangguk. Sebagian lagi tak mau mendengar petuah orang tua. Mereka kemasi barang. Pikirnya akan sia-sia, jauh-jauh datang dari Jakarta, harus sampai di Puncak Bawakaraeng.

Pintu rumah Tata Rasyid dibuka. Oleh tangan Tata sendiri. Dia biarkan anak-anak muda yang terlalu percaya diri itu pergi. Pada beberapa orang yang tinggal, Tata Rasyid merajang air. Menyeduh teh. Duduk di tengah-tengah mereka.

"Dirikan tenda besok saja. Menginaplah Kalian malam ini di sini."

Prana mengangguk. Ini bukan pertemuan pertamanya dengan Tata Rasyid. Siapapun yang hendak mendaki Gunung Bawakaraeng pasti singgah di rumahnya untuk minta petunjuk. Jika Tata Rasyid bilang tidak, tak ada alasan untuk menentang. Hutan Bawakaraeng adalah sahabatnya sendiri. Dia jauh lebih kenal alam yang melahirkannya.

Satu cangkir teh diberikan Tata Rasyid pada Prana. Perlahan, teh dalam teko yang dipegang Tata Rasyid mengalir ke cangkir.

"Kau tahu, Nan? Sering pendaki datang ke sini untuk bertanya, tapi dengan tingkah yang sombong sekali. Nan, ketahuilah, cangkir hanya bisa diisi ketika menempatkan diri lebih rendah dari teko."

Prana tersenyum. Kembali mengangguk. Mereguk teh hangat dari cangkir yang ada di genggamannya. Pelan-pelan saja. Rokok kembali dihisap. Menemani gelap yang penuh rahasia.

Saat sinar mentari masih lunak, perjalanan menuju Lembah Ramma dimulai. Tata Rasyid ikut mengantar. Sesekali Tata Rasyid bercanda. Membuat rombongan tertawa lepas. Lupa sudah dengan rencana semula, mendaki Gunung Bawakaraeng.

Daun-daun hijau melenggok penuh pesona diiringi buaian angin. Seperti gadis beranjak dewasa yang menggoda. Titik-titik embun tersisa di ujungnya. Katanya, orang yang bertahun-tahun hidup di hutan sanggup tak makan dan minum — hanya dengan menyerap energi dari semesta. Apa benar begitu? Tangan Prana bergerak cepat, memetik daun segar dan menghirup embun yang luruh.

"Hati-hati, Nan, orang-orang dulu percaya, para Dewa bersemayam di pucuk daun."

Entah bisikan apa yang mampir di telinganya. Tata Rasyid tahu, tangan jahil Prana telah melukai alam.

Plak! Tak perlu menunggu lama untuk menjawab kata-kata Tata Rasyid. Biar jagad raya yang bicara. Satu dahan besar menampar wajah Prana. Semua ada karmanya. Hanya sampai Lembah Ramma saja, Tata iringi rombongan. Prana mendirikan tenda.

Pandangnya dilepas menyambut kesunyian Lembah Ramma. Padang rumput yang hijau. Dipeluk bukit tinggi bak permaidani. Ternak dan buruan merumput tanpa diganggu.

Dua sampai tiga bilah kayu diambil dari hutan. Sekedar untuk membuat api malam nanti. Angin berhembus kencang. Membawa kenangan-kenangan suram yang tak perlu diingat. Pada bintang yang enggan jatuh, Prana titipkan risau hati. Andai ada kehidupan baru yang dapat dijemput pulang. Sayang, malam itu dia lewati sebatas melawan dingin.

Besoknya, Dia kemasi barang-barang. Menuju rumah orang tua lainnya. Sendirian, membelah keheningan yang tidak terjamah bising kota. Nan melintasi rumput-rumput hijau, melangkah ke pondok kecil legendaris.

Tata Mandong menyambut penuh gairah. Bukan untuk kedatangan Prana saja, tetapi untuk sebungkus rokok dan dua liter beras yang ada dalam tasnya. Lelaki tua itu, penjaga Gunung Bawakaraeng, entah sudah berapa lama mengabdikan hidupnya menjaga hutan tetap lestari.

Tak ada keluarga Tata Mandong yang menemani. Sebatang kara, dia lawan sunyi di usianya yang lebih dari 60 tahun. Di dalam pondok Tata Mandong, Prana menyeduh kopi panas. Duduk kembali di keheningan.

Beberapa hari lagi akan ditinggalkannya surga ini. Kembali dalam jebakan kota metropolitan yang gaduh. Apa yang bisa dia lakukan? Kota itu, seribu satu racunnya sudah melemparnya ke pulau lain. Melarikan diri dari drama tak masuk akal. Sekarang, kuliahnya sudah selesai. Menggelayut bisikan nyinyir Iwan Fals tentang Sarjana Muda.

Mau apa kau, Prana Marauleng? Enam tahun lalu dikirim orang tua dari Jakarta. Kembali ke kampung halaman untuk belajar. Enam tahun pula hidup aman. Berlindung di balik gelar maha-siswa.

Tak perlu berkubang dalam hidup mapan yang kacau. Makan seadanya. Tidur semaumu. Itupun kalau organisasi tak sedang rapat. Kalau organisasi yang kau pilih sedang kongres, nah, jangankan matamu bisa terpejam, tenaga pun habis untuk baku hantam.

Prana Marauleng, habis kau sekarang! Andai anak-anak tak pernah dewasa. Andai manusia tetap jadi anak-anak yang melihat dunia dengan polos. Jujur bertutur tanpa berpoles persona 'Maha Sempurna'. Andai tak ada norma-norma baku sok dirumuskan orang-orang tua. Mungkin tak ada yang hilang arah. Paham diri sendiri sampai ke urat nadi.

Ah, andai….pekerjaan berandai-andai begini juga hanya boleh dilakukan anak-anak, kan? Orang dewasa cuma wajib bekerja. Mencari sukses. Bukan membuang waktu dengan tanya-tanya tak berguna.

Syahdu permainan kecapi menusuk sunyi yang kian pekat seperti kabut. Belum juga senja. Tata Mandong, lelaki tua penjaga Gunung Bawakaraeng, sudah melihat ratusan pasang mata nanar. Jiwa anak muda yang resah.

Mencari-cari bayangannya sendiri di kaki gunung. Jari-jemari Tata Mandong makin lihai bermain kecapi. Meliuk bersama pikiran Prana yang terbang entah ke mana.

"Naaaannnn…."

Suara Tenri, kawan satu rombongan Prana menembus pohon-pohon bisu. Petikan kecapi Tata Mandong berhenti. Prana sadar dari lamunan panjangnya.

Tenri, masih terengah-engah.

"Hosh…Nan, pendaki dari Jakarta kemarin itu tersesat dan hilang di Gunung Bawakaraeng. Satu orang berhasil menemukan jalan ke rumah Tata Rasyid. Sekarang Tata Rasyid sedang naik, mencari mereka yang hilang."

Seketika Tata Mandong beranjak dan melupakan kecapi tuanya. Langkahnya dipacu tak terburu-buru, tapi tetap bergegas. Menuju Gunung Bawakaraeng

--- 0 ---

Perempuan dewasa muda bergulat dengan pikirannya sendiri. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua minggu aku meninggalkan rumah. Terbayang melati kesayangan Abah yang pasti sudah mekar. Sedang cantik-cantiknya.

Sejak September 2010 lalu, Puncak Garuda kembali goyah. Perlahan tapi pasti, semburan-semburan kecil mampir memberi kejutan. Seperti memberi pesan, kalau "dia" ada. Satu tim repeat assasment diberangkatkan dari Jakarta. Dalam tim ini aku tergabung.

Bersamaku, ada dua perempuan gesit yang sedang asyik menyusun skripsi. Dahan Jati dan Cemara Larasati. Rencananya kami hanya tinggal tiga hari di Cangkirngan. Apa mau dikata? Takdir rupanya tidak mau diatur.

Sehari sebelum berangkat, gunung sakral itu mulai meletup-letup lagi. Mengeluarkan wedus gembel yang melahap ternak milik warga. Orang-orang di sekitar lereng Merapi diungsikan. Meski ada saja yang bertahan, termasuk kuncen Gunung Merapi yang tidak tergantikan, Mbah Maridjan.

Si Mbah yang menerima perintah dari Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjaga Gunung Merapi itu memilih setia. Tak akan turun meski Gunung Merapi terus bergejolak. Mbah Maridjan ditemukan meninggal dalam keadaan bersujud oleh dua relawan — yang nekat naik ke Gunung Merapi untuk mengevakuasi jenazahnya. Tentu saja sambil kejar-kejaran dengan wedus gembel yang panasnya siap bikin kulit melepuh.

Cerita Mbah Maridjan ini masih santer terdengar, saat pertama kali aku sampai di Cangkringan. Mas Juki dan Kang Aman — dua relawan yang mengevakuasi jenazah Mbah Mardijan — terus mengenang detik-detik menegangkan itu. Meski mereka mulai lelah meladeni pertanyaan tidak masuk akal yang dilontarkan orang-orang korban media.

"Jadi waktu meninggal itu Mbah Maridjan sujudnya menghadap Pantai Selatan atau Keraton Jogja?"

Menghadapi pertanyaan model begini, kening Kang Aman langsung berkerut.

"Yo mana saya tahu, lah wong pas evakuasi kejar-kejaran sama wedus gembel. Mana sempat lihat arah utara atau selatan…."

"Jadi berita di TV itu…."

"Ngaco semuanya! Lagi bencana begini masih sempat-sempatnya cari sensasi!" Mas Juki menjawab ketus. Dia kesal sekali.

Wajar saja, kurasa dia masih tegang. Aku pun bisa merasakan tubuhku ikut tegang. Pos relawan yang kami huni ini berada di 12 km. Sedangkan zona aman berada di 15 km. Otomatis rasa senewen selalu mengepung jantung relawan.

Aku masih ingat, setiap membuka jendela, yang pertama kali dilihat adalah gumpalan awan panas. Belum lagi bau belerang menusuk ke hidung. Harus pakai masker berlapis kalau tak mau sesak napas.

Biar udara tak terlalu ramah, setiap hari relawan tetap keluar dari Pos. Ada tim medis yang dipimpin dr. Adriana, dokter cantik yang rela naik dan turun gunung untuk melihat kondisi kesehatan pengungsi. Walau perempuan, dr. Adriana ini perkasa sekali, tidak takut menyisir tempat-tempat terpencil.

Ada tim ternak yang diketuai Mas Sapi. Aku tidak pernah tahu nama aslinya — tapi karena dia bertugas menyelamatkan sapi dan hewan piaraan warga — kupanggil saja lelaki itu Mas Sapi. Dia yang tak bosan menyuarakan hak-hak dasar para sapi. Ada tim evakuasi dan rescue, yang jadi bosnya ya pasti Mas Pandi, lelaki gondrong yang jago naik-turun gunung.

Ada yang khusus untuk dokumentasi. Urusan ini dipercayakan pada Mas Jiwo — seorang fotografer yang mengabdikan dirinya menjadi relawan di setiap penanggulangan bencana.

Bagi seluruh relawan di Merapi, Mas Jiwo adalah ayah sekaligus komandan yang "gateli". Jahil sekali. Tetapi saat kami lelah, Mas Jiwo yang juga seorang therapys di Bali, tak sungkan memijat kaki kami. Tentu saja dengan embel-embel:

"Manja? Baru segitu sudah manja? lelah? Jangan manja ya! Masa relawan manja?"

Tim terakhir berisi kakak-kakak manis yang harus selalu tersenyum menghibur pengungsi, khususnya anak-anak. Tim Sekolah Ceria. Tempatku, Dahan dan Laras bergulat setiap hari. Menyiapkan lagu, permainan dan stok kesabaran yang bergunung-gunung — untuk menghadapi anak-anak yang kadang ketakutan.

Semua tim yang ada di Cangkringan turun lapangan sebelum jam makan siang dan baru kembali sore hari. Kadang sampai malam. Setiap hari pula, tim Sekolah Ceria datang ke sekolah-sekolah yang menjadi tempat pengungsian sementara. Ada permainan dan cerita yang dibacakan untuk anak-anak. Bila waktu menggambar tiba, seisi kelas berubah.

Dari tiga kelas yang ada di satu sekolah saja, bisa ditebak, semua anak akan menggambar satu gunung. Bukan dua gunung dengan matahari di tengah, tetapi satu gunung besar yang mengeluarkan lahar berwarna merah.

Tim Sekolah Ceria yang melihat gambar-gambar ini selalu bingung. Kenapa anak-anak bisa menggambar gunung yang sama? Gunung meletus berwarna merah seperti darah.

Suatu hari, kami bertugas di pengungsian Kaliadem — pengungsian yang paling dekat dengan puncak Gunung Merapi. Hujan turun deras disertai gemuruh kencang. Kami tak sempat menghibur anak-anak. Pengungsi baru pindah ke tempat ini. Kacau sekali. Tidak ada penerangan yang menyala, pengungsian gelap-gulita.

Kami berkeras ingin menginap di pengungsian. Tetapi, Mas Cepi —yang saat itu mendapat tugas menemani kami — memaksa kembali ke pos. Tak pernah Mas Cepi sekeras itu. Kami diperintahkan kembali ke pos, sore itu juga.

Bahkan Mas Juki dan Mas Pandi sendiri yang menjemput. Prediksi Mas Juki, letusan hebat akan segera terjadi. Hujan deras menekan magma yang ada di dalam Gunung Merapi.

Tak perlu menunggu sehari semalam untuk membuktikan ramalan Mas Juki. Sejak ba'da Maghrib, Kang Aman dan Mas Jiwo — yang tengah memantau Gunung Merapi dari Pos Selo — meminta seluruh relawan di Cangkringan untuk bersiap.

Wedus gembel mengarah ke Cangkringan. Mas Pandi yang tak putus kontak dengan kawan-kawan TAGANA dan JALIN MERAPI tak bisa duduk tenang. Hatiku jadi tidak karuan. Sejak beberapa jam lalu, kami sudah diperintahkan untuk meletakkan semua barang di luar pos. Antisipasi jika terjadi letusan besar.

Memang dari kemarin juga kami rasakan, hewan-hewan sudah turun gunung. Terdengar jelas bila tengah malam. Suara gemuruh bersahutan dengan langkah kaki puluhan hewan yang bergesekan dengan tanah.

Mas Pandi, lelaki Lombok dengan hati priyayi Jogja itu tahu betul aku cemas. Dia bawakan dua cangkir kopi hitam tubruk. Satu buatku dan satu lagi buatnya. Handie Talkie-nya dilepas sebentar. Dia mengambil gitar dan memainkan satu tembang Jawa yang mengalun syahdu.

"Tidak akan terjadi apa-apa," ujarnya. "Kamu tidurlah…aku menjaga di sini."

Aku turuti kata-kata lelaki pemberani itu. Baru saja mataku ingin terpejam. Tepat jam 12 malam, gempa hebat terjadi. Gemuruh terdegar. Lolongan hewan sahut-menyahut. Ratusan langkah kaki menekan bumi begitu keras. Melahirkan bunyi yang tak akan terlupa seumur hidup.

Lahar panas meluncur dari Puncak Garuda. Menerabas alam yang hampir terlelap. Gemetar lutut tak bisa dibawa bergerak. Jalan yang tidak seberapa besar itu macet total. Semua ingin berlari. Semua ingin selamat.

Dan, di sinilah tubuh perempuan ini berada. Mahia Areta. Hampir dua minggu sudah tak bisa pulang ke Jakarta. Terjebak dan tak bisa meninggalkan mata para bocah yang begitu polos.

Di pengungsian ini, Stadion Maguwoharjo, setiap hari ada anak yang menangis karena haru menemukan bapak dan ibunya. Setiap hari ada anak yang menangis karena frustasi kehilangan bapak dan ibunya.

Kini anak-anak itu menjadi tanggung jawabku. Kemarin di pengungsian Kampus UIN, ada anak perempuan usia lima tahun yang tak bisa bicara. Anak itu hanya bisa melotot. Kata orang-orang, anak perempuan itu trauma dan kehilangan orang tuanya.

Di Kampus Veteran, kasusnya lain lagi, relawan membuat rumah khusus untuk bayi, ibu hamil dan ibu menyusui. Tetapi anak yang dirawat di tempat itu panas tinggi. Laras ketakutan dan cepat memanggil ayahnya.

Begitu melihat ayahnya, anak itu langsung sembuh. Anak itu pun kembali ke pengungsian orang dewasa.

Pahamlah kami, para relawan yang sok ke-barat-barat-an. Ruang khusus Ibu dan Anak — yang digadang-gadang sebagai bagian dari perlindungan HAM oleh negara-negara Eropa — tak berlaku di Jogja. Pengungsi letusan Gunung Merapi ini hanya butuh kumpul bersama orang-orang tercinta. Kami sadar, kami harus lebih banyak memahami perasaan korban.

Untunglah, di Stadion Maguwoharjo, tugas tim Sekolah Ceria jadi agak ringan. Berbagai tim dari Jakarta datang dalam dua gelombang. Bergabung dengan tim relawan yang ada di Jogja. Memang penanggulangan bencana ini serba lucu. Ada lembaga-lembaga yang dengan senang hati bergandengan tangan. Melepas semua atribut demi kepentingan pengungsi.

Ada juga yang aneh-aneh. Hobi pasang bendera di mana-mana. Baru bantu sedikit, tapi foto-foto lebih dari puluhan kali. Ada yang datang sebentar langsung pamer di linimasa. Mengejar komentar dan jempol warganet.

Pernah ada dokter perempuan dari Jakarta. Dia datang ke tenda medis dan bicara sampai berbuih. Dia berpikir akan tidur bersama pengungsi. Ternyata sampai di Jogja malah disediakan rumah yang nyaman. Setelah panjang lebar bicara, Ia tanya jalan menuju Malioboro, katanya mau belanja batik di sana. Relawan yang sudah sebulan berkutat dengan abu vulkanik, mana sempat begitu?

Kemarin, tim yang kini ditempatkan di bagian anak dan perempuan sampai dapat peringatan keras dari pengungsi. Ini pengungsi yang protes. Relawan-relawan dipaksa mandi, karena mukanya sudah kucel dan bajunya kusut tak karuan. Pengungsi malah jadi iba, melihat relawan bak anak hilang tidak terurus.

Habis mau bagaimana? Kalau siang urus pengungsi, malam jatahnya evakuasi. Masih banyak manula yang bertahan di lereng Merapi. Apalagi yang ada di Salam, Muntilan, Magelang. Mereka ogah dibawa menjauh dari rumahnya. Mereka percaya kalau Gunung Merbabu akan melindungi.

Katanya, lahar Merapi tak akan sampai pada mereka. Merapi itu lebih muda dari Merbabu. Merapi hormat, sehormat-hormatnya. Nah, berhadapan dengan orang tua model begini, bagaimana relawan tak jadi kusut?

Belum lagi cerita-cerita mistis seputar letusan Gunung Merapi. Ada batu besar yang hingga kini tak bisa dipindahkan. Kata warga sekitar, sebelum Gunung Merapi meletus, warga di Magelang itu mengambil pasir dari gunung. Sampai di rumah, si pasir itu tiba-tiba bisa bicara:

"Aku jangan diambil, kembalikan ke tempatku. Kalau kamu mau pasir, besok aku antar yang banyak ke tempatmu."

Sehari kemudian, Gunung Merapi meletus. Rumah orang yang mengambil pasir itu tertimbun pasir panas yang tumpah dari letusan Gunung Merapi. Anehnya lagi, aliran lahar yang harusnya mengikuti arus sungai malah melenceng ke pemukiman warga.

Ternyata, sungai yang sekarang ada di Muntilan itu sungai buatan Belanda. Sungai yang asli diubah menjadi pemukiman. Tetapi alam rupanya tak mau didikte. Tetap saja, lahar mengalir mengikuti jalur sungai yang lama.

Dua hari lalu juga relawan dibuat panik. Seorang bayi penderita hidrosefalus di pengungsian Kampus UIN Sunan Kalijaga harus mendapat kasur hari itu juga. Jika tidak, anak itu bisa kritis.

Persedian kasur di gudang logistik kosong. Pasar-pasar di kota sekitar pun kehabisan stok. Bukan main takutnya relawan, khawatir anak malang itu meninggal di pengungsian.

Syukurlah, pengungsi di Stadion Maguwoharjo merelakan kasur mereka. Biar buat anak itu saja katanya. Duh, trenyuh rasanya. Saat dalam kondisi susah pun, masyarakat Jogja masih mendahulukan saudara-saudaranya.

Ada beberapa bocah, anak pengungsi juga, yang ingin menjadi asisten relawan. Mendampingi tim mengajar dan mengajak main anak-anak. Mulia sekali kan mereka ini? Seorang anak lelaki bernama Dipta selalu membawakan buku dan catatan relawan.

Gayanya benar-benar seperti sekretaris. Lucu sekali. Setiap sore, belajar dan bermain bersama di pengungsian ini menjadi jauh lebih menyenangkan. Apalagi anak-anak kreatif. Pakaian bekas sumbangan donator malah ditumpuk setinggi gunung, lalu dijadikan perosotan dadakan.

"Itu, yang warnanya merah itu, lahar panas. Mengalir mengikuti aliran sungai. Kalau sampai ke Kali Code, nanti jadi lahar dingin," ujar salah satu anak Merapi yang mengungsi di Stadion Maguwoharjo.

Aku menunjuk ke arah Gunung Merapi. "Oooh…yang seperti gulali itu wedus gembel kan?"

Anak yang lain menanggapi. "Iya Mbak, kata si Mbok, kalau wedus gembel di balik gunung berarti ndak mengarah ke kita. Ndak perlu lari. Tapi kalau menutupi gunung, yo harus lari, wedus gembelnya mengejar kita toh…"

Ya, di sinilah aku, Mahia Areta. Membeku di lantai lima Stadion Maguwoharjo. Tempat paling pas memantau geliat Gunung Merapi. Belajar memang bisa dilakukan di mana saja. Meski dalam keterbatasan.

Tetapi, aku tahu, bukan anak-anak itu yang sedang belajar. Justru aku yang tengah menimba ilmu bumi yang sesungguhnya. Anak-anak Merapi di pengungsian Stadion Maguwoharjo adalah guru cilikku yang membuka tabir kuasa Ilahi.