webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

KERTAS DAUR ULANG

Awal pekan ini aku bertemu dengan sahabatku, Dara Ayu. Kami senang menghabiskan waktu di kedai kopi kesayangan kami. Kebetulan barista dan pemiliknya sahabat kami juga.

Kadang kami yang mendengarkan dia cerita beragam kopi nusantara. Kadang dia harus sabar memasang telinga untuk kami, perempuan-perempuan dewasa muda — yang tengah bergemul dengan racau dalam kepalanya sendiri.

Bagiku, sangat menyenangkan bisa bercerita perkembangan anak-anak di Kebun Sayur pada Dara. Sehari-hari Dara memang mengajar. Tetapi bukan di sekolah seperti biasa. Dara mengajar di sekolah alternatif yang tidak menggunakan kurikulum Kemendiknas. Sistem kelasnya pun berbeda. Biasanya menggunakan sistem level.

Tidak ada tes masuk yang terlampau rumit. Anak-anak yang ingin sekolah di sana hanya diwawancara dan mencoba belajar di kelas selama beberapa hari. Jika anak itu bisa bertahan, dia bisa sekolah di sana.

Kurikulumnya pun unik. Setiap Senin diskusi awal, Rabu turun lapangan dan Jum'at presentasi. Misalnya, Senin, anak-anak diskusi tentang prinsip jual-beli. Rabu, mereka sudah praktek. Jum'at, harus presentasi, produk apa yang kira-kira akan mereka jual. Hari Rabu kemarin, Dara harus ikut turun lapangan dalam materi lingkungan. Dia bersama murid-muridnya membersihkan kali Ci Liwung.

Model pendidikan alternatif dipilih karena sekolah formal dianggap terlalu menjejali anak-anak dengan berbagai pelajaran yang tidak meraka inginkan atau butuhkan. Tentang hal ini, A.S. Neil, sang pendiri Summerhill, yakin kalau anak-anak ingin belajar suatu mata pelajaran, maka dia akan belajar tanpa dipaksa. Tetapi bila dia sama sekali tidak berminat, metode apapun tak bisa memaksanya untuk belajar.

Summerhill sendiri menjadi ruang belajar yang membuat sekolah cocok dengan anak — bukannya mencocokkan anak dengan sekolah. Pelajaran di Summerhill boleh dipilih. Tidak ada kewajiban untuk masuk kelas. Meski begitu, anak-anak yang belajar di Summerhill sejak TK selalu hadir di tiap mata pelajaran.

Bagi Neill, di Summerhill yang berbakat menjadi intelektual akan menjadi intelektual. Sedang yang ingin jadi tukang sapu jalan, bisa menjadi tukang sapu jalan. Meski tentu saja, Summerhill tidak pernah menciptakan tukang sapu jalan. Biar begitu, Neill lebih senang Summerhill memproduksi tukang sapu jalan yang bahagia, ketimbang intelektual yang sarafnya tidak beres.

Di Summerhill, anak-anak bebas membuat peraturan bersama. Mereka boleh mengikuti kelas yang mereka inginkan dan tidak datang di kelas yang mereka benci. Anak-anak juga punya banyak waktu untuk bermain di laboratorium dan bengkel — yang memiliki peralatan untuk kreasi kayu dan logam. Sementara anak-anak perempuan bisa melakukan kerajinan tangan yang mereka sukai kapan saja. Summerhill sendiri didirikan di Inggris tahun 1921.

Sekolah alternatif macam Summerhill bukan hanya di Inggris. Tahun 1937, Sosaku Kobayashi mendirikan Tomoe Gakuen di Jepang. Sekolah fenomenal yang diabadikan dalam catatan Tetsuko Kuroyanagi — atau lebih dikenal dengan Toto Chan — ini menjadi sekolah yang sangat menyenangkan bagi anak-anak.

Pelajaran di Tomoe dilakukan pada pagi hari. Anak-anak beajar di dalam gerbong kereta dan bisa memulai dengan pelajaran yang dia sukai. Guru hanya mendampingi anak-anak belajar. Pada jam makan siang, anak-anak makan bersama dengan bekal dari rumah. Mr. Kobayashi meminta anak-anak membawa bekal yang berisi sesuatu dari laut dan sesuatu dari gunung.

Dengan sendirinya, anak-anak menyadari hasil laut dan hasil kebun/hutan. Setelah makan siang, anak-anak menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan, mendengar cerita, melukis dan kegiatan lain yang mereka senangi. Kadang-kadang ada juga guru tamu yang mengajari anak-anak berkebun. Sayang sekali, Tomoe Gakuen hancur terkena bom tahun 1945.

Bagiku sendiri, kehadiran Summerhill dan Tomoe Gakuen akan selalu menjadi catatan penting saat bicara pendidikan anak-anak. Kadang-kadang, aku sendiri juga bingung, abad pertengahan sudah lewat, tapi anak-anak masih dididik dengan cara lama.

Seakan-akan ilmu adalah dogma yang harus ditelan mentah-mentah. Protes sedikit saja, cap "anak nakal" langsung melekat. Meninggalkan trauma yang akan mereka bawa seumur hidup. Seperti Nan bilang, jadi kantung sejarah yang terus dipikul.

Untungnya, sekarang aku tidak melihat ada wajah-wajah penakut di Kebun Sayur. Dulu sekali — waktu masih sering terjadi konflik dan datang ancaman preman — anak-anak memang terlihat murung. Kini mereka tampak ceria dan bebas. Satu atau dua orang anak saja yang kadang suram. Itupun cepat hilang saat bermain bersama yang lain. Dan minggu ini, senyum di wajah anak-anak semakin lebar.

Minggu ini semuanya belajar bersama, meski tetap ditemani pendamping masing-masing. Kami akan membuat kertas daur ulang. Nan dan Kak Gigih sudah menyiapkan empat saringan besar yang bisa digunakan bergantian.

Awalnya Laras sempat khawatir, apa mungkin koran yang dibawa anak-anak bisa hancur dengan cepat? Tapi urusan membuat hancur, percayakan saja pada kekuatan anak-anak. Tidak sampai lima menit, koran bertumpuk-tumpuk itu sudah lumat jadi bubur kertas.

Satu per satu anak menyaring bubur kertas hingga menjadi kertas daur ulang. Baru dicetak dan dijemur di atas spanduk. Saringan hanya ada empat. Bisa dipastikan yang berkuasa adalah anak-anak yang lebih besar. Sementara anak-anak yang lebih kecil bosan menunggu giliran. Tanpa bertanya pada pendamping, anak-anak itu langsung saja menyerbu bubur kertas.

"Heiii….lihat! aku membuat bola dari bubur kertas," ujar Anjay yang mengepal bubur kertas hingga menjadi bulatan yang besar dan padat.

"Aku buat boneka…." Asih tak mau kalah

"Aku bikin mangkuk…."

"Aku dong punya patung baru…."

Mereka membentuk bubur kertas itu semau mereka. Lalu dijemur di atas spanduk. Pendamping malah bengong melihat anak-anak. Baru kami tahu, bubur kertas ternyata bisa dibentuk jadi apa saja. Boneka-boneka kertas karya anak-anak itu terlihat cukup menarik. Kalau dicat warna-warni bisa lebih bagus lagi.

Anak-anak tak lagi mau tahu dengan saringan yang hanya ada empat atau arahan dari pendamping. Mereka hanya peduli dengan imajinasi mereka sendiri. Beberapa anak-anak berlarian ke sana dan ke mari sambil membawa bubur kertas dalam genggamannya.

Hanya anak-anak kelompok 4 dan 5 yang masih duduk tenang dan telaten membuat kertas daur ulang dengan berbagai kreasi. Misalnya, mencambur bubur kertas dengan daun kering dan ranting. Hasilnya, ada serat daun potongan ranting kecil-kecil di kertas daur ulang yang sudah kering.

Sambil menunggu semua hasil karya anak-anak kering. Pendamping mengeluarkan kertas daur ulang yang dibawa dari rumah. Ini sengaja kami siapkan. Kertas daur ulang yang dibuat pasti tidak akan cukup untuk membuat berbagai kerajinan.

Kelompok 3 membuat gantungan kunci dari kertas daur ulang. Kelompok 2 membuat pembatas buku. Kelompok 4 membuat hiasan dinding dan Kelompok 5 kompak membuat figura.

Anak-anak senang sekali dengan karya mereka. Beberapa karyanya dihadiahkan untuk pendamping. Lalu kami berebut lari ke lapangan. Kak Gigih memandu permainan hari ini. Tentang tupai yang kehilangan rumahnya di hutan.

Setelah itu kami diskusi. Anak-anak dipancing memberi komentar. Kak Gigih sedikit kasih bocoran, tupai kehilangan rumahnya karena pohon-pohon ditebang untuk dijadikan kertas.

"Kita harus hemat kertas agar pohon-pohon tidak terus ditebang dan hewan tidak kehilangan rumahnya…"

Naomi membuatku berkaca-kaca. Beberapa bulan lalu, anak itu bahkan tidak mau belajar. Bisa kupahami, sebagai turunan Batak-Nasrani, dia enggan masuk ke Mushola.

"Kertas didaur ulang seperti tadi…agar pohon yang ditebang tidak sia-sia…kan bisa dipakai lagi kertasnya."

Anjay juga tak kalah membuat kami bangga. Anak-anak yang manis. Cepat sekali paham dan punya percaya diri tinggi. Kuharap mereka bisa terus begitu hingga besar.

Jika ada yang membuat hati mereka patah, ikut patahlah hatiku. Betapa sulitnya membuat mereka yakin kembali dengan dirinya sendiri.

Kutitipkan mata-mata jenaka itu pada semesta. Mereka anak-anak jaman yang kelak akan jadi pahlawan pada masanya.

Hujan deras yang turun dalam perjalanan pulang tidak membuat hatiku jadi berkabut. Senyum anak-anak yang tulus memeluk tubuhku yang diserang dingin menusuk tulang. Tepat di hujan yang menjadi waktu dikabulkannya doa, kupanjat harap terbaik untuk anak-anakku tersayang.

Nan menghentikan motornya di bawah jembatan. Masih terlalu jauh ke terminal. Dia melepas jaket jeans belel yang jadi maskotnya.

"Pakai ini, Rei, hujannya terlalu deras…nanti Rei sakit."

Jaket belel itu diberikan padaku. Cepat aku kenakan. Sedikit kebesaran, tapi cukup hangat. Malam itu, jaket kesayangan Nan menemaniku sampai ke rumah.