webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

KOTA TUA

Petikan gitar Romance de Amor mengalun dari telepon genggamku. Panggilan dari Nan. Aku jawab panggilan itu.

"Halo…."

Suara Nan membalas di ujung sana. "Halo Rania…"

Rania? Hampir saja aku tertawa. Dasar lelaki gombal. Entah berapa banyak perempuan di sekitarnya? Ini bukan kali pertama. Pernah Nan menyapaku di chat dengan panggilan "Shina". Nan bilang Shina itu sekretarisnya yang sedang minta tanda tangan.

Aku mau lihat, sekarang dia akan kasih alasan apa lagi? Setahuku nama pacarnya di Makassar bukan Rania. Bukankah Dahan dan Laras pernah bilang, pacar Nan bernama Kiara.

"Rania?"

Nan sadar kalau dia salah menelpon. "Eh maksudku…Rei"

"Kau ingin menelpon siapa? Rei atau Rania?"

"Rei! Maksudku Rei…ah, temanku datang dari Makassar, kami ingin ke kota tua. Rei kan suka ke sana….kalau mau ke sana bukanya jam berapa ya?"

Oh, teman dari Makassar. Kemarin Laras sempat berbisik di telingaku, katanya pacar Nan dari Makassar datang.

"Museum bukanya pagi Nan, kalau sore sudah tutup. Tapi malam hari masih banyak hiburan. Dari ramalan kartu tarot sampai orang jual obat. Bisa juga melihat debus, itu pun kalau temanmu tidak takut. Tapi kebetulan sekali, aku juga ada rencana ke Kota Tua malam nanti."

Suara Nan mulai berbeda. "Eh…hmmm…Rei mau ke Kota Tua?"

"Iya, sore nanti. Siang ini aku ada diskusi di Cikini. Ini aku sedang dalam perjalanan. Nanti kita ketemu ya."

"Tapi…hmm…Rei…aku dengan temanku. Dua orang dari Makassar. Satu temanku lagi juga dulu kuliah di Makassar, tapi dia sudah kerja di Jakarta."

"Iya, tidak apa-apa. Kau mengobrol saja dengan temanmu. Aku punya urusanku sendiri. Sudah ya Nan, sampai jumpa."

Aku mematikan telpon. Ya, kupikir inilah saatnya. Aku ingin sekali melihat perempuan yang sangat mencintai Nan. Kekasih Nan di Makassar. Barangkali semuanya akan berubah setelah malam ini. Entahlah. Aku anggap ini kompas semesta. Arah panah yang memaksaku mengambil langkah.

Aku turun dari bus kota yang kutumpangi. Masuk ke dalam kedai kopi tempat diskusi kecil rutin digelar. Beberapa kawan sudah ada di sana. Mereka kawan-kawan yang bersamaku mendirikan Rombong Belajar di dekat kampus.

Setelah dua tahun berjalan, kami sepakat untuk mengejar mimpi masing-masing dan menutup Rombong Belajar. Buku-buku yang ada di Rombong Belajar kami titipkan pada Kak Gigih untuk dibaca anak-anak di Taman Baca Mahameru. Meski tidak lagi mengurus Rombong Belajar, kami tetap menyempatkan diri untuk diskusi. Sekedar memberi nutrisi untuk isi kepala.

Saat diskusi, baru aku sadar, dompet kecil berwarna coklat milikku rupanya dicopet saat aku turun dari bus. Untung uang dan kartu berharga ada di dompetku yang lain. Dompet coklat kecil itu hanya berisi kalung berwarna hitam dengan ujung berbentuk anak kunci.

Perasaanku semakin tidak enak. Duhai semesta, pertanda apa ini? Apa yang akan terjadi? Tiba-tiba saja aku dicopet dan hanya kalung pemberian Nan yang hilang. Jika alam berbahasa, mungkin memang ada pesan yang hendak disampaikan padaku. Hatiku jadi was-was.

Lewat Maghrib, aku baru sampai di Kota Tua. Nan dan teman-temannya sudah ada di sana. Aku melihat Nan berjalan dengan dua temannya. Satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Nan menghampiriku dan memperkenalkan kedua temannya.

"Ini teman-temanku waktu kuliah di Makassar, Tenri dan Rania. Tenri datang untuk ikut tes CPNS. Kalau Rania sudah enam bulan lebih di Jakarta. Rania bekerja di salah satu badan negara."

Aku mengulurkan tanganku pada mereka berdua. Juga menyebut namaku. Hanya dua orang.

"Katanya tiga Nan, satu lagi mana?"

Nan tersenyum kecut. "Satu lagi Kiara, dia tidak mau ikut ke sini"

Pikiranku jadi berisik sendiri. Kekasih Nan, perempuan yang sangat ingin aku temui malah tidak ikut. Sepertinya ada yang salah. Ada yang tidak wajar.

Kami lalu menyusuri Kota Tua. Aku suka sekali dengan Kota Tua. Tidak henti-hentinya aku bercerita tentang Kota Tua. Termasuk komunitas yang sering berkeliaran di sana. Juga tentang es potong dan tahu gejrot yang tiada dua.

Saat itulah, aku menyadari sesuatu yang salah. Nan seperti kebingungan membagi perhatian antara aku dan Rania. Situasinya jadi tidak enak.

Sementara Tenri terlihat mengambil jarak dari urusan kami bertiga. Aku tahu mereka ingin bicara tentang masa-masa kuliah yang tidak pernah aku tahu. Jadi aku memutuskan untuk meninggalkan mereka bertiga.

Aku bilang pada Nan kalau aku mau ke toilet. Ya, aku memang sempat ke toilet. Tapi itu sebenarnya alasan saja. Aku ingin menghindar dari mereka, menikmati malam di Kota Tua yang romantis sendirian saja.

Pelan kususuri Ci Liwung yang sunyi, hingga di depan Toko Merah. Mengenang kesedihan tahun 1774, saat air di tempat ini berubah merah karena daerah. Pembantaian besar-besaran etnis Cina terjadi begitu kejam dan tidak akan terlupa.

Persis di tempat pembantaian itu pula, aku merasa semuanya berakhir. Aku mengerti, bukan Kiara yang jadi persoalan, tetapi Rania. Ada sesuatu diantara Nan dan Rania. Mungkin Kiara juga tahu tentang itu.

Entahlah. Siapapun yang melihat sekelebat, pasti sudah mengerti. Bagiku sendiri, Rania mirip dengan ibunya Nan. Aku pernah bertemu dengan ibunya Nan satu kali. Dan aku tahu, Nan sayang sekali dengan ibunya.

Lalu bagaimana denganku? Sudahlah, bukankah dari awal aku memang memposisikan diriku sebagai perempuan kedua? Bukankah aku mendaulat diriku sendiri sebagai kawan peneman diskusi dan proses jatuh-bangun? Bukankah kukatakan Nan adalah rekan belajarku?

Bukankah pernah kubilang, kalau hidup cuma perkara bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri, menerima dan melepas? Tapi, entah kenapa, tetap saja kurasakan sakit yang mendera di hati. Tes! Air mataku jatuh di Ci Liwung. Menggenapi kenangan lama yang jadi sejarah kelam.

Lantunan Romance de Amor berbunyi lagi. Nan menelpon.

"Halo Rania…"

"Ini Rei…"

"Eh…iya…Rei di mana? Sudah malam."

"Kalian sudah selesai? Baiklah aku ke sana ya."

Aku meninggalkan Ci Liwung yang bisu dan dingin. Kembali menemui Nan, Rania dan Tenri. Malam ini perhatian Nan tercurah pada Rania, dan Nan tahu, itu membuatku kesal. Kami pulang berdua naik kereta ke Depok. Rania dan Tenri naik Trans Jakarta. Aku memilih duduk di gerbong perempuan agar berjauhan dengan Nan.

Lelaki itu, Nan, terus melihatku dari kejauhan. Dia memberi kode padaku kalau Dia butuh kertas dan pena. Aku meminta tolong penumpang di kereta untuk memberikan pena dan buku catatanku pada Nan. Lalu Nan menulis sepanjang perjalanan. Entah apa yang Dia tulis. Kami berhenti di Stasiun Pondok Cina dan Nan mengantarku pulang ke tempat kos Laras.

"Nan, maafkan aku, Kau ingat kalung yang Kau berikan?"

Nan mengangguk, tapi enggan menatapku.

"Kenapa? Tidak hilang kan?"

Aku menarik napas. "Huff…maafkan aku, Nan, tadi siang dompetku dicopet dan kalung itu ada di dalam dompet."

Nan menggeleng sambil tersenyum. Dia masih enggan menatapku.

"Tidak apa-apa, Rei, mungkin bukan jodoh."

Dalam jawaban itu kutemukan kunci yang sesungguhnya. Aku tidak butuh kalung berwarna hitam dengan ujung anak kunci itu. Sebab sekarang, aku telah temukan kunci yang kucari. Aku tahu pintu mana yang harus kubuka dan pintu yang mana yang harus kututup rapat.

Laras menantiku di depan tempat kosnya. Dia menggeleng prihatin. Seperti tahu kalau kami berdua lelah sekali. Di dalam kamar Laras, kubuka buku catatanku yang tadi dipinjam Nan.

Ada tulisan Nan di bagian belakang buku itu. Sebuah puisi untukku. Hanya kubaca sekilas. Sayang, aku tidak punya energi untuk menyimpannya. Lembaran kertas berisi puisi itu aku robek dan hempas ke tong sampah.

Kurasa semuanya benar-benar selesai.

Beberapa hari setelah kejadian itu, hatiku semakin tidak tenang. Sahabatku sejak masa SMA memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Australia. Kalau bukan dia yang berangkat, mungkin aku biasa saja.

Tapi sahabatku ini orang yang sangat idealis. Dia berprinsip, melanjutkan sekolah hanya boleh dilakukan saat ilmu di kepala sudah habis untuk masyarakat. Itulah saat dimana kita butuh ilmu baru untuk dedikasi yang lebih besar, maka kita boleh sekolah lagi.

Ini artinya, sahabatku itu sudah merasa ilmunya habis untuk kontribusi. Sedang aku, masih sedikit sekali kontribusiku. Belum juga punya karya yang mumpuni. Kawanku yang lain juga membuatku sedikit kesal. Kawanku ini mahasiswa berprestasi yang karya tulisnya mendapat penghormatan dari 13 kepala negara. Kemarin kudengar, beberapa tulisan kawanku ini dimuat di surat kabar bergengsi di Jepang.

Astaga, kenapa duniaku seperti berjalan di tempat? Detik itu juga, aku merasa tubuhku mengecil, lalu masuk ke dalam otakku sendiri dan diputar-putar bagai di dalam mesin cuci.

Nan benar, kesuksesan teman-teman ternyata bisa membuat hati gulana siang dan malam.

Aku cemas, sungguh-sungguh cemas. Bukan perkara Nan dengan Kiara, Nan dengan Shina, Nan dengan Rania atau dengan yang lainnya lagi. Tidak! Ini tentang hidupku sendiri. Sebentar lagi akhir tahun dan aku harus memutuskan, apakah Nan ada dalam hidupku di tahun depan ataukah tidak? Semua bisa berubah dengan cepat, tetapi hidupku tidak boleh melayang bebas tanpa arah.

Buntut dari peristiwa di Kota Tua itu akhirnya membawaku dan Nan di tepi danau yang tenang. Kami bicara sebagai dua orang yang dewasa. Aku ungkapkan semua yang aku rasakan. Semuanya. Tetapi Nan lebih memilih diam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.

"Aku belum putus dengan pacarku di Makassar."

Hanya ini satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya. Kalimat yang terlalu absurd dan tidak mengubah apapun.

Nan, seperti biasa. Selalu gagal mengambil keputusan dalam waktu cepat.

Tetapi aku pun tidak ingin membuat perempuan lain terluka. Aku tidak ingin Nan putus dengan kekasihnya di Makassar. Aku tidak ingin Kiara tersakiti. Aku hanya ingin berdamai dengan pikiran dan perasaanku sendiri. Malam itu, Nan mengantarku ke tempat kos Rana. Berselang 20 menit dari kepergian Nan, Rana tertawa kecil.Aku penasaran.

"Kenapa?"

Rana melihatku dengan lirikan menggoda.

"Nan mengirim pesan ke telepon selularku. Dia menanyakan keadaanmu dan menitipkanmu padaku."

Sekilas senyum mampir di wajahku. "Kadang kupikir hidup itu seperti naik angkot. Kita bertemu seseorang dalam perjalanan. Melewati waktu bersama. Lalu angkot berhenti sejenak. Kita atau orang itu harus turun. Berpisah. Melepas. Bila orang itu harus turun lebih dulu, kita hanya melihatnya dari kaca spion yang berlalu. Sementara di depan sana, mungkin ada orang lain yang menanti. Bertemu lagi dengan kita. Satu perjalanan lagi. Hingga datang waktunya kembali melepas."

"Makanya jangan hanya didiamkan. Sapalah teman perjalanan itu. Siapa tahu searah? Siapa tahu bisa terus berjalan bersama."

Aku hanya bisa terkekeh mendengar Rana yang menggoda dengan kerlingan mata. Satu mangkuk puding karamel dihadiahkan untukku yang tengah risau. lembut puding itu seperti meleleh di mulut.

"Pernah Kau dengar Ichigo Ichie?"

Aku menggeleng. Masih fokus pada puding karamel. Pandangan Rana menerawang entak ke mana?

"Istilah dalam bahasa Jepang. Mungkin bisa diartikan dengan one moment one meet. Mungkin ini yang namanya jodoh. Ah, bagiku jodoh tidak tunggal. Kita bertemu seseorang, ya kita berjodoh. Dan setiap pertemuan selalu ada maksudnya. Tak pernah ada kebetulan. Semua terjadi dengan tujuan tertentu. Jadi nikmatilah setiap pertemuan, setiap momen. Barangkali itu hanya akan terjadi sekali seumur hidup."

Kutinggaka puding karamel yang belum habis. Menutupi diriku dengan selimut. Membiarkan Rama dengan khayalnya sendiri. Aku hanya ingin tetap berteman baik dengan Nan. Meskipun akan terasa sulit.

Kurasa kami berdua butuh waktu untuk beradaptasi dengan apapun yang terjadi nanti. Soal koleksi barbie-nya Nan, terserah saja bagaimana Nan mengurus masalahnya dengan perempuan-perempuan di sekitarnya itu. Aku tidak lagi mau tahu.