webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

BINGKISAN UNTUK PENDAMPING

Beberapa waktu lalu — saat membantu keponakanku mengerjakan tugas dari sekolah — Atma, kenponakanku mengajukan pertanyaan yang tidak akan aku lupakan. Dia belajar di ruang kerjaku. Lalu karena tidak mengerti tugas matematikanya, Atma minta bantuan. Anak kelas 2 SD itu sedang belajar bilangan bulat dan bilangan cacah.

Aku lihat tidak ada masalah dengan pekerjaan rumahnya. Mudah sebenarnya. Tetapi Atma berkali-kali bilang kalau dia tidak paham dengan bilangan. Aku heran, tidak ada yang yang sulit dari menuliskan 0,1,2,3,4,….dst. Tapi Atma malah protes.

"Nol itu artinya kosong kan?" Atma seperti mengujiku.

Kujawab cepat. "Ya."

Dia bicara lagi. "Kosong berarti tidak ada kan?"

Aku mengangguk. "Ya."

"Satu…dua…tiga…berarti kan ada?"

Keningku mulai berkerut. Apa yang sebenarnya ingin ditanyakan anak ini? Aku lupa kalau anak ini selalu membuat pusing gurunya karena mengajak diskusi dalam pelajaran matematika.

Gurunya kesal sekali. Matematika kan ilmu pasti, kok dibuat diskusi? Atma, bagaimana pun juga selalu menyimpan sesuatu yang tidak bisa aku tebak.

"Lalu?" Tanyaku memecah hening malam itu.

Wajah Atma mulai putus asa. "Lalu kenapa kita memulai bilangan yang 'ada' dengan sesuatu yang 'tidak ada'?"

Keningku bukan hanya makin berkerut. Aku menatap anak malang itu. Pasti sulit sekali hari-harinya di sekolah. Seperti bisa kulihat ada arwah Nietzche di atas kepalanya. Berputar-putar sambil berbisik di telinganya:

"Awal dari segala sesuatu adalah ketiadaan."

Malam itu, aku sulit sekali bicara dengan anak kelas 2 SD. Bagaimana caranya menjelaskan kalau matematika adalah simbol dari bahasa? Matematika ada untuk mempermudah cerita yang terlampau rumit. Misalnya:

"Ibu membeli empat lusin buku tulis untuk Adi yang kelas lima SD dan lima lusin buku tulis untuk Rani yang kelas 3 SMP. Sedangkan Sarah masih terlampau kecil. Baru juga kelas 1 SD. Belum perlu banyak buku. Ibu hanya membeli satu lusin buku tulis untuk Sarah. Satu lusin buku tulis berisi dua belas buku tulis. Kalau dihitung-hitung, Ibu membeli seratus dua puluh buku tulis."

Dalam matematika, kalimat panjang itu hanya perlu diringkas menjadi 12 (4+5+1) buku tulis = 120 buku tulis. Sederhana sekali. Tapi mungkin saking sederhananya, keterikatan bilangan dengan benda kian lama kian menghilang.

Matematika yang diajarkan di sekolah benar-benar sebatas rumus yang bikin ruwet. Begitu dikasih soal cerita, anak-anak kewalahan. Bingung mengaitkan matematika dengan cerita dan benda.

Kebingungan dan keruwetan itulah yang kini melanda kepala pendamping Kebun Sayur. Kami harus membuka dialog di semua lini. Tidak terkecuali dalam urusan logika.

Memang logika tidak hanya bicara matematika. Tetapi matematika inilah yang jadi kesulitan anak-anak di Kebun Sayur. Mereka gagal paham, karena matematika yang diajarkan di sekolah hanya berwujud serangkaian rumus yang tidak ada kaitannya dengan hidup mereka sehari-hari.

Suatu ketika, dalam obrolan senggang kami, Nan pernah memarahiku.

"Kau tahu artinya dialektika?"

"Logika yang bergerak," jawabku.

"Nah…makanya…Rei jangan buat kaku dong…dibuat mengalir…dibuat bergerak….matematika juga begitu. Bukan sekedar hitungan dan simbol mati."

Inilah repotnya, pendamping memang harus kreatif membantu anak-anak memahami yang mereka butuhkan — tanpa membuatnya menjadi kaku. Kalau masih kelompok 2 dan kelompok 3, belumlah terlalu sulit. Anak-anak masih belajar tentang waktu dan uang. Sesuatu yang mereka temui sehari-hari.

Mulai rumit di Kelompok 4 dan Kelompok 5. Contoh-contoh di buku pelajaran tidak realistis. Tidak sesuai dengan benda-benda yang mereka temui sehari-hari. Dan tugas kami jadi bertambah berat.

Biar begitu, aku tetap menanti hari minggu. Menamatkan rasa rinduku pada bocah-bocah di Kebun Sayur. Saat aku sampai di Kebun Sayur, ada si tampan Arkim membaca buku di sudut Mushola yang mulai lusuh.

Pemandangan ini seperti hadiah bagiku. Beberapa bulan lalu anak ini sukar duduk diam. Hobinya memanjat pohon, merusak bilik Mushola dan mengganggu anak perempuan yang sedang belajar.

Sekarang Arkim bisa duduk manis sambil membaca buku — yang disediakan pendamping di rak khusus. Buku-buku itu sengaja disusun rapi agar anak-anak bisa nyaman membacanya kapan saja.

Menjelang Zhuhur, suara anak-anak mulai ramai. Sabrina dan Rosalinda, dua bocah pengguni Taman Kanak-Kanak selalu datang sambil bergandengan tangan. Tak pernah dua anak itu melepas jilbab kecil yang membuat muka mereka bertambah lucu. Paling kecil ada Lia, adiknya Neni yang mirip anak Korea. Lia tergila-gila pada Nan.

Tiba-tiba Johan lari memasuki Mushola. Membuat aku dan Lilian menoleh bersamaan. Johan membawa tas mirip pengantar pos. Anak lelaki berusia sembilan tahun itu mengendap-endap. Seperti hendak melakukan misi rahasia. Dia mengeluarkan sepucuk surat dari tasnya.

"Ayo…Johan! Surat apa itu?" Aku mengagetkan bocah lucu itu.

Johan hampir terjatuh karena kaget. Suratnya juga jatuh. "Sssttt…ini rahasia. Ini surat dari Nia buat Indra."

Lilian gagal menahan tawa. "Hahaha….kamu dititipkan surat?"

"Iya Kak, Kakak mau baca? Tapi ini rahasia ya, Kak." Johan memberi kami perintah layaknya intel yang sedang bertugas.

Kami mengangguk dan memasang muka sangat serius. Meski tentu sambil menahan tawa. Pelan-pelan, aku dan Lilian membuka surat itu. Surat dari Nia yang masih kelas 3 SD pada Indra yang juga kelas 3 SD.

Indra termasuk anak yang paling tampan. Saingannya hanya Arkim saja. Dalam surat itu Nia menulis:

"Aku tahu kok kamu suka sama aku. Yah…sebenarnya aku sih gak suka-suka amat sama kamu. Tapi ya kalo kamu mau jadi pacar aku, aku juga mau sama kamu…"

Hampir saja tawaku dan Lilian meledak. Duh perempuan ini, sebenarnya dia yang suka, tapi gengsi. Anak sekecil ini berani menyatakan suka pada lawan jenis. Astaga.

Kurasa mereka terpengaruh dengan sinetron di televisi. Apalagi orang tua mereka juga pengikut setia aliran drama India. Ya sudahlah, mau dibilang apa? Bagiku sendiri, ini hanya cerita lucu di masa kecil.

Surat itu aku kembalikan ke Johan, agar bisa diberikan pada Indra. Sesuai permintaan Nia. Saat Asih memanggil anak-anak lewat toa Mushola, Nia datang dengan anting-anting baru di telinganya. Gemas rasanya. Ingin kucubit pipi tembemnya. Tapi aku urung. Berpura-pura tak tahu apa-apa.

Lepas doa bersama, anak-anak berlarian menghampiri pendamping masing-masing. Sudah sekitar sebulan anak-anak tidak perlu dikomando. Mereka lebih mandiri. Tak pernah pula meminta kakak pendamping mengerjakan PR sekolah.

Walau tetap saja, pendamping juga menyesuaikan materi dengan perkembangan mereka di sekolah. Kami berusaha tetap konsisten membahas literasi, logika dan sejarah.

Muatan matematika dan IPA biasanya kami sisipkan dalam muatan logika. Tentu seperti yang Sokrates bilang, anak-anak boleh diajarkan matematika, tetapi harus dibuat menyenangkan.

Urusan yang satu ini, pendamping juga harus dipantau. Biasanya sebelum les hari Sabtu, pada hari Kamis pendamping diskusi dulu. Membahas materi yang diangkat untuk hari Sabtu.

Aku bisa tahu materi Kelompok 3, begitu juga Nenden bisa tahu materi Kelompok 5. Kadang anak-anak juga menentukan apa yang ingin mereka pelajari.

Pernah aku ingin menjewer telinga Nan. Bayangkan saja, untuk mempermudah belajar Peluang dan Kesempatan, Nan ingin mengajak anak lelaki (Kelompok 3) untuk bermain gaple dengan kartu domino. Menurutnya, ini cara terbaik memahami Peluang.

Aku mengerti maksudnya, tapi kami pasti didemo warga sekampung, kalau sampai melakukan itu. Nan malah tertawa melihat aku merasa kesal. Kini Nan membahas tentang bilangan. Dibuatlah anak-anak itu pusing.

"1 + 1…jadi berapa?" Tanya Nan misterius.

Anak lelaki Kelompok 3 menjawab berbarengan. "Duaaaa…"

Nan menggeleng. "Belum tentu…"

Johan protes. "Kok belum tentu, Kak?"

Nan merasa menang. "Coba ingat-ingat…1 buah ditambah 1 buku kan bukan dua buah atau dua buku. Tetap kita harus bilang 1 buah dan 1 buku"

"Oh iyaaaa…" Lagi-lagi anak-anak menjawab berbarengan.

"Sekarang 1 buah + 1 buah =…."

"2 buah," jawab Arkim

Nan menggeleng lagi, "belum tentu dong…"

Sekarang Wahyu yang protes. "Kok belum tentu juga? Kan sama-sama buah?"

"1 kg buah + 1 gram buah, kan jadinya 10001 gram buah," ujar Nan tenang.

Mendengar Nan dari kejauhan, aku hanya bisa tertawa kecil. Bocah-bocah yang hanya peduli dengan bola itu diajak berdialektika.

Aku kembali fokus pada kelompok 5. Siang ini kami belajar tentang Faktor dan Kelipatan. Anak-anak mengeluh padaku dari beberapa pekan lalu. Mereka sulit memahami Faktor dan Kelipatan.

Anak-anak di Kelompok 5 kuminta membaca lembar diskusi yang aku berikan. Judulnya bingkisan untuk pendamping. Sebagai rasa terima kasih untuk kakak-kakak yang susah payah menempuh perjalanan menuju Kebun Sayur, alangkah baiknya kalau mereka diberi bingkisan.

Sebagai modal, aku berikan Rp 100.000,00. Harus cukup untuk 10 kakak pendamping. Aku minta di dalam bingkisan ada beberapa hasil kebun dan empang milik warga Kebun Sayur.

Mereka langsung diskusi. Lalu kompak menuju tanah merah. Tidak lama mereka kembali lagi. Laporan kira-kira apa saja isi dari bingkisan itu. Semua isi bingkisan harus dibeli dan dibagi rata.

Anak-anak pun (mau tak mau) menggunakan Faktor dan Kelipatan agar jumlah sayur, ikan dan buah bisa dibagi rata. Lalu bingkisan itu pun dibuat 10 kardus. Masih ada sisa sekitar Rp 2.000,00. Begitu tahu kalau anak-anak membeli sayur untuk bingkisan kakak pendamping, orang tua mereka malah menambahkan isi bingkisan.

Saat kubuka, bingkisan itu berisi: bayam, kangkung, tomat, wortel, jagung, pisang, jeruk dan ikan gurame. Lengkap sekali.

Kakak pendamping terkejut menerima bingkisan. Mereka tidak mengira anak-anak bisa semanis itu. Di sisi lain, mereka juga bingung. Kardus ini lumayan besar dan berat. Agak susah dibawa turun dan naik angkot.

Aku sendiri tidak menyangka, Kebun Sayur punya hasil alam yang melimpah ruah dan murah. Kami pulang sedikit repot.

Seperti biasa, Nan mengantarku sampai terminal. Seperti biasa pula, sepanjang perjalanan dia tidak habis bercerita. Tentang obsesi kecilnya jadi pemain sepak bola.

Tentang rutinitas harian yang tidak juga dia pahami. Tentang hidupnya yang terlampaui nyaman. Selalu begitu. Lama-lama, aku hapal juga.

Sampai terminal, Nan menjauh sebentar dan kembali dengan dua botol air mineral. Juga satu bungkus gorengan. Angkutan ke rumahku memang agak jarang. Apalagi kalau sudah malam. Semakin langka.

"Ini, minuman dan gorengannya…."

Kuterima air mineral dari Nan. Kebetulan aku haus sekali. "Terima kasih."

"Bingkisan itu ide Rei kan?"

"Sedikit….lebih banyak anak-anak," kataku sambil melihat ke langit.

Nan terkekeh. "Heh…tak pernah ada bintang di sini. Apa yang Rei lihat di langit?"

"Hari ini langit mendung."

Nan melihat ke langit. "Sepertinya sih begitu…."

"Kok sepertinya sih? Lihat dong! Awannya gelap, berarti sebentar lagi hujan. Huft…semoga kardus ini bisa selamat…."

"Memangnya awan gelap pasti turun hujan? Belum tentu juga…."

Aku menoleh dan memasang muka penasaran. "Terus apa dong?"

"Ya…" Nan terdiam dan berpikir sejenak. "Mungkin karena langit mendung…hahaha…."

Aku kesal melihat senyum Joker ala Nan. "Itu tidak menjawab…iya, langit mendung, berarti sebentar lagi turun hujan."

"Hahaha….," Nan berubah jadi lebih serius dan memandang ke langit. "Rei pernah dengar? Kadang langit terlihat mendung karena kita tak bisa temukan cahaya di atas sana."

Aku ikut menatap langit. "Ke mana perginya cahaya?"

"Dia tak pernah pergi. Hanya saja awan gelap terlalu dominan. Sumber cahaya jadi kurang eksis…hehehe…"

Aku mendelik. "Lalu awan gelap pasti karena…"

"Beban berat…." Nan menyela.

Aku protes. "Kok beban berat?"

"Katanya air laut menguap. Lalu menjadi awan. Rei tahu? Awan yang berat menampung uap air akan berubah warna menjadi lebih gelap dan posisinya menjadi lebih rendah."

"Sama seperti Kau?"

"Aku?" Nan pura-pura kaget.

"Iya! Siapa lagi yang berubah jadi suram saat semua beban terasa berat di punggungnya? Kantung sejarah bertahun-tahun silam itu Kau bawa ke mana-mana sih."

"Rei…."

"Salah Kau sendiri, kenapa harus hidup sebagai wujud kesekian dari mahluk lain. Laut, awan dan hujan tetap saja wujud dari satu mahluk dengan rupa yang berbeda: air. Sama seperti Kau, hilang pribadi sendiri. Berubah-ubah karena siklus harian. Tidak punya jati diri."

"Rei…"

"Ah! Kalau Kau mau terus berubah wujud, silahkan saja. Mengalir, menguap atau melayang. Aku mau di sini. Menjejak tanah. Hingga wujud Kau yang asli meresap ke inti nadiku.

"Rei! Dengar dulu!"

"Sudahlah! Aku tahu Kau seperti air. Gampang berubah."

Nan terdiam lama. Membiarkan aku berhenti bicara. "Aku…aku…sungguh bingung, bagaimana caranya agar mulut Rei bisa diam? Baiklah, besok aku mau jadi awan saja. Maaf ya, cuma bisa mengawasi Rei dari ketinggian."

Aku masih menatap ke langit. "Tidak apa, kapan pun Kau merasa suram dan berat, datang saja padaku. Rintikmu akan kuterima dengan suka cita."

"Adakah cara yang masuk akal untuk menghentikan seluruh wujud yang terus berubah ini?"

Hening sebentar. Aku menarik nafas panjang. "Huufft…mungkin ada…jangan jadi air."

Malam semakin larut. Bintang tetap tak hadir. Awan kian hitam dan tebal. Aku harap rinai hujan tidak benar-benar jatuh ke bumi. (Bersambung)