webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

HASIL BUMI KEBUN SAYUR

Kalau ada film India yang aku puja mati-matian, pasti itu adalah film 3 Idiot. Beda dengan serial India yang sentimentil, banyak menjual air mata dan terobsesi dengan pohon tinggi, film 3 Idiot mengangkat isu yang begitu krusial: pendidikan. Film ini secara cerdas menggugat pendidikan di India yang konvensional, berfokus pada ijazah/sertifikat dan rentan kekerasan.

Pada akhir cerita, tokoh utama bernama Punshuk Wangdu — yang diperankan oleh Amir Khan — digambarkan mendirikan sekolah impiannya. Tidak seperti sekolah kebanyakan, sekolah Wangdu ada di kaki Himalaya. Tidak ada pelajaran formal dan baku. Anak-anak bebas belajar sesuai minat mereka.

Ingatanku tentang sekolah tak terlalu baik. Sampai sekarang, aku masih sering bermimpi mengerjakan soal ujian atau dihukum guru karena nakal. Sudah bertahun berlalu, tetapi sekolahku tetap menjadi mimpi buruk. Sering aku berpikir, adakah sekolah yang begitu menyenangkan seperti yang dibangun Wangdu?

Lalu sosok Wangdu yang asli membuatku sedikit gembira. Ada satu daerah di India bernama Ladakh, tidak jauh dari kaki gunung Himalaya. Dulu, anak-anak di Ladakh mengalami masalah serius.

Lebih dari 90% anak-anak di Ladakh tidak lulus ujian. Bisa jadi orang-orang berpikir kalau tingkat kecerdasan anak-anak di Ladakh rendah — karena jauh dari pusat kota dan fasilitas pendidikan.

Memang wilayah Ladakh yang jauh dari Delhi jadi kendala. Sialnya, kendala jarak dan budaya itu tak menjadi pertimbangan. Tahun 1980-an dan 1990-an, seluruh buku pelajaran didatangkan langsung dari Delhi.

Buku ajar ini menggunakan contoh dan gambaran yang tidak bisa ditemukan di Ladakh. Anak-anak di Ladakh gagal membayangkan, apalagi sampai memahami isi buku ajar.

Masalah lainnya, bahasa yang digunakan dalam buku dan soal ujian sebagian besar tidak menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari di Ladakh. Ini membuat anak-anak semakin gagal paham.

Guru yang ditugaskan di Ladakh pun tidak dibekali cara untuk melakukan pendekatan ke masyarakat. Guru-guru ini tidak mengerti budaya setempat dan sulit berinteraksi dengan anak-anak.

Tahun 1994, Sonam Wangchuk — sang Wangdu yang asli — ikut mendirikan SECMOL di Ladakh. SECMOL bisa dibilang sebagai sekolah berbasis desa. Dimulai dengan penyuluhan pendidikan pada warga desa, SECMOL lalu membuat Komite Pendidikan Desa.

SECMOL melatih guru-guru yang akan diterjunkan ke Ladakh agar mereka tidak gagap budaya dan mengajak anak-anak belajar dari potensi yang ada di desa. Untuk mengatasi masalah buku ajar, SECMOL menyusun sendiri buku ajar yang sesuai dengan bahasa, budaya dan kehidupan di Ladakh. Hasilnya, tahun 2008, 2/3 dari anak-anak yang mengikuti ujian nasional di Ladakh dinyatakan lulus.

SECMOL juga membangun sekolah yang ramah lingkungan. Mereka menggunakan tenaga surya dan mengajarkan masyarakat setempat cara memanfaatkan tenaga surya. Mereka mengatasi masalah lingkungan yang melanda Ladakh.

SECMOL menggagas kebun organik, menanam pohon, memanfaatkan hasil ternak dan menyimpan cadangan makanan untuk musim tertentu. Pertumbuhan SECMOL sinergis dengan pertumbuhan Ladakh.

Aku rasa, meski tak benar-benar tepat, tetapi ide SECMOL bisa juga menjadi inspirasi pendidikan di Kebun Sayur: pendidikan berbasis komunitas. Komunitas ini melibatkan warga Kebun Sayur, anak-anak peserta belajar dan kakak pendamping. Tak pelak lagi, pondasi utama dalam pendidikan berbasis komunitas ini adalah pelibatan masyarakat. Kami tidak buang waktu.

Pertemuan warga Kebun Sayur secepatnya dilakukan. Hasilnya, terbentuk ruang dialog yang kami namakan Forum Bersama Pendidikan (FORMADI) Kebun Sayur. Forum ini diketuai oleh Nan. Aku ambil bagian di kurikulum. Seperti mimpi kami, les setiap Minggu hanya menyelami literasi, logika dan sejarah.

Bidang sarana-prasarana diurus langsung oleh warga Kebun Sayur. Ibunya Asih yang bertanggung jawab. Keuangan dipegang Laras. Kami tidak pernah bermasalah dengan keuangan. Fasilitas belajar sepenuhnya diusahakan oleh warga Kebun Sayur. Ada juga sumbangan dari donatur.

Tidak kalah penting dari pelibatan masyarakat adalah pengenalan daerah. Anak-anak perlu melihat lebih dekat dan memahami tanah tempat mereka tumbuh. Sama seperti kami, para pendamping, yang harus terus belajar memahami lika-liku kehidupan di Kebun Sayur. Minggu ini, kami sepakat untuk belajar dari realitas.

Setelah doa bersama, anak-anak Kelompok 5 kumpul sebentar di pos. Lalu mereka berpencar dengan buku dan pena masing-masing. Melihat lebih dekat kondisi alam Kebun Sayur. Lucu tingkah mereka. Mirip peneliti jempolan yang biasa turun lapangan. Anak-anak Kelompok 5 baru kembali sekitar setengah jam kemudian. Lengkap dengan laporannya masing-masing.

Soal hasil Kebun Sayur semacam sawi, bayam dan kangkung, aku sudah tahu. Tapi aku baru tahu kalau di Kebun Sayur banyak juga pohon singkong, pohon jengkol dan beberapa empang yang produktif. Ternak juga bermacam-macam.

Sialnya, aku besar di jatung kota. Seumur hidup tak pernah lihat pohon singkong. Malu aku pada anak-anak. Nida mengajakku mengenali beberapa pohon. Termasuk pohon singkong dan pohon pepaya. Beberapa anak dari kelompok lain bukan hanya sekedar mendata biota yang tumbuh di Kebun Sayur.

Mereka membawa hasil bumi. Yani tahu benar kesukaanku. Dia memberiku satu mangkuk kecil buah ceri yang manis dan sedikit asam.

Tak lama setelah itu, entah dapat dari mana, Nan memintaku mencicipi buah kecapi. Katanya buah ini sudah langka. Aku mengambil buah berkulit kuning kecoklatan itu dengan ragu. Mengupasnya dan mencobanya sedikit demi sedikit. Masih dengan perasaan ragu.

Nan tak bisa menahawan tawanya.

"Hahahaha….Rei tidak akan mati hanya karena makan kecapi….hahaha….ketahuan sekali tidak pernah hidup di desa….hahahaha…."

Aku kesal dan meninggalkan Nan yang masih tertawa bersama Dahan dan Laras. Awas saja mereka. Rasa asam kecapi itu masih tertinggal di lidahku.

Untunglah Deni, anak lelaki dari kelompok 4 datang membawa sebongkah tebu. Rusdi dan Riki mengambil golok. Tiga anak lelaki itu memotong tebu menjadi bagian-bagian yang kecil dan memberikan pada kami.

Bisa dipastikan aku bingung. Tapi Dahan mengambil potongan tebu di tanganku dan memapahnya.

"Gini Kak caranya….diemut dan dihisap airnya….hmmm manis….eh lupa, di kota gak pernah menghisap air tebu ya? Hahaha…."

Aku mencubit Dahan. Dia mulai tertular virus jahil yang disebar Nan. Kucoba potongan tebu itu. Manis dan segar sekali.

"Dari mana tebu ini?"

"Dari tanah merah, Kak. Kami biasa ambil tebu dari sana." Iyom yang menjawab.

Keningku berkerut. "Tanah merah di mana?"

"Bagian paling belakang Kebun Sayur…tanahnya masih berwarna merah…kebunnya juga lebih luas," ujar Neni sambil beberapa kali melirik Riki yang masih memotong tebu dengan golok.

Yanti ikut nimbrung. "Belum pernah ke sana ya, Kak? Yuk, kita ke sana….sebelum terlalu sore."

Tawaran Yanti sudah pasti tidak aku sia-siakan. Aku dan anak-anak Kelompok 5 diam-diam meninggalkan pos yang masih ramai dengan anak-anak yang ingin menghisap tebu. Kami jalan kaki melewati rumah warga Batak.

Bisa ditebak, anjing mereka menyalak hebat. Buru-buru kami menghindar. Melewati juga saung Pak Rohmat — yang kupikir bagian paling belakang Kebun Sayur. Beberapa meter dari saung itu, ada pintu kayu yang nyaris tak terlihat. Yanti membuka pintu itu pelan-pelan. Astaga, aku tak percaya dengan apa yang kulihat.

Aku pikir Kebun Sayur ini sudah jadi surga tersembunyi dengan kebun-kebun yang membuat mata jadi segar. Juga dengan saung di pinggir empang milik Pak Rohmat yang sangat cocok untuk meditasi. Tapi ternyata, tanah merah ini kian membuatku terdiam. Beku sesaat.

Tidak ada rumah di sini. Hanya hamparan hijau yang seperti tanpa batas. Kalaupun ada bangunan, itu cuma saung bambu kecil, tempat petani istirahat.

Tanamannya beragam. Aku tak hapal semuanya. Anak-anak petani ini yang membantuku mengenali satu per satu tanaman yang ada di sana. Sore ini, praktis aku yang berguru pada mereka.

Beberapa pohon pisang berdiri kokoh diantara petak-petak kebun. Petani hilir-mudik dengan caping bambu dan ember untuk menyiram kebun. Sementara di ujung sana, satu menara berdiri seperti bagian dari kastil.

Aku terpaku di saung bambu. Anak-anak berlarian di pematang. Waktu seperti berhenti. Sunyi menjadi hadiah terindah menjelang senja. Tempat begini indah, mungkinkah 10 tahun lagi masih bertahan? Oh tepi kotaku yang sahaja.

Kulihat anak-anak itu. Adik-adik perempuanku yang tumbuh diantara hamparan kebun asri. Anak-anak petani yang bergulat dengan ancaman penggusuran. Dan, inilah realitanya. (Bersambung)