webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

PERJANJIAN KASIH SAYANG

Dengan kepergian Ryan untuk selamanya, pos besar lebih sering kosong. Sesekali digunakan warga untuk rapat. Sedang anak-anak Batak mulai banyak yang ikut les. Sayang, rasa tidak suka ditunjukkan anak-anak Karawang.

"Mereka kan bukan muslim, masa belajar di Mushola?"

Anak-anak Karawang protes.

Protes ini kami tanggapi serius. Lagipula tampaknya anak-anak Batak juga sungkan masuk ke dalam Mushola. Kami kira memang sudah waktunya, les tiap minggu tidak dilakukan di Mushola. Kami butuh tempat yang lebih netral.

Aku dan Kak Gigih minta izin untuk menggunakan pos besar pada Pak Rohmat. Permintaan ini dikabulkan dengan mudah. Kembali bergabungnya Kak Gigih bersama-sama kami membuatku merasa sangat terbantu. Kak Gigih seperti kakakku sendiri. Sejak kuliah, dia sudah mendirikan TPA dan taman baca Mahameru di dekat kampus kami. Dahan dan Laras juga mengajar di sana setiap hari, setelah Maghrib.

Anak-anak di Mahameru tidak hanya belajar mengaji, tetapi juga bebas membaca buku yang ada di taman baca. Pada hari tertentu, anak-anak dan Kak Gigih pergi ke toko buku. Anak-anak bisa bebas memilih buku yang ingin mereka baca. Tentu saja buku ini bukan untuk dimiliki secara individu, tapi juga menjadi koleksi taman baca.

Kak Gigih menyediakan beasiswa sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu. Anak-anak juga diajarkan menabung untuk barang yang ingin mereka beli. Baru-baru ini, anak-anak menabung untuk beli sepeda. Tidak lama, sepeda yang mereka inginkan bisa dimiliki.

Lalu sepeda itu rusak, Kak Gigih membuka bengkel dadakan. Anak-anak diajarkan untuk merawat dan memperbaiki sepeda mereka sendiri. Ini cara Kak Gigih mengajarkan anak-anak mandiri dan memiliki keahlian yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup.

Setelah membantu kami saat Gunung Merapi meletus, Kak Gigih terbang ke Lombok. Membina petani dan nelayan yang ada di sana. Syukurlah, kini Kak Gigih kembali bersama kami di Kebun Sayur.

Dan hari ini, seperti biasa, les di pos besar dibuka dengan doa. Semua anak-anak berkumpul. Nama mereka dipanggil satu per satu untuk mendapatkan kakak pendamping. Tapi, anak-anak tidak mau belajar. Mereka sedang protes bersama. Anak-anak kesal, karena tidak pernah dilibatkan orang dewasa saat rapat. Seakan-akan mereka tidak dianggap. Padahal kan mereka warga Kebun Sayur juga. Ikut demo pula saat Kebun Sayur mau digusur.

Memang rapat warga sering dilakukan di Kebun Sayur. Sebagai bagian dari advokasi, Wira dan Pak Rohmat membentuk Tim Sembilan. Bisa dibilang ini adalah tim inti yang menyatukan koordinasi seluruh kebijakan, gerakan dan aktivitas yang ada di Kebun Sayur.

Tentu Tim Sembilan seluruhnya adalah orang tua. Bisa dipastikan tidak ada anak-anak di sana. Rapat warga Kebun Sayur sebulan sekali dan rapat-rapat penting lainnya juga tidak pernah melibatkan anak-anak. Padahal anak-anak ingin juga merasakan rapat bersama dan ikut membuat kebijakan.

Aspirasi anak-anak membuat Kak Gigih mengajukan penawaran: rapat khusus anak Kebun Sayur. Orang dewasa tidak boleh ikut. Anak-anak yang tidak ikut les pun tidak boleh ikut. Ini rapat rahasia.

Sebab rahasia, semua yang berhak hadir dapat undangan khusus. Rapat tidak dilakukan di sembarang tempat, tapi di saung Pak Rohmat yang hanya berhadapan dengan empang dan tertutup semak-semak.

Ide ini disambut riang. Yah, anak-anak memang tergila-gila dengan semua yang bersifat misterius dan "rahasia". Tinggal aku yang pusing. Sebab pada hari yang disepakati, Kak Gigih malah tidak bisa ikut. Beberapa saran diberikan Kak Gigih untuk mengurus rapat bersama.

Pertama, yang boleh ikut rapat hanya anak-anak yang ada di dalam saung Pak Rohmat, yang ada di luar saung akan dikeluarkan dari forum dan tidak boleh ikut rapat selamanya. Ingat! Ini hanya untuk anak-anak spesial.

Kedua, semua usulan harus lahir dari anak-anak. Pendamping boleh mengarahkan sedikit, tapi tidak mendominasi. Anak-anak sebisa mungkin menyadari kebutuhan mereka dan membuat sendiri aturan yang berlaku.

Ketiga, kesepakatan bersama harus bisa dilihat bersama. Anak-anak bisa menulis kesepakatan mereka dan memasangnya di tempat belajar.

Pada hari yang ditentukan, hanya ada aku, Lilian dan Anya. Kami mengundang anak-anak untuk hadir dalam rapat bersama di saung Pak Rohmat. Anak-anak awalnya tidak bisa diam. Terus saja berlarian dan tidak mau duduk tenang. Aku katakan kalau yang menjadi peserta rapat hanya yang ada di dalam saung.

Anak-anak bergegas masuk ke saung. Duduk rapi dan berlagak seperti "orang penting" yang hendak memutuskan perkara hidup dan mati penduduk lima benua. Hampir saja pendamping tertawa, tapi kami tahan. Tidak boleh ada satu pun yang menganggap rapat bersama ini tidak serius. Semua peserta rapat, tidak terkecuali kakak pendamping, menggunakan name tag yang disemat di dada.

Diskusi dimulai. Setiap ada satu keputusan, satu orang anak menulis di karton berwarna kuning. Lalu anak lain yang maju ke depan, menempelkan keputusan yang sudah ditulis itu di karton besar warna hitam. Anak-anak tepuk tangan. Setelah semua pendapat didengar, rapat diakhiri.

Rapat ini juga ikut menentukan penanggung jawab les dan jadwal piket. Kesepakatan yang ditempel di kartun besar dipajang di pos besar. Agar tidak terkesan seperti perintah, kesepakatan ini kami namakan "Perjanjian Kasih Sayang". Begini kira-kira isinya:

1. Waktu les adalah hari Minggu, Jam 2 siang;

2. Setiap peserta belajar (termasuk pendamping) menggunakan name tag;

3. Membuang sampah pada tempatnya;

4. Tidak boleh mengejek. Saling berteman dan rukun;

5. Menyediakan satu buku khusus untuk les;

6. Tidak boleh berisik selama belajar.

Semua poin dalam Perjanjian Kasih Sayang merupakan usulan dari anak-anak sendiri. Mereka sadar, untuk bisa belajar efektif, mereka membutuhkan kondisi yang kondusif. Keajaiban pun terjadi. Tanpa disangka, rapat bersama dan Perjanjian Kasih Sayang berimbas besar.

Anak-anak mulai datang tepat waktu. Tanpa diminta, mereka membersihkan tempat belajar. Sampah tidak lagi dibuang di sembarang tempat. Kami menyediakan trash bag untuk anak-anak membuah sampah.

Setelah belajar, anak-anak ikut menyapu dan beres-beres. Perubahan drastis juga terlihat dari perilaku anak-anak. Kekerasan menurun, terutama yang berhubungan dengan kekerasan fisik. Anak-anak Batak dan anak-anak Karawang bisa main karet dan bola bersama.

Ternyata benar kata Kak Gigih. Biar mereka anak-anak, mereka juga ingin pendapatnya dihargai. Mereka lebih tahu yang mereka butuhkan. Ketika anak-anak diberi ruang untuk menentukan "nasib" mereka sendiri, anak-anak akan lebih konsisten melakukan apa yang telah disepakati.

Aturan di taman baca Mahameru milik Kak Gigih malah sangat sederhana. Anak-anak hanya diminta untuk "Jaga Tangan, Jaga Kaki dan Jaga Mulut". Ini saja sudah meliputi banyak hal. Jaga mulut bisa berarti tidak bicara kotor, tidak menghina, tidak mengejek dan tidak marah-marah. Jaga tangan termasuk juga tidak mencuri dan memukul. Lama-lama, ide ini kami terapkan juga di Kebun Sayur.

Anak-anak Kebun Sayur terbiasa dengan istilah ini. Satu per satu mulai menjaga tangan, kaki dan mulut masing-masing. Kalau ada yang berani melanggar, pasti ada yang protes. Tidak terkecuali jika yang melanggar adalah pendamping sendiri. Pernah Kak Gigih kena batunya. Dia mengangkat seorang anak tinggi-tinggi, sampai anak itu menjerit. Anak itu langsung protes.

"Kak Laras! Kak Gigih jahil sama aku. Kak Gigih tidak jaga tangan!"

Kak Gigih hanya cengar-cengir. Laras tidak pandang bulu. Tidak ada pilih kasih. Jika aturan ditaati anak-anak, pendamping pun harus jadi panutan.

Kalau anak-anak melanggar, tidak boleh ada pendamping yang teriak. Sebab itu sama saja mengajarkan anak-anak berteriak. Setiap anak mesti diperlakukan dengan keunikannya sendiri.

Pernah juga ada Catur, anak lelaki yang masih TK melompati bolongan besar di Mushola yang lebih mirip jendela. Aku menangkap tubuh mungilnya saat dia ingin lompat lagi. Anak ini gesit sekali. Kupeluk tubuh si mungil itu.

"Catur, itu apa ya?"

"Jendela…."

Dahiku mengkerut. "Memang kalau keluar dan masuk lewat jendela ya?"

Catur menggeleng. "Tidak! Lewat pintu."

Aku tersenyum. "Berarti nanti kalau mau masuk dan keluar lewat mana?"

Catur menunjuk pintu Mushola. "Lewat pintuuuuu…."

Dia lalu berlari dan tidak lagi keluar-masuk lewat bolongan yang mirip jendela itu. Tetapi trik untuk Catur ini ternyata tidak ampuh untuk Amin. Si bocah ompong kelas 2 itu melompat juga dari bolongan yang seperti jendela. Saat kutanya apa yang baru dia lewati, dia menjawab dengan santai.

"Itu bolongan. Memang tempat buat lompat kan?"

Lalu dia pergi begitu saja, sebelum aku sempat bertanya lebih banyak.

Amin juga yang pernah memarahi Nenden. Suatu sore Nenden mengajari anak-anak bernyanyi:

"Kalau ada gempa…lindungi kepala…kalau ada gempa…ngumpet di kolong meja…."

Amin yang mendengar ini, naik ke tempat yang paling tinggi, lalu teriak:

"Hai! Kamu yang nyanyi kalau ada gempa…jangan nyanyi gempa…gempa…nanti kalau gempa beneran, Kamu mau tanggung jawab?"

Coba saja, jika kata-kata itu didengar "orang dewasa" yang "kekanakkan", pasti runyam urusannya. Bisa-bisa Amin dinilai kurang ajar dan layak mendapat hukuman.

Tetapi Nenden Wiladantika sungguh berbeda. Hatinya sendiri menyimpan keluguan milik anak-anak. Dalam dunia Nenden, tidak pernah ada orang jahat. Semuanya orang baik.

Nenden memang polos sekali. Kami sengaja meminta dia mendampingi anak-anak yang belum sekolah. Kalau dia diberi tanggung jawab mendampingi anak-anak kelas 4 atau kelas 5, habislah dia. Bisa-bisa justru Nenden yang menjadi bulan-bulanan anak-anak.

Jika sikap kritis Amin kadang membuat pendamping harus berpikir lebih cerdik, tidak demikian dengan Fajar. Semua peserta les dan pendamping sama-sama tahu, kalau Perjanjian Kasih Sayang selayaknya memang dipatuhi, kecuali untuk Fajar.

Semuanya mahfum, Fajar boleh datang kapan pun dia mau dan bebas bermain apapun yang dia suka. Dia tidak pernah bersedih. Selalu tersenyum dan bahagia.

Fajar tidak bisa membaca dengan baik, padahal usianya sudah lebih dari 11 tahun. Awalnya kami pikir dia menderita diseleksia. Tidak bisa membaca dengan runut. Aku bicarakan ini dengan Dara Ayu, sahabatku, seorang psikolog dan guru. Dara tidak yakin Fajar menderita diseleksia. Ciri-cirinya tak menuju ke sana.

Kami mencari info tentang Fajar dari anak-anak dan warga Kebun Sayur. Ternyata, anak lelaki manis itu, ketika bayi pernah sakit dan dibawa ke dokter. Tetapi dia menjadi korban malpraktik. Bukan diobati, sumsum tulang belakangnya diambil dokter itu untuk dijual.

Fajar yang malang menderita cacat seumur hidup. Pikirannya tidak lagi sempurna. Tidak bisa juga menangkap pelajaran dengan mudah. Untunglah, Fajar masih bisa diajak komunikasi.

Awalnya anak-anak tidak mau bermain dengan Fajar. Tetapi lama-kelamaan, anak-anak merasa kasihan juga. Sekarang mereka sudah mau menggandeng tangan Fajar dan mengajaknya bermain.

Perubahan kecil seperti ini yang menjadi hadiah tidak terkira bagi pendamping. Melihat anak-anak penuh kasih dan bersikap tulus saja, pendamping sudah sangat bahagia. Ini artinya, waktu, tenaga dan energi kami bisa berbuah manis.

Perubahan juga mulai diterapkan pada sistem penilaian. Anak-anak ini aneh sekali, mereka senang diberi PR. Semuanya ingin mendapat nilai yang terbaik. Tetapi pada beberapa pelajaran yang bukan ilmu pasti, kami sulit memberi nilai dengan angka. Ini akan melukai hati mereka. Anak-anak gampang sedih dan malu kalau mendapat nilai jelek.

Aku punya pengalaman kurang mengenakkan soal ini. Sebelum mengajar di sini, aku mengajar anak-anak di Rombong Belajar — yang kudirikan bersama teman-teman di kampus. Waktu itu, aku memberi nilai pada beberapa gambar yang dibuat anak-anak di taman baca. Ada satu gambar yang sangat menarik. Ilham, bocah dari Padang menggambar gunung tinggi dan rumah makan padang di kaki gunung.

Hanya karena merasa gambar itu ganjil, aku tidak memberi dia nilai yang maksimal. Gambarnya bagus, tapi kupikir harus ada juaranya. Jadi aku menangkan gambar yang menurutku lebih indah secara seni. Ilham protes, Dia bilang padaku, rumah yang digambarnya adalah rumah neneknya yang sudah runtuh terkena gempa di Padang tahun 2009.

Dia sedih sekali dan rindu neneknya. Tetapi aku tidak mengerti dan melihat semuanya dengan angka-angka tanpa makna. Ilham lari sambil menangis dan tidak pernah datang lagi ke Rombong Belajar. Aku mengutuk diriku sendiri. Bukan saja sudah menyakiti hati seorang anak, aku juga tidak sepantasnya menilai hasil karya Ilham yang dibuat dengan sepenuh hati.

Aku, barangkali masuk dalam sindirian Ivan Illich — tentang para pendidik yang percaya mitos konsumsi tanpa akhir dan pengukuran nilai-nilai. Mitos konsumsi tanpa akhir ini meyakini bahwa proses pastilah harus menghasilkan sesuatu yang bernilai. Seperti juga proses belajar yang butuh guru untuk mengajar dan murid untuk diajar.

Sebaliknya, Illich percaya, belajar adalah kegiatan yang tidak butuh manipulasi manusia lainnya. Anak-anak bisa belajar sendiri, tanpa perlu penilaian orang dewasa secara terang-terangan. Bagi Illich, belajar adalah karya cipta yang tidak mungkin diukur.

Ya, aku seringkali melakukan kesalahan. Dari semua pengalaman ini, aku belajar banyak hal. Tidak tepat mereka yang mengatakan kalau anak-anak ibarat kertas putih yang bisa diisi apa saja.

Pada fitrahnya, anak-anak memiliki kecenderungan dan pendapatnya masing-masing. Tanpa ada intervensi orang dewasa pun, anak-anak tahu apa yang sesungguhnya mereka inginkan dan harus dilakukan.

Mungkin tepat yang dikatakan Ralph Waldo Emerson dalam The Complete Works of Ralph Waldo Emerson. Bertahun-tahun silam, filsuf paling berpengaruh di Amerika itu sudah menggaungkan kata-kata suci:

"Rahasia pendidikan terletak pada penghormatan pada sang murid."

Bukan orang tua atau guru yang memilih jalan hidup seorang anak. Setiap anak lahir untuk perannya masing-masing, lengkap dengan kemampuan (dari Tuhan) untuk menjalankan perannya itu. Orang dewasa barangkali hanya berfungsi sebagai cermin. Tempat si anak melihat dirinya sendiri secara lebih utuh. (Bersambung)