webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

PEREMPUAN KEDUA

Dalam tempat yang agak temaram. Sunyi. Bukan, bukan suasananya yang sunyi. Bisa dibilang hari ini cukup padat. Ya, kedai ice cream ini memang tak pernah sepi pengujung.

Nuansa sunyi tampaknya jauh lebih tepat disandang oleh dua perempuan yang duduk di sudut. Pada kursi rotan berumur puluhan tahun, kami sandarkan tubuh yang kelelahan. Tak sampai belasan kilo yang ditempuh, tapi tulang belulang sudah terasa meronta-ronta.

Dua cup ice cream disajikan di meja kayu yang umurnya juga sudah uzur. Gelas ice cream yang terbuat dari benda logam berwarna perak membawaku pada masa lampau. Kedai ini seperti mesin waktu, mengajak berputar bersama roda zaman.

Pada setiap dinding kedai ice cream terpampang foto-foto dari era terdahulu. Ada foto pendiri kedai. Banyak juga gambar-gambar yang mengisahkan kedai ini di masa lalu. Lengkap dengan romantisme kota Batavia sebagai latar utamanya. Mungkin di sini dahulu opa dan oma memadu kasih.

Lembut ice cream yang meleleh di lidah membuat air mata ingin mengalir. Jangan bilang ini berlebihan. Bagi kami, ice cream adalah mantra ampuh yang membuat hati bisa dengan jujur bersuara. Lalu mengirim pesan pada mata untuk meneteskan buliran haru yang seringkali tersembunyi. Ini hanya masalah kejujuran yang tersimpan terlalu lama.

Romantisme masa lalu akan lebih terasa tiap kali memandang pelayan di kedai ini. Para lelaki klimis dengan rambut belah pinggir. Wajah mereka terlihat klasik. Seklasik usia kedai legendaris ini.

Belum lagi pengamen yang memakai kaos 'since 1975', suara emasnya yang tak kalah dengan Broery Pesolima membuatku percaya, kalau dia telah mengabdi di kedai ini sejak tahun 1975. Sempurna.

"Mahia Areta! Jika Kau butuh perempuan untuk menemanimu minum kopi sambil diskusi sampai muak, Kau bisa hubungi aku…"

Aku menjulurkan tanganku pada perempuan di hadapanku, seperti sedang memperkenalkan diri.

Perempuan itu menggeleng.

"Hahaha….jangan begitu Rei, itu tidak adil. Aku tidak akan memaafkanmu untuk itu."

Aku tertawa. "Hahaha…..ayolah Dara Ayu, apa susahnya mengakui itu. Kau pikir aku bercanda?"

Kini aku yang menggeleng. "Tidak sayang, aku serius. Tidak terlalu berat bagiku untuk mengakui kalau aku hanyalah perempuan kedua. Tak lebih dan tak kurang…."

"Mana ada perempuan yang mau dijadikan yang kedua, Rei?"

Dara bicara sambil terus menatap ice cream-nya. Lima menit yang lalu dia hampir menangis di suapan pertamanya.

Aku membalas tanpa menatap Dara. "Dan mana ada lelaki yang bisa bertahan dengan satu perempuan, Ra? Makanya ada lagu Julio Iglesias yang terkenal…. to all the girls I love before…."

Dara mulai mengalihkan pandang dari mangkuk perak di depannya. "Maksudnya, tidak lelaki yang setia?"

"Ada! Mereka setia pada petualangan cinta, bukan pada perempuan. Mereka bisa saja mencintai satu perempuan. Tapi saat mereka jatuh, mereka butuh perempuan yang bisa menyemangati. Saat mereka sedih, mereka butuh perempuan yang menghibur. Saat mereka krisis eksistensi, mereka butuh perempuan yang suka memuji. Saat mereka berhasil, mereka butuh perempuan sebagai pengagum. Saat mereka bingung, mereka butuh perempuan untuk diajak diskusi. Saat mereka kesepian, mereka butuh perempuan yang menemani, sekedar peneman minum kopi atau bermain catur. Dibalik itu semua, mereka butuh perempuan yang ada di rumah. Menjadi baby sitter anak-anak, teman berbagi ranjang, sekaligus juru masak handal."

Aku bicara sambil menahan senyumku sendiri.

Pengamen dengan kaos 'since 1975' mendekat. Mengangguk takzim, lalu mulai memainkan nada. Lagu Feeling yang terkenal belasan tahun silam, semakin menyeret langkah ke masa lalu.

Di luar sana kali Ci Liwung masih menebar pesonanya. Satu bangunan angkuh bekas gedung catatan sipil itu berganti rupa jadi Masjid megah tempat wisata rohani warga ibukota. Aneh juga, mereka mencari kesejukan imani dari kubah-kubah tinggi dan wajah teduh para penjaga masjid. Sungguh-sungguh aneh.

Kata-kataku beberapa detik lalu seperti mengambang di udara. Menyatu dengan syair Feeling yang terlantun indah.

Dara kembali menggelengkan kepalanya.

"Mana ada perempuan yang selengkap itu? Mereka mencari pecahan, Rei. Pada perempuan ini mereka menemukan satu pecahan yang mereka sukai, tapi ada yang mereka tak suka. Lalu mereka temukan pecahan lain para perempuan lainnya. Begitu seterusnya. Mereka mengambil kepingan yang mereka suka, lalu meninggalkan bagian lainnya…."

"Kadang tak hanya pecahan….sering juga mereka mencari serpihan yang tak kasat mata. Terlalu abstrak untuk mereka selami, atau mungkin juga, mereka tidak pernah sadar apa yang sebenarnya mereka cari…."

Mataku menerawang pada satu foto yang menggambarkan suasana kedai ice cream puluhan tahun yang lalu.

Dara menyuap sendoknya untuk kesekian kalinya. Sekali lagi ice cream meleleh di lidahnya. Menambah hanyut hatinya.

"Tidak semuanya begitu Rei, kadang kita sendiri yang tak tahu yang kita mau. Kau kenal aku kan, Rei? Kau tahu betapa sulitnya cara berpikirku. Ada satu laki-laki baik yang datang, tapi kutolak, simpel saja, aku merasa dia terlalu baik. Pada lelaki yang hanya datang padaku ketika dia butuh, aku merasa terluka. Lalu ada juga lelaki yang seperti hadir dalam hidupku hanya ketika dia kesepian, pada lelaki ini aku menangis karena tidak tahan. Kemudian hadir lagi laki-laki yang biasa saja, hidupnya datar dan sangat nyaman, dan aku merasa bosan. Ada seorang lelaki yang sholeh, tapi aku takut tak bisa bergerak bebas. See? Hahaha….kita memang perempuan rumit, Rei…."

"Hahaha…." Tawaku memecah. "Tidak akan pernah kulupakan galau hatimu menghadapi mereka semua, Ra."

Aku menarik napas cukup panjang, "Ra, dulu kupikir perempuan seperti kita hanyalah perempuan yang cukup dikagumi. Kadang dipuji dengan beberapa kata. Tapi bukan untuk dipilih, hahaha….syukurlah, Kau mungkin akan mematahkan teoriku itu…sebentar lagi Kau akan menikah."

Kata-kataku membuat Dara tertawa lepas. "Hahahaha…..setidaknya aku pernah dekat dengan beberapa laki-laki, jadi aku bisa merasa kalau lelaki yang satu ini adalah lelaki yang paling tepat untukku…." Dara tersenyum.

"Sejak kapan teori perempuan kedua itu tercetus, Rei?" Dara menopangkan dagu di atas tangannya sendiri.

Aku kembali menyembulkan senyum. Tipis saja. "Kau pun tahu itu Ra, Kau tahu semuanya….". Aku kembali menarik napas panjang.

Gerismis. Kedai ice cream masih menyimpan sejuta ceritanya. Dalam mangkuk perak sudah tak ada lagi campuran susu yang meleleh.

"Kau disisinya juga perempuan kesekian kan, Rei? Sadarkah Kau, jika Dia datang padamu hanya saat Dia merasa butuh atau putus cinta?" Dara mengusir hening yang beberapa waktu lalu mendekap erat.

Aku tersentak. "Hah, siapa maksudmu?"

"Ya, siapa lagi? Kau tahu kalau Dia pun hanya mencari pecahan yang ada pada dirimu saja." Dara menyeruput satu gelas air putih ditangannya. Jamuan terakhir di sore itu.

Aku tersenyum. "Ya, mungkin dengannya bukan sekedar perempuan kedua, mungkin yang kesekian. Tetapi, lelaki ini, aku banyak belajar darinya. Dia banyak membawa perubahan dalam hidupku, Ra. Lelaki ini membuatku tersadar, bahwa sendiri selalu mampu membebaskan, tapi berdua jauh lebih mendewasakan. Menurunkan ego, membangun kepercayaan, menyatukan persepsi. Terlalu rumit untuk perempuan seperti kita agar mau mengalah dan menyamakan langkah. Tetapi Dia membuatku mengerti, bahwa ini juga merupakan satu proses perjalanan dalam hidup yang mesti dilampaui. Akhirnya kusadari, betapa rumit otakku. Aku berdiri sendiri, dalam diriku, dan membiarkan para lelaki berputar di luar lingkaran. Aku tidak mau kompromi, maka harus kurelakan jika mereka pergi dengan yang lainnya. Sementara, pada lelaki ini aku memilih jatuh, agar aku tahu caranya merangkak, hingga berjalan dengan sempurna…."

Dara tersenyum. Sepanjang sore ini, kami memang lebih senang tersenyum tipis.

"Cemburukah dirimu, Rei?"

"Hahaha…." Tanya Dara kali ini membuatku tak mampu menahan tawa.

"Cemburu pada satu perempuan masih bisa membuat hidupmu normal, Ra, tetapi koleksi barbie lelaki yang satu ini terlalu banyak. Aku bisa gila kalau harus cemburu pada mereka semua. Lagipula tidak ada gunanya bertengkar dengan lelaki karena perempuan lain, apalagi jika lelaki itu sedang jatuh cinta…."

"Tak apa, Rei, asal Kau tahu konsekuensinya. Seperti kubilang, lelaki itu mencari pecahan pada banyak perempuan. Maaf, jika pahit, tapi mungkin Kau hanya satu pecahan yang ditemukannya…."

Aku mengangguk. "Bukanlah masalah, Ra, sudah terlalu terbiasa."

Aku tersenyum lagi. "Ra, mungkin aku dan dirinya hanya dua orang yang saling belajar dan berbagi takdir. Mereka tanya padaku bagaimana nantinya? Kuharap Kau tak bertanya hal yang sama, karena aku juga tak tahu jawabnya. Aku dan dirinya adalah permainan takdir dan semesta. Jadi biar takdir sendiri yang memutus, kemana aliran ini akan menuju. Tugasku dan dirinya hanyalah belajar menjadi lebih baik dari seluruh proses ini.. Aku menerima, Ra. Menerima untuk menerima dan bila saatnya tiba, menerima untuk melepas….."

Sepi. Tidak ada aliran tangis yang memecah, kecuali desir hati yang meraba pergantian zaman. Aku mengangkat kepalaku.

"Ra, seseorang yang mencari pecahan, apalagi sekedar serpihan, tidak akan pernah menemukan keutuhan. Pada lelaki, aku ingin menemukan keutuhan diri mereka. Menerimanya lengkap dengan keberadaannya. Sebagai satu paket yang tidak bisa dibuang sebagian. Lelaki ada di luar sana, Ra, sedang cinta ada di dalam sini. Tersimpan rapi dalam hati kita. Cinta tidak lantas hilang karena mereka hilang, dan cinta tidak langsung pergi ketika mereka pergi. Karena bicara cinta, bukan berhadapan dengan orang lain, tapi berhadapan dengan diri kita sendiri. Cinta mencipta "Kita" tapi tidak lantas menyingkirkan "Saya."

"Ya…." Dara mengangguk. Takzim.

"Bersama mereka, kita tidak hanya belajar untuk berkompromi dengan manusia lainnya, tapi terutama dengan hati dan otak kita sendiri. Kau tak selamanya jadi perempuan kedua kan, Rei?"

"Minimal bagi diriku sendiriku, aku selalu jadi yang pertama"

"Hahaha….I love it!'

Senja turun. Ice cream dalam gelas perak sudah lenyap. Kami beranjak pulang.