webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

POHON KELUARGA

Ada yang beda di Kebun Sayur. Kehadiran Nan dan bergabungnya Rogun Pelita Siregar (juniorku di kampus) membawa semangat baru. Semakin banyak pendamping yang punya komitmen bagus. Satu kelompok bisa didampingi dua pendamping tetap.

Pendamping yang sesekali datang juga tetap bisa ikut mengajar dan belajar. Khusus untuk anak yang lebih besar, Lilian mengajar bahasa Inggris, Kak Tya mengajar matematika dan Tiwi mengajar IPA, setiap hari Sabtu.

Kami tidak lagi menerima jasa mengerjakan PR anak-anak. Tidak ada pelajaran-pelajaran tekstual yang mengikat. Setiap orang merdeka sejak lahirnya. Maka, pendidikan juga bertugas membuat manusia tetap merdeka, begitu sabda sang pendiri Taman Siswa.

Pendidikan di Kebun Sayur lebih pada pendidikan yang mengajak anak-anak berpikir kritis dan merdeka. Biarlah di Kebun Sayur, anak-anak tetap menganggap kegiatan belajar sebagai waktu luang.

Konon katanya, sekolah sendiri berasal dari kata scola, skhole, scolae atau schola. Artinya, waktu luang yang digunakan untuk belajar. Dulu pada jaman Yunani, dikenal dua golongan besar. Orang bebas dan para pekerja.

Tentu yang memiliki waktu luang adalah orang-orang bebas. Mereka inilah yang punya kesempatan lebih untuk belajar. Dari sekedar memanfaatkan waktu luang untuk belajar, lama-lama, orang tua menitipkan anak-anaknya untuk belajar secara serius.

Fase belajar mulai berbentuk lembaga pengasuhan sebagai pengganti orang tua. Konsep ini dikenal dengan ibu asuh yang memberi pengetahuan atau alma mater.

Ada guru-guru yang dikenal suka berkeliling Yunani dan mengajar di tempat umum. Mereka dikenal dengan sebutan kaum Sofis — yang menerima upah tertentu atas pengajarannya. Umumnya mereka mengajarkan retorika, bahasa, logika, hukum, matematika dan sastra.

Posisi mereka begitu dihormati, sampai munculnya Sokrates — yang menganggap kaum Sofis sebagai filsuf gadungan. Kaum Sofis dianggap merusak nalar dan logika, serta hanya mengajarkan apa yang disukai para pendengarnya. Bukan membantu mencari kebenaran sejati.

Sayangnya, justru Sokrates yang dihukum mati, karena dianggap sebagai pengkhianat, merusak generasi muda dan menentang para Dewa. Sokrates tidak membuat catatan. Pemikirannya dikenal melalui muridnya yang handal. Seperti Nan bilang, Plato menjadi orang paling berjasa yang mengenalkan pemikiran Sokrates melalui tulisan-tulisannya.

Lalu Plato mengembangkan teorinya sendiri. Dia mendirikan ruang belajar yang dinamakan Akademia. Aristoteles menjadi salah satu muridnya yang belajar selama 20 tahun di Akademia.

Tentu Plato menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan. Dalam Buku IV The Repbulic, Plato mengatakan bahwa salah satu syarat terbentuknya negara ideal adalah pendidikan atau paidea.

Plato membagi pendidikan dalam tiga tahapan. Pertama, pendidikan anak hingga berusia dua puluh tahun. Pendidikan yang diberikan hanya musik dan gimnastik. Tahap kedua, pendidikan dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun.

Pendidikan berupa ilmu matematika, geometri, astronomi dan ilmu lainnya. Terakhir, pendidikan yang diberikan dari usia tiga puluh tahun sampai tiga puluh lima tahun — berupa filsafat dengan metode dialektika.

Tahapan belajar ini juga yang diyakini oleh Sokrates. Sang guru berpendapat, anak-anak boleh diajarkan matematika, tetapi tidak boleh dipaksa.

Sebab tubuh bisa dipaksakan, tetapi pikiran akan menolak. Pelajaran harus dibuat menyenangkan. Baru pada usia 30 tahun, manusia bisa menyatukan pengetahuan mereka menjadi dialektika komprehensif.

Ratusan tahun setelah Akademia Plato berdiri di Yunani. Anak-anak duduk tenang dalam Kuttab di Cordova. Kuttab, tempat belajar anak-anak di tingkat dasar, konon sudah ada sejak jaman Rasulallah di Mekah. Tetapi belum terkelola dengan baik.

Kuttab-kuttab banyak berdiri pada era keemasaan peradaban Islam di bawah kepemimpinan dinasti Umayyah. Terutama di Cordova, Andalusia. Dalam Kuttab, anak-anak belajar ilmu fikih, bahasa dan sastra, juga seni dan musik. Pada waktu itu, di saat manusia di belahan bumi lainnya belum mengenal huruf, tidak seorang pun yang ditemukan tidak mampu baca-tulis di Cordova.

Bila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, pendidikan bisa dilanjutkan ke Universitas Cordova. Selain Universitas Cordova di Andalusia, Madrasah An Nizamiyyah di Baghdad tentu tidak boleh dilupakan.

Tidak ada batasan umur untuk belajar di An Nizamiyyah, tetapi umumnya tidak di bawah dua puluh tahun. Ini artinya, para pelajar yang diterima di An Nizamiyyah telah melewati proses belajar hingga usia dua puluh tahun.

Ah, andai saja pikiran bisa diwariskan secara sempurna, barangkali tidak ada guru matematika yang dianggap menyebalkan. Mungkin kita tidak perlu dihukum berdiri di depan kelas karena gagal mengerjakan PR trigonometri. Sedang kita saat itu sedang puber. Belum juga memahami perubahan pada tubuh sendiri. Apalagi mengerti fungsi menghitung-hitung bangunan.

Pikiran-pikiran kecil ini mengubah cara pandangku dan pendamping yang lain. Setelah diskusi lama, praktis hanya tiga hal yang diajarkan di Kebun Sayur: literasi, logika dan sejarah.

Literasi mengasah kemampuan anak-anak dalam bidang verbal. Melatih mereka gemar membaca, menulis dan menyampaikan pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan. Logika mengajak anak-anak berpikir kritis, peka dengan lingkungannya dan mampu menyelesaikan masalah dengan bijak.

Sebagai tambahan, menyusuri sejarah membangkitkan semangat anak-anak dan menumbuhkan keberanian. Lebih dari itu semua, sejarah juga merupakan titik balik, dimana seseorang mengenal kembali jati diri dan perjalanannya, termasuk juga pada perkembangan masa kanak-kanak.

Kelompok dibagi menjadi lima. Kelompok 1 dihuni anak-anak yang belum masuk sekolah. Mereka lucu sekali. Kelompok ini tentu saja dipercayakan pada Nenden. Sedang kelompok paling besar, Kelompok 5, berisi anak-anak kelas 6 SD dan SMP. Aku sendiri yang mendampingi kelompok ini. Kadang digantikan dengan Lilian.

Kami memulai proses panjang ini dengan menyelami lebih dulu tugas pertama seorang manusia: mengenal diri sendiri. Berapa banyak anak-anak yang tumbuh dalam rasa bingung? Mereka mengenal Einsten, hafal rumus Newton dan fasih menyebut nama menteri. Tetapi bila ditanya tentang diri sendiri, jadi kelu bibirnya. Gagap berhadapan dengan alam bawah sadarnya.

Dulu saat aku kuliah, semua mahasiswa di kelas filsafat harus membuat karya tulis hasil perenungan sendiri, dengan tema: "Aku dan Diriku". Semua mahasiswa yang dapat tugas itu merutuk. Bingung saat harus menulis tentang diri sendiri. Kami lebih senang disuruh menyalin diktat yang tebalnya lebih dari 100 halaman.

Biar anak-anak ini tidak ikut bingung saat mereka beranjak dewasa, anak-anak Kebun Sayur diajak menyusuri cikal-bakal mereka sejak dini. Pohon keluarga menjadi tema yang diusung minggu ini. Anak-anak diminta membuat pohon keluarga yang menggambarkan silsilah mereka. Narasumbernya, tentu saja, orang tua mereka sendiri.

Aku dan beberapa pendamping datang jam 11.30. Menyiapkan media belajar dan shalat Zhuhur berjamaah. Tepat setelah mukena kulipat, si ceriwis Asih langsung menuju toa Mushola

"Assalamualaikum….teman-temaaaaaannnn…. ayo les, Kakak lesnya sudah dataaaaang…."

Asih memang cabe rawit, suaranya terdengar seantero Kebun Sayur. Bocah binaan Nenden ini diangkat jadi humas anak-anak. Tentu karena kemampuannya menyampaikan info dengan cepat. Kadang pendamping sendiri kewalahan menghadapi tingkahnya yang tahu seluruh gossip di Kebun Sayur.

Berkat suara Asih yang melengking di toa Mushola, anak-anak berkumpul tanpa banyak protes. Kami duduk bersama di pos. Lalu salah satu anak membuka dan memimpin doa menurut kepercayaan masing-masing. Setelah itu langsung menyebar bersama pendamping.

Biasanya hanya kelompok 1 yang belajar di Mushola, kelompok yang lain lebih senang belajar di tempat berbeda. Ada yang belajar di pos, ada yang di lapangan, ada yang di saung Pak Rohmat dan ada juga yang di rumah anak-anak.

Kelompok 5 sendiri lebih suka belajar di pos. Ada beberapa anak manis bersamaku. Nida yang ingin menjadi penyanyi, Yanti yang sangat peduli sekali dengan wajah dan kulitnya. Iyom dan Neni yang ingin jadi dokter. Tri yang paling bawel, juga Zeulin dan Maya. Mereka semua teman main di Kebun Sayur. Tidak terlampau sulit membuat mereka cepat akrab.

Kami biasa memulai les dengan diskusi ringan. Baru setelah itu anak-anak membuat pohon keluarga. Dengan cepat, mereka menyebar. Pulang ke rumah masing-masing. Kulihat anak-anak dari kelompok lain juga berlarian pulang ke rumah.

Mereka menginterogasi orang tuanya yang sedang bekerja di kebun. Tentu orang tuanya kaget. Biar begitu, anak-anak selalu punya cara untuk mendapatkan yang mereka mau. Mereka kembali pada kami dengan kertas yang sudah digambar pohon keluarga.

Lengkap dengan nama-nama sesuai Kartu Keluarga (KK). Uniknya, anak-anak bahkan baru tahu nama kakek dan nenek mereka.

Sebagian besar anak-anak di Kebun Sayur bersaudara dan berasal dari satu kakek yang sama. Hebohlah kelompok 5. Neni, Iyom, Nida dan Yanti baru menyadari hubungan mereka satu sama lain di dalam silsilah keluarga besar.

Sedang Tri punya ceritanya sendiri. Sebab Tri bukan dari Karawang ataupun Batak. Ayah dan ibu Tri adalah orang Jawa tulen. Dia punya pohon keluarga yang berbeda.

Kehebohan juga terjadi di kelompok lain. Pasti yang paling heboh adalah kelompoknya Nenden. Kelompok 1 yang dihuni 13 bocah. Nenden memang tidak sendirian mendampingi kelompok 1. Ada Anya yang juga ikut bermain bersama anak-anak mungil itu.

Kami bermain sampai lewat adzan Ashar. Anak-anak masih penasaran dengan silsilah satu sama lain. Mereka hilir-mudik dari satu kelompok ke kelompok lain. Kami jadi tahu hubungan kakak-beradik di dalam komunitas belajar Kebun Sayur. Ini akan memudahkan mengenal anak-anak lebih dekat.

Sebelum Maghrib, pendamping sudah meninggalkan Kebun Sayur. Kami sempat evaluasi sebentar sebelum mereka pulang. Kini yang tertinggal di pos bambu hanya ada aku, Nan dan Rogun.

Romannya Rogun sedang galau. Agaknya perempuan dewasa muda itu sudah salah duduk bersama Nan. Kujamin tingkat galaunya semakin akut.

"Duuh…lihat anak-anak belajar tentang keluarganya sendiri, kok saya malah jadi galau…saya tuh bingung sama diri saya sendiri." Rogun mulai meracau di pos yang lebih mirip markas hansip.

Nan tentu menyambut gembira. "Bagus tuh…seperti kata filsuf Yunani, aku bingung, maka aku ada," kata Nan sambil menundukkan kepala ala Aristoteles.

Rogun malah percaya. "Eh…masa sih? Begitu ya?"

"Jangan percaya…yang benar itu: aku berpikir maka aku ada," ujarku

Nan membantah. "Aaahh…itu jaman Yunani kuno. Percaya saya Rogun, sekarang itu yang benar: aku bingung, maka aku ada…Kamu tidak akan mulai mencari kebenaran kalau kamu tidak merasa bingung."

Rogun mulai terpengaruh. "Eh….iya, bener juga ya Bang Nan, justru karena kita bingung, makanya kita mulai berpikir lebih dalam."

Nan senang bukan kepalang. "Nah…itu! Aku bingung, maka aku ada."

"Ya terus caranya bagaimana dong, biar saya bisa kenal diri saya sendiri?" Rogun mulai putus asa.

Nan mengambil kertas. Kuharap dia tidak menggambar gajah dalam perut ular boa lagi.

"Coba Kamu tulis di sini satu kata yang sangat Kamu inginkan atau menggambarkan diri Kamu sendiri. Kata itu harus mirip dengan namamu. Rei, juga ikutan ya."

Dengan malas aku ambil kertas dan pena dari tangan Nan. Lalu kutulis satu kata di kertas itu: UTUH. Tapi Nan malah protes.

"Gak bisa begitu dong…harus sesuai dengan nama. Misalnya, dulu teman saya namanya Ulfa. Nah Dia tulisnya Aufaklarung….jaman pencerahan. Misalnya begini…"

NAN : NANJAK

Nan menulis namanya sendiri di kertas dan menulis satu kata lainnya. Aku dan Rogun saling berpandangan. Tidak mengerti.

"Dari dulu saya sangat ingin naik gunung, makanya saya tulis NANJAK. Alasan sok filosofisnya….hidup itu harus terus me-NANJAK," ujar Nan lagi.

"Oh…saya tahu…" tiba-tiba Rogun menggambil kertas dan menulis:

P.S: PENUH SEMANGAT

Selesai menulis, baru Rogun bicara lagi. "Nama saya kan Rogun Pelita Siregar. Sering disingkat Rogun P.S. Nah saya sering ganti jadi PENUH SEMANGAT, karena saya ingin selalu optisimis, positif dan memberikan semangat untuk orang-orang di sekitar saya."

Nan tepuk tangan. "Gitu dong…itu baru Rogun PENUH SEMANGAT. Sekarang giliran Rei…," kertas itu diarahkan lagi padaku. Aku tulis:

Rei: REIKI

"Dalam kepercayaan orang Jepang, REIKI berarti energi kehidupan alam semesta. Sering dibilang sebagai energi Ilahi."

Aku terdiam sebentar. "Entahlah, aku ingin selaras dengan semesta ini, ingin hidup damai bersama alam."

Nan menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Serius sekali…bagaimana pun, nama kita itu doa. Nama yang baik mungkin bisa memanggil energi yang baik….tapi saya tidak suka dengan nama saya."

Rogun menoleh ke Nan, "Kenapa Bang?"

"Saya trauma dengan nama saya sendiri, Rogun…jadi waktu saya kecil, saya tidak tahu kalau nama saya Prana."

Rogun tertawa. "Hahahaha….kok bisa?"

"Waktu belum sekolah, saya suka sekali menonton film Robin William. Judulnya saya lupa…tapi dalam film itu, Robin William jadi alien yang turun ke bumi dan menyamar jadi manusia. Nah, setiap kali lapor sama ayahnya yang ada di luar angkasa, dia harus kasih kode: nano…nano…nano…nano…"

Aku dan Rogun tertawa. Hari mulai malam. Rogun malah makin penasaran.

"Terus hubungannya sama nama apa, Bang?"

Nan terdiam sebentar. "Nah….." Lalu dia terdiam lagi.

Aku sudah terbiasa menghadapi kelakuan Nan yang seperti ini. Jadi aku tertawa makin keras. Sementara Rogun kian tidak sabar.

"Tuh kan….jadi apa hubungannya?"

Nan melirik ke kiri-kanan. Baru bicara lagi.

"Kata ibu saya, sejak itu saya selalu ngomong: nano…nano…nano…nano….sampai saya mengira kalau nama saya adalah Nan. Terus saya masuk TK. Bayangkan, dua hari saya di kelas, nama saya tidak pernah dipanggil. Saya ngambek dan tidak mau sekolah. Saya menuduh ibu tidak mendaftarkan saya. Tapi saya cerita kalau ada satu anak yang tidak pernah masuk kelas. Namanya Prana Marauleng. Ibu saya langsung teriak: ya Prana Marauleng itu Kamu!"

Tawaku dan Rogun langsung meledak. Membayangkan bocah ingusan yang bingung dengan dirinya sendiri. Rogun bahkan sampai terpikal-pikal.

"Jadi Bang Nan bahkan tidak tahu kalau anak yang dipanggil itu Bang Nan sendiri? Astaga! Nano…nano…nano…nano…hahaha…."

"Itulah Rogun…itu kenapa saya bingung sejak masih TK. Sekecil itu saya sudah krisis identitas. Saya itu sebenarnya Prana atau Nan? Selama dua hari di kelas, saya benar-benar merasa seperti alien yang dikucilkan. Anak-anak lain dipanggil, hanya saya yang dilupakan. Saya kehilangan kepercayaan diri. Saya merasa sendirian…hahaha…."

Meski sambil tertawa, kulihat aura sedih di wajah Nan. Lelaki yang punya senyum Joker itu memang terlampau sering kudapati sedang bingung.

"Sudah malam, ayo pulang! Nanti kita semakin bingung kalau di sini,"

Aku beranjak dari pos. Mengakhiri dialog hingga lewat jam 8 malam.

Rogun masih tertawa-tawa saat berjalan keluar dari Kebun Sayur. Kuharap perutnya tidak sakit karena kebodohan Nan.

Aku sendiri diantar Nan ke terminal. Nan menemaniku menunggu bus. Kami senang memandangi langit di terminal yang tanpa bintang. Maklum, di terminal banyak polusi cahaya dan udara. Bintang sulit terlihat. Biar begitu, langit tetap memancarkan misterinya yang menggoda.

"Pasti aku aneh sekali di mata Rei." Suara Nan memecah keheningan.

Aku tidak lagi melihat langit. Sudah buyar khayalku oleh suaranya. "Tidak juga…aku beberapa kali bertemu lelaki sepertimu."

"Seperti aku?"

Aku mengangguk. "Ya…yang bingung dengan dirinya sendiri."

"Itu normal kan?"

Ah, lelaki ini. Mengapa pula harus bicara normal atau tidak normal? Bagi masyarakat, yang normal hanyalah yang sesuai dengan isi kepala mereka. Berbeda sedikit saja berarti siap-siap dicap anomali.

"Kau hanya belum melepas masa lalumu. Itu saja."

Nan terdiam cukup lama, lalu bicara lagi. "Setiap Kita membawa kantung sejarah di punggung."

"Kantung sejarah?"

"Iya Rei, kantung sejarah. Sesuatu yang melekat sejak dulu dan tidak juga mau pergi. Semakin panjang cerita yang lahir dari perjalanan, kantung sejarah akan semakin berat."

Aku tertawa kecil. "Hahaha…ah, Kau hanya belum melupakan…barangkali ada yang belum bisa Kau maafkan?"

Senyum gaya Joker itu akhirnya kembali muncul. "Kurasa diriku sendiri…aku belum memaafkan diriku sendiri atas kesalahan yang lampau…betapa buruknya aku ini…."

Aku memejamkan mata sejenak. "Semakin Kau tanam rasa bersalah, semakin kuat beban itu mencengkram. Kantung sejarahmu akan membuat punggungmu patah sebelum harap yang baru sempat datang. Kenapa tidak Kau buang saja isi kantung itu satu per satu?"

Nan enggan menjawab. Malam kian larut. Tidak ada hasrat sedikitpun dalam hatiku untuk memperpanjang dialog. Nan hanya butuh didengar.

Tetapi ini sudah hampir tengah malam. Bus ke daerah rumahku sudah datang. Kutinggalkan Nan dengan tanya-tanya yang menggantung.

Lewat tengah malam. Pintu rumahku sudah dikunci. Beberapa kali aku ketuk. Nihil. Tak ada jawaban. Aku memang kurang beruntung dengan kunci. Ini bukan pertama kalinya aku terkunci atau menghadapi pintu yang dikunci.

Malam itu, hanya ada seekor kucing yang menggaruk pintu dan jendela sekuat tenaga. Si kecil manis itu berusaha membantuku membangunkan orang rumah. Tetap tidak ada respon dari dalam rumah.

Aku duduk sendiri di beranda. Si kecil manis naik ke pangkuan. Malam ini, terpaksa kulalui dingin sendiri. Alamku…semestaku…jangan biarkan hatiku terluka. (Bersambung)