webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

JIWA ABADI USIA BERGERAK

Sudah lewat belasan tahun lalu saat kurasakan menjadi anak-anak. Beginilah kalau mulai tua, lupa rasanya jadi bocah. Lalu terjangkit penyakit orang tua yang paling akut: menuntut anak-anak bersikap dewasa. Aneh? Memang. Tapi berulang kali terjadi.

Ada orang tua yang marah pada anaknya karena anaknya malas belajar. Orang tua itu lupa, saat masih kanak-kanak, dia juga sering kabur kalau disuruh belajar. Belum lagi beberapa tingkah orang tua yang mendidik anaknya ibarat serdadu.

Seperti anaknya yang ingusan sudah jadi perwira, bisa diperintah sekehendak hati. Anaknya tentu melawan. Dalam benak anak-anak, hanya ada kebebasan yang bertahta.

Andai mesin waktu benar-benar ada, ingin aku ajak jiwaku merasakan lagi petualangan masa kecil. Sesuatu yang selalu hilang saat aku merasa jumawa. Sayang masa kecilku tidak terlalu bahagia. Kini setiap kali canda anak-anak di Kebun Sayur mengetuk pikiranku, saat itu aku merasa gagal paham.

Kenapa anak-anak senang membuat orang dewasa merasa putus asa? Oh ya Tuhan, ajari aku memahami kerling mata anak-anak yang senang berguling-guling di tanah tanpa mau mendengar kata-kataku. Aku tahu, semesta ini akan mengutus seseorang yang membuatku mengerti.

Kadang pesan datang hanya dengan sinyal firasat. Saat alam bertukar sapa dengan udara yang bergerak. Lalu waktu melaju cepat.

Dialah yang berlalu dengan singkat atau aku yang tergesa-gesa? Ringkas saja, detik-detik terlewat tanpa bisa dipahami. Sekedar kebingungan pada takdir yang menyimpan rahasia.

Kadang juga pertanda hadir dengan sangat zhahir. Bagai bola salju yang dilempar di depan wajah. Hingga tak terasa lagi kerasnya pencarian.

Aku yang hilang rasa atau dia yang terlalu gamblang? Sederhana saja, kisah bergulir tanpa mampu dipukul mundur. Bahkan untuk memohonnya berhenti sebentar, aku tak kuasa. Dan takdir bersikeras menunjukkan maunya sendiri.

Seperti hari itu, ketika semesta berkonspirasi membuatku terlambat. Jalanan macet total. Setengah berlari kulewati celah di tembok kecil. Tidak terlalu peduli dengan tanah becek yang membekas di rok biru. Untung tak ada anak-anak anjing yang suka mengejar saat berlari. Anak-anak anjing itu sering mengira diajak bermain.

Les sudah dimulai saat aku datang. Ada wajah baru yang kulihat di antara kakak pendamping. Sudah biasa begitu. Sering datang satu atau dua mahasiswa ingin ikut mengajar. Tidak sampai sebulan sudah menghilang dan tidak datang lagi.

Lihat saja nanti, berapa lama wajah baru ini bisa bertahan? Si wajah baru itu melihatku mondar-mandir. Mungkin dia pusing melihatku sok sibuk.

Baru setelah les usai, bisa kulihat wajahnya lebih jelas. Seorang lelaki tampan dengan rambut agak gondrong seleher. Mengenakan celana jeans belel, kaus hitam dan jaket jeans yang juga sudah belel. Dia sepupunya Lingga — yang baru tiga kali ikut mengajar di Kebun Sayur.

Kata Lingga, sepupunya ini baru datang dari Makassar dan tidak tahu apa yang harus dilakukan di Jakarta. Biar tidak bosan, diajak saja lelaki itu ke Kebun Sayur.

"Prana Marauleng."

Wajah baru itu menyebut namanya dan mengulurkan tangannya padaku.

Kusambut tangannya.

"Mahia Areta…."

Tepat pada saat itu, persis di telingaku, seperti ada yang membisik.

"Bersiaplah Nona…mulai hari ini hidupmu akan berubah. Duniamu akan seperti bermain roller coaster."

Hari-hari selanjutnya ternyata menjebakku kian dalam. Nan, begitu ia dipanggil, bisa cepat diterima anak-anak Kebun Sayur. Dia pandai menggambar beruang. Humoris dan sangat mengerti jiwa anak-anak.

Dahan dan Laras juga dekat sekali dengannya. Mereka bertiga terlalu cocok. Sering bercanda dan tertawa sampai berguling-guling.

Ajaib, Nan mampu mengatasi kelompok Arkim — yang sebelumnya hanya luluh dengan rayuan Try. Semenjak Try sibuk kerja, kelompok Arkim mulai kembali berulah. Tapi Nan dengan cepat menaklukkan hati mereka.

Tentu saja dengan bermain bola di lapangan.

Kedatangan Nan membawa hawa baru. Ada banyak tawa dan keceriaan. Sialnya, ternyata tebakanku salah. Nan bertahan lebih dari sebulan.

Lelaki yang tampak seperti bocah itu tergila-gila dengan filsafat. Jiwa kanak-kanaknya terawat begitu baik. Kurasa itu yang membuatnya mengerti pikiran dan perasaan anak-anak di Kebun Sayur.

Kadang Nan tertawa melihatku. Baginya, aku telah kehilangan jiwa bocah riang. Aku terlalu serius, sedih dan kesepian.

"Coba tebak, ini apa?"

Sore itu, di kedai kopi favorit kami, Nan menggambar sesuatu yang mirip dengan topi coboy.

"Topi," jawabku acuh.

Tak mengerti kenapa Nan menyuruhku repot-repot menebak gambar model begitu.

Lelaki bocah itu kecewa.

"Coba lihat lebih jelas. Rei selalu teliti kan, lihat lagi!"

Aku melihat lagi gambar itu berkali-kali. "Apa? Ah terserah Kau saja."

Nan malah kesal. "Rei payah! Ini ular boa yang baru makan gajah hidup-hidup. Lihat! Yang panjang itu tubuh ular boa. Nah, undukan di tengahnya itu si gajah yang ada dalam perut ular boa. Ah, orang dewasa memang begitu. Tidak pernah bisa mengerti. Kalian seperti robot!"

Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Kembali lagi melihat gambar yang dia buat. Nan tidak berbakat menggambar. Cuma gambar beruangnya saja yang mendekati shahih. Sisanya hampir tidak berbentuk.

Apalagi yang ini, gajah dalam tubuh ular boa.

Melihatku melongo, Nan mulai lagi dengan pikiran-pikiran liarnya.

"Ini bukan gambar asli dari pikiranku, Rei. Gambar ini ada dalam buku Le Petit Prince. Fiksi dari Prancis. Kisahnya tentang seorang anak kecil yang putus asa melihat rumitnya orang-orang dewasa. Dan, ya, kitalah orang-orang dewasa itu. Kepala-kepala tanpa imajinasi yang hidup seperti mesin. Aneh sekali. Manusia berhenti jadi manusia ketika dewasa. Kita butuh belajar dari anak-anak."

Aku semakin dalam menatapnya. Itulah pertama kali aku tahu, Nan begitu gelisah. Dia selalu gelisah. Kegelisahan yang terus dia ditularkan dari hari ke hari. Seperti tidak ada kata jemu untuk mengganggu malam-malam syahduku.

Ada saja yang dia tanyakan. Semua yang tidak bisa dijawab dengan satu kali balasan. Nan baru selesai dengan segala tanyanya setelah lewat tengah malam.

"Aku penasaran dengan Kartini." Malam itu, melalui pesan di telepon selular dia mulai lagi dengan ocehannya.

Meski lelah, kuladeni juga lelaki itu. "Apa yang menarik?"

"Entahlah…kulihat hati Kartini itu resah sekali. Mungkin sepertiku."

"Kau pernah baca surat-suratnya, Nan? Hahaha….di mataku, dia perempuan 'bandel' yang kritis dan berani. Tidak bisa kubayangkan, perempuan muda harus melawan tradisi, masyarakat dan keluarganya sendiri. Tentu berat sekali, Nan."

"Bukankah begitu nasib orang-orang yang resah? Rei tahu? Sokrates bahkan mati di tangan masyarakatnya sendiri. Lewat Plato, sang murid yang berbakti, pikiran-pikiran Sokrates bisa ditelusuri. Plato itu seperti Mahia Areta, senang menulis. Oh ya, Kartini itu katanya punya guru ngaji?"

Aku hampir saja tersedak. Gombalan macam apa ini, menyamakanku dengan Plato.

"Dari beberapa suratnya, kutebak, awalnya Kartini tidak mengenal agamanya dengan baik. Hanya doktrin tentang kewajiban dan larangan yang sampai padanya. Seolah agama tidak ubahnya dogma. Apalagi Kartini tidak mengerti bahasa Arab. Sulit memahami agama dari sumbernya secara langsung."

"Lalu?"

"Dalam suratnya, Kartini bilang kalau seorang lelaki telah datang untuk mengajarkannya bahasa Arab dan Al Qur'an, tapi Kartini tidak pernah menyebut nama lelaki itu. Dalam literatur lain, dikatakan lelaki itu bernama Kyai Haji Sholeh Darat. Lelaki itu menerjemahkan beberapa isi Al Qur'an. Mungkin Kyai Haji Sholeh Darat ikut membantu Kartini menemukan yang dia cari…entahlah…."

"Jadi….Kartini menemukan Kyai Haji Sholeh Darat seperti aku menemukan Mahia Areta?"

Aku terpaku. Hampir dini hari. Kata-kata Nan kali ini membuatku kehabisan aksara. Lelaki ini, mengapa pandai betul menemukan celah?

"Aku bukan guru mengajimu. Hampir dini hari, aku ingin tidur!!!"

Entah apa yang mengusikku? Aku marah. Lelaki ini keterlaluan. Dia mengacak-acak kesabaranku. Bukan karena gombalannya yang membuat otak harus berpikir keras — dari pada membuat hati berbunga-bunga.

Tetapi, lelaki ini, Prana Marauleng, mengapa pula menjebakku dalam dialog-dialog panjang sebelum dini hari? Nan sungguh keterlaluan.

Sempat ingin kuhindari saja lelaki ini. Tetapi rasanya hampir tidak mungkin.

Kami bertemu seminggu sekali di Kebun Sayur. Nan mengantarku ke terminal setelah les selesai. Lalu malamnya kembali mengajukan banyak tanya. Aku benar-benar sial. Pertanyaan Nan terlalu menarik untuk diabaikan.

Seminggu lalu, dia berikan aku buku Josten Graider. Judulnya Misteri Solitaire. Seperti isi kepalanya yang rumit. Buku itu pun membuat isi kepalaku seperti arena sirkuit — dengan lintasan yang siap membuat seorang Rossi tergelincir.

"Rei sudah baca buku yang kuberikan?" Tanya Nan di suatu malam.

Kubalas pesannya. "Hampir selesai…ada kartu Joker di dalamnya. Milikmu, Nan?"

"Ya, ambillah untuk Rei. Aku punya banyak."

"Kau koleksi Joker?"

"Bisa dibilang begitu. Dulu waktu sekolah, teman-temanku bilang, senyumku mirip Joker. Menyeringai jahat. Tapi saat aku kuliah, teman-temanku bilang, aku mirip Leonel Messi. Aku lebih percaya yang kedua."

"Hmm…aku percaya yang pertama, anak-anak di sekolah jarang bohong. Sedang mahasiswa? Ah, sudah mulai pandai manipulasi. Omong-omong, dalam Misteri Solitaire ini, justru tawa Joker yang paling menarik. Joker menertawakan semua yang tampak normal dalam hidup. Hanya Joker yang mengerti, betapa fana semua ini. Hanya Joker yang tertawa. Tetapi Joker hanya ada 4 dalam satu set kartu. Mungkin seperti itulah hukum alam, orang-orang yang 'eling' terlalu sedikit."

"Hahaha…menurut Rei, waktu atau kita yang berjalan?"

"Astaga Nan, apalagi ini? Kau lahir hanya untuk terus bertanya, ya?"

"Jawab saja, Rei. Rei mulai jadi gadis pembangkang."

"Baiklah…aku tidak mengerti pasti yang Kau tanyakan, Pak Filsuf"

"Kurasa seperti itulah waktu, Rei. Misterius. Tidak bisa ditebak. Waktu terus berjalan. Kita yang tetap, kita yang abadi. Usia yang bergerak"

"Adakah di dunia yang benar-benar abadi selain Tuhan?"

"Ah…maksudku begini, jiwa kita melewati banyak masa kan? Sejak di alam ruh, kandungan, hidup di bumi, masuk ke kubur, bertemu Tuhan kembali, lalu abadi di surga atau neraka."

"Itu kalau kita percaya Tuhan, agama dan kehidupan setelah mati. Entahlah, kurasa para eksistensialis marxisian tidak berpikir begitu."

"Tentu kita bicara dari sudut pandang orang-orang yang percaya Tuhan dan kehidupan akhir. Kurasa Rei, begitulah kita menjalani hari-hari. Jiwa kita tetap. Seperti rel kereta. Usia yang bergerak. Membuat yang dulu hingga kini melintas di atas rel jiwa yang abadi. Kita sesungguhnya diam saja. Rei tahu? Seperti saat kita duduk manis sambil melihat rol film diputar. Adegan demi adegan berjalan. Sedang kita (lagi-lagi) hanya diam."

"Jadi kita hanya menerima sesuatu datang dan pergi, tanpa bisa melawan? Sesuatu yang pergi tidak bisa kita cegah. Sesuatu yang datang tidak mampu kita halau. Sebab kita hanya rel itu, yang diam dan membiarkan semuanya melintas."

"Begitulah kurasa…jiwa abadi, usia bergerak"

"Apa yang kau cari, Prana?"

"Rei selalu bilang kalau aku adalah anak-anak kan? Rei, anak-anak tidak pernah berhenti bertanya dan mencari. Justru ketika kita merasa telah menemukan jawaban final, saat itulah kita jadi orang dewasa yang membosankan dan sok tahu."

Aku kembali terhenyak. Duh lelaki ini. "Untuk tujuan itu Kau menjebakku dalam dialog rumit begini?"

"Hahaha…Areta…ayolah…hanya saat kita menyelami diri kita sendiri, kita kembali menjadi anak-anak. Ketika kita menjadi anak-anak, baru kita mengerti apa yang sungguh dibutuhkan anak-anak."

Begitulah Prana mengajariku banyak hal. Sebagai orang dewasa yang rumit, kadang aku pun terjebak bersama orang dewasa lainnya — yang sering menganggap anak-anak serba tidak tahu. Seperti aku datang untuk menjadi pahlawan bagi mereka.

Tampaknya aku pun sudah terjangkit penyakit 'euphoria sosial. Lalu Nan hadir seperti bintang jauh. Melesat sejenak, tanpa diminta. Dia mengingatkan betapa bahagianya jadi anak-anak. Bebas, bisa melihat dunia dengan jujur dan sederhana.

Kebetulan minggu depan Nan ingin naik Gunung Pangrango bersama Dahan, Laras dan Kak Gigih. Sayang sekali aku tidak bisa ikut. Pertiwi, sahabatku, meminta ditemani backpacking ke Bali. Aku tidak bisa menolak. Ini jadi hadiah ulang tahun dariku untuk Tiwi.

"Bawakan aku oleh-oleh," ujarku pada Nan.

Nan tersenyum ala Joker. "Rei mau apa?"

"Edelweis sang bunga abadi"

Nan membuang muka. "Tidak mau!"

"Kau jahat sekali, Nan."

Nan menoleh ke arahku. Menatapku lama. "Sudah banyak edelweiss yang rusak, Rei. Orang-orang menjamahnya tanpa ampun. Padang edelweiss di Parang Kencana, Pangrango, sedikit yang tersisa. Rei gadis baik kan? Aku tahu Rei tidak akan tega membuat alam jadi rusak hanya karena ambisi melihat edelweiss di Jakarta. Jika Rei mau lihat, naiklah sendiri. Maafkan aku. Aku pun tak mau terlibat dalam perbuatan jahat itu. Harusnya Rei tahu, semua ada karmanya."

Nan kembali membuang mukanya. Seolah-olah sedang merajuk. Aku tertawa. Memang inilah dia. Lelaki yang menambahkan nama "enroute" di tengah namanya. Bagi Nan, dirinya masih berada dalam pencarian panjang.

Kurasa, seseorang yang setia pada pencariannya, cepat atau lambat, akan sampai pada kesimpulan yang sepadan. Begitulah Nan, yang mampu mengajakku melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

Prana Marauleng. Pendamping baru di Kebun Sayur. Sahabat kami yang jauh-jauh datang dari kota bandar yang ramai, Makassar. (Bersambung)