webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

PUISI UNTUK DAHAN

Seperti apa rasanya belajar renang di dalam kelas? Atau belajar tuntunan sholat tanpa pernah praktek? Bagaimana bisa percaya hukum newton tentang gravitasi, tanpa pernah menjatuhkan satu benda pun? Adakah arus listik bisa dilihat dan udara dapat diraba?

Ada banyak tanya dalam benakku saat kecil. Tanya yang perlahan menyusut saat gelar beranjak dewasa disemat tanpa persetujuan. Aku terbiasa belajar di balik meja. Menghafal rumus-rumus sakti dan jembatan keledai agar cepat ingat.

Adakah sekolah mengajarkan ide negara integral warisan Soepomo? Atau pernah diajar konsep merdeka 100% impian Tan Malaka? Tidak. Sekolah dengan pelajaran sejarahnya hanya memberitahuku tempat tanggal lahir sang pahlawan dan waktu kematiannya. Seakan kelak aku hanya jadi petugas catatan sipil atau juru tulis di Kecamatan.

Begitulah aku dididik. Bertahun-tahun disuruh menghafal teori di atas kertas. Semua jawaban ujian ada di buku. Wajar bila ada anak yang tidak hafal, lalu mengambil jalan pintas. Saat ujian, diam-diam menyontek di buku. Oh kasihan nalar, tidak pernah dipakai untuk analisis mendalam. Apalah lagi menyusun kritik dan pendapat sendiri.

Bagaimana bisa kurasakan sensasi Kartesius? Konon sang ilmuwan hanya perlu melamun sambil menatap langit-langit di rumahnya. Membayangkan cicak yang berjalan dari satu titik ke titik lain. Lalu dari sana, dia mencipta apa yang kini disebut garis koordinat.

Apakah bisa kuulang lagi kebahagian Archimedes — saat dia sedang mandi dan berteriak: eureka! Archimedes membangun teorinya saat melihat dirinya direndam air yang ada dalam bak kamar mandinya.

Tetapi hidup akhir-akhir ini terlampau berat, kan? Tidak ada perenungan dalam setiap detik yang terlewat. Waktu berjalan cepat dan cerita berlalu begitu saja. Seperti robot yang melupakan pengalaman-pengalaman kecil. Cuplikan peristiwa abai diingat, sebab hidup berjalan tanpa makna. Dan, aku lupa artinya belajar.

Padahal bertahun-tahun silam, Dewey memberi fatwa yang terus bergema hingga hari ini: belajar adalah mengalami. Tidak ada pembelajaran dalam dunia khayal yang hanya dihapal tanpa pernah dicoba. Sedang menanam padi saja ada ilmunya. Tidak semudah di buku panduan.

Sebab belajar bukan tugas yang sekali selesai. Sama seperti bumi yang berputar, waktu yang bergulir dan hidup yang berproses, belajar pun punya daurnya sendiri. Mencoba, menganalisis, menyimpulkan dan melakukan. Seperti lingkaran tak bersudut, yang tak pernah mengenal henti.

Bagi pendamping di Kebun Sayur, prinsip ini menjadi tantangan sendiri. Anak-anak sudah jenuh dengan pola pendidikan gaya bank seperti di sekolah — dimana murid bersifat pasif dan hanya menerima curahan ilmu pengetahuan dari guru.

Di Kebun Sayur, anak-anak sendirilah yang belajar, pendamping hanya sebagai rekan belajar. Anak-anak tidak digurui, tetapi mencoba sendiri apa yang mesti mereka pelajari.

Pernah aku mendampingi Kelompok 5 memahami pecahan. Aku belikan anak-anak pizza. Ini sebagai hadiah karena mereka berhasil mengemas bingkisan untuk pendamping dengan baik. Pizza itu aku bagi menjadi 12 bagian.

"Ini ada satu Loyang pizza, dibagi 12. Kita ada 8 orang. Setiap orang mendapat 1 potong pizza…hmmm….Maya, berarti berapa yang sisa?"

Maya melihat ke kardus pizza. "Tinggal 3, Kak…"

"Tinggal 3 potong dari 12 potong. Ada yang tahu cara menghitungnya tanpa melihat kardus? Hmmm…Iyom mungkin?"

"12/12 – 8/12 = 3/12."

"Ini masih ada sisa 3 potong dari 12 potong. Siapa yang mau tambah lagi?"

"Aku, Kak," ujar Yanti.

Aku memberikan satu 1 potong pizza ke Yanti.

"Jadi Yanti dapat berapa?"

"Dua potong, Kak."

"Kalau dihitung dari 12 potong pizza?"

"Hmmm….1/12 + 1/12 = 2/12."

"Siap. Kalau Neni dapat berapa?"

"1/2, Kak"

"Loh kok 1/2?"

"Kan makannya berdua sama Zeulin."

Hampir saja aku tertawa. "Nah, kalau begitu, satu orang kan dapat 1/12 bagian, kalau dibagi 2, jadinya seperti ini 1/12 : 2/1 = 1/12 x 1/2 = 1/24."

Itu beberapa waktu lalu. Minggu ini kami bermain sudut. Anak-anak Kelompok 5 memang pernah mengeluh, mereka sulit memahami sudut bersebrangan atau bersisian. Hanya sekedar menggambar garis-garis saja, kepala mereka sudah pusing. Jadi hari ini kami menggunakan bangunan yang ada di Kebun Sayur saja: Mushola.

Mushola ini kebetulan punya empat sudut. Anak-anak mengambil ranting di lapangan dan membentuk garis-garis diagonal. Lalu kami mulai bermain. Setiap anak mengambil posisinya masing-masing. Aku hanya tinggal memberi instruksi.

"Sudut dalam bersebrangan!"

Yang merasa berada dalam posisi sudut dalam bersebrangan langsung pindah. Begitu juga dengan sudut-sudut yang lain.

Bila ada salah satu dari mereka yang membuat kesalahan, anak yang lain akan teriak:

"Salaaaahhh…."

Ramai sekali. Pada kenyataannya, kesalahan terjadi berkali-kali. Tetapi aku tidak banyak komentar. Anak-anak sendiri yang saling mengkoreksi satu sama lain. Jika mereka berbeda pendapat, baru aku turun tangan.

Beberapa kali dicoba, akhirnya anak-anak bisa paham tentang sudut dan sisi.

Sementara Kelompok 5 riuh berlari-lari sampai bertuburukan di dalam Mushola, kelompok 2 yang didampingi Nan malah asyik mencabuti rumput. Rumput itu disambung dari satu titik ke titik lain, menjadi garis. Lalu garis terus disambung dan dibentuk bidang. Bisa menjadi segitiga, bujur sangkar atau persegi panjang.

Kelompok 3 yang didamping Dahan, lain lagi. Mereka tidak ingin mengulik logika. Ini hari terakhir Dahan di Kebun Sayur. Beberapa hari lagi Dahan pindah ke Jogja. Menjadi peneliti di LSM lokal. Dahan meminta anak-anak di Kelompok 3 untuk membuat puisi.

Anak-anak berpencar mencari inspirasi. Sejam kemudian baru mereka kembali. Anjay datang dengan puisinya yang berjudul: "MATAHARI".

Matahari, kau sangat terang pada siang hari

Kau membuat tumbuhan menjadi subur dan tumbuh

Kau mengeringkan pakaian di bumi

Kalau tak ada kau, pakaian tidak mungkin akan kering

Dan tumbuhan akan layu

Kau bagaikan sumber daya manusia….

Dahan hampir saja terbahak-bahak membacanya, tapi dia tahan sekuat tenaga. Anjay sepertinya tidak ditakdirkan jadi penyair. Tapi dia pemanjat yang hebat. Hatinya juga baik sekali. Anjay salah satu yang paling senang menolong teman-temannya. Dia mudah bergaul dengan siapa saja dan selalu semangat saat belajar.

Selain puisi Anjay tentang matahari yang jadi sumber daya manusia, ada juga puisi yang membuat Dahan menitikkan air mata. Puisi itu ditulis oleh Sapnih, lengkap dengan gambar wajah Dahan di tengah-tengah bait puisi. Sapnih memberi judul pusinya "GURUKU"

Guruku…

Dengan sabar kau didik aku

Dengan tekun kau bimbing aku

Hingga ku tahu segala ilmu

Guruku…

Membaca, menulis, menghitung

Kau ajarkan kepadaku

Budi pekerti, kau tanamkan pada diriku

Guruku…

Sungguh besar jasamu

Namamu akan kukenang selalu

Dalam hati sanubariku

Sapnih bukan anak yang terlampau pintar. Cenderung pendiam jika dibanding teman-teman satu kelompoknya. Dia juga tidak mahir matematika. Tapi gambar dan puisinya memberi tahu kami hal yang baru, anak ini ternyata berbakat dalam seni dan sastra.

Hampir tidak ada yang menyadari.

Andai pendamping hanya menilai anak-anak dari kecepatannya mengerjakan soal matematika, Sapnih pasti ada di urutan belakang. Andai tolok ukurnya hanya anak-anak yang aktif bertanya, sifat pemalu Sapnih pasti membuatnya tertinggal jauh dan tak terlihat. Andai penilaian hanya soal berani bicara, bisa dipastikan Sapnih akan tersingkir dengan yang lebih dominan.

Tetapi, setiap anak (tidak terkecuali Sapnih) harus diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri dan menunjukkan pada dunia, apa yang dia miliki. Di sanalah pendidikan menjelma — sebagai wadah dimana anak-anak mengenal keingingannya dan membangun mimpinya. Di Kebun Sayur yang semakin sore, aku menyadari, setiap anak harus diberi kesempatan untuk mencoba.

Setelah mata anak-anak basah karena sedih harus berpisah dengan Dahan, satu Loyang kue berukuran besar membuat tawa mereka terdengar kembali. Kebetulan beberapa waktu lalu Nan ulang tahun. Aku dan Tiwi punya ide untuk membuat kejutan. Kami sengaja membeli kue berukuran besar agar bisa dimakan bersama anak-anak di Kebun Sayur.

Kue ini terlambat datang. Pengantar kue kesulitan menemukan alamat Kebun Sayur yang berada di balik tembok. Saat mereka datang, mereka cerita betapa terkejutnya melihat ada bolongan di tengah tembok—yang bisa dilalui motor.

Lebih terkejut lagi melihat panorama hijau setelah melintasi bolongan itu. Aku tersenyum mendengar cerita mereka. Siapa saja yang masuk ke tempat ini pasti merasa berada di taman rahasia.

Kini, waktunya Nan yang terkejut. Dia kaget sekali melihat ada kue untuk dirinya. Apalagi ketika melihat kata-kata yang dirangkai di atas kue cokelat: jiwa abadi, usia bergerak. Cepat dia mengerti, siapa yang sudah memesan kue itu.

Ingatanku kembali melayang pada waktu aku dan Tiwi memesan kue. Sebenarnya aku tak tahu apa yang harus ditulis di atas kue. Spontan saja kata-kata itu terucap. Mendengarku mengucap kata-kata itu, pelayan toko kue malah tersipu.

"Jiwa abadi, usia bergerak…ooh…romantis sekali," kata pelayan toko kue sambil senyum-senyum sendiri.

Romantis? Aku tak mengerti di mana sisi romantisnya? Yang aku tahu, Nan terlihat begitu bahagia. Juga anak-anak di Kebun Sayur. Kami menyantap kue bersama-sama, hingga tidak ada remah yang tersisa.

Sore itu selepas perpisahan Dahan dan perayaan ulang tahun Nan, aku tidak pulang bersama Nan. Ini hari terakhir Dahan di Kebun Sayur. Kami akan terpisah dalam waktu yang lama.

Meski aku berkali-kali memastikan kalau aku akan sering berkunjung ke tempatnya di Jogja. Bagaimanapun hatiku tersimpan di Jogja. Sebab Jogja akan selalu jadi tempat untuk pulang.

"Kamu itu sebenarnya sama Nan bagaimana sih, Kak?"

Kaget juga aku mendengar tanya Dahan saat kami di angkot.

"Apanya?"

"Kak, Nan itu punya pacar di Makassar…katanya sih Nan sudah berkali-kali minta putus, tapi pacarnya tidak mau melepas Nan."

Aku terdiam sebentar. "Aku tidak kaget. Dia kan memang begitu. Koleksi barbie-nya banyak…"

"Ya kamu bukan salah satu barbie-nya kan, Kak?"

"Yo ndak….aku kan punya otak, Dek."

"Terus kamu sama Nan…"

Aku memotong kata-kata Dahan.

"Sebatas berbagi takdir. Nan hanya penasaran sama aku, karena dia belum pernah mendapatkan perempuan yang karakternya seperti aku. Dan aku hanya ingin belajar bersama Nan. Merasakan sesuatu yang belum pernah kujalani sebelumnya. Huff…kebergantungan Nan pada sosok perempuan sangat besar. Seperti dia ingin mengkoleksi semua perempuan dengan tipe yang berbeda-beda….hahaha…."

"Hahaha….aku percaya sama Kamu, Kak. Aku cuma tidak ingin melihat Kamu sakit."

Aku tersenyum melihat wajah tulus Dahan.

"Semua akan baik-baik saja, Dek. Biar takdir yang menentukan maunya sendiri."

Sore menuju malam. Ada senja hadir sebentar. Mengubah langit menjadi merah kesumba. Sedikit jingga menyapu bagai siluet. Aku dan Dahan terdiam. Kami merayakan perpisahan yang sunyi. (Bersambung)