webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

TUNAS BARU

Selama di Mandalamekar, aku belum juga sempat bicara dengan Nan. Seperti ada jarak di antara kami. Ketika aku absen selama beberapa minggu, Nan menghubungiku berkali-kali. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Ini tentang kami.

Aku heran juga, apalagi yang perlu dibicarakan tentang kami? Bukankah sudah jelas, kami mengambil jalan masing-masing. Seperti benih bunga Dandelion yang terpisah dan terbang bersama angin. Masing-masing singgah di tempat yang berlainan untuk tumbuh menjadi bunga yang baru.

Begitulah kehidupan berjalan. Ada waktunya menyatu, ada masanya memecah. Seperti siklus senja dan fajar yang menyimpan cerita jingga, tapi tidak pernah bisa bersatu. Mereka hanya saling mengenang dengan perjalanan surya. Sesuatu yang telah diputuskan, baiknya tidak usah lagi dikaji ulang.

Bagaimanapun, orang dewasa harus belajar mengambil pilihan — satu paket dengan konsekuensi dan tanggung jawab yang melekat bersamanya. Tidak ada celah untuk keraguan. Sebab keraguan hanyalah milik mereka yang tidak percaya keajaiban takdir.

Sebelum catatan sejarah dibuka, kita ibarat bidak-bidak catur. Maju dan mundur mengikuti permainan. Tetapi bukan dengan mau sendiri. Seperti ada kekuatan di luar diri kita yang mengarahkan. Selebihnya hanyalah alasan-alasan kecil sebagai pembenaran yang membuat segalanya tampak wajar.

Kata orang, ketika Tuhan memutuskan sesuatu untuk hamba-Nya, Tuhan akan membuat penyebab yang menjadikan putusan-Nya bisa diterima akal manusia. Kini lintasan takdir tidak bisa lagi diminta berhenti.

Malam jatuh di Mandalamekar. Persis ketika radio komunitas tersiar seantero desa. Bahasa yang digunakan tentu saja bahasa Sunda. Penyiar radionya pun berasal dari warga dan petani setempat. Banyak warga yang saling kirim salam dan pesan lagu.

Ketika di kota besar radio hanya terdengar dalam mobil, di Mandalamekar, radio masih efektif menyebarkan informasi dan menyampaikan salam warga sekampung.

Setelah shalat Isya berjamaah dan makan malam, kami duduk bersama di ruang tamu rumah Kepala Desa. Tidak ada kursi atau sofa di sini. Sejak pertama kali aku datang, ruang tamu ini memang hanya dialasi karpet dengan banyak cemilan dan air mineral.

Aktivis lingkungan, pamannya Ben yang juga penggiat desa itu duduk di sebelah Kak Gigih. Tidak ada teori berat tentang pemeberdayaan masyarakat ataupun target-target tertentu khas proyek 'capacity building'. Beliau lebih banyak cerita pengalaman hidupnya.

"Waktu saya diminta buka akses di Raja Ampat, saya datang menggunakan baju biasa dan mengendarai sampan sendiri, hahaha….kebanyakan orang-orang bule yang diutus ke sana datang dengan perlente. Masyarakat tidak suka, terlalu berbeda dengan mereka. Ini kuncinya, saat mendekati masyarakat, jangan buat jarak dan perbedaan yang terlalu mencolok."

Beliau terdiam sebentar. Lalu tertawa kecil, seperti sedang mengenang masa lalunya. Kami masih khusyuk menyimak kisahnya. Sambil sesekali menyeruput teh hangat dan mengunyah gorengan yang tersedia.

"Saya lalu tinggal di Raja Ampat. Berbaur saja dengan warga setempat. Ikut kerja bersama mereka. Sebenarnya warga penasaran, tapi karena saya terlihat seperti orang baik, mereka sungkan bertanya langsung. Setelah enam bulan, baru saya dipanggil Ketua Adat…hahaha…ditanya tujuan saya datang ke Raja Ampat, baru di situ saya punya ruang untuk diskusi lebih banyak."

Aku menatap lelaki sederhana yang pernah mendapat penghargaan 2011 Seacologozy Prize di California. Penghargaan ini diberikan atas kontribusinya merehabilitasi hutan dan menjaga mata air. Beliau juga dinilai sukses memberikan penyuluhan lingkungan pada petani di Mandalamekar.

"Kita tidak bisa menyuruh masyarakat untuk menjaga lingkungan tanpa memperlihatkan hasilnya. Kalau saya hanya sekedar menyuruh petani di sini untuk tanam pohon di bukit yang mulai erosi, pasti tidak akan ada yang mau. Jadi saya gunakan uang sendiri untuk beli tanah di bukit dan kaki gunung yang erosi. Saya tanami jati di sana. Kenapa jati? Sebab jati bernilai ekonomi dan bisa mensejahterakan petani."

Beliau berhenti sebentar. Menyeruput kopi hitamnya yang tidak lagi panas. Belum terlalu malam di Mandalamekar, diskusi masih terus berlanjut.

"Setelah hutan yang gersang ditanam kembali, mulailah mata air yang kering kembali mengalir dan memberi kehidupan. Warga melihat kalau penanaman ini berpengaruh secara langsung pada hidup mereka. Satu per satu mulai ikut menanam. Sebentar lagi jati yang ditanam mulai panen dan bisa dijual. Ini artinya jadi pemasukan buat desa. Warga semakin semangat jadi petani."

Apa yang ingin disampaikannya sesungguhnya sederhana saja. Masyarakat baru akan bergerak jika mereka percaya pada pendampingnya. Pendamping harus tinggal dan berusaha bersama mereka. Jangan hanya menyuruh saja.

Pendampingan dan pemberdayaan masyarakat akan berjalan dengan sendirinya ketika apa yang diserukan berpengaruh signifikan pada kehidupan mereka dan memiliki nilai ekonomi. Seperti di Kebun Sayur, warga mudah untuk bergerak, karena mereka tengah memperjuangkan tanah yang mereka tempati dan sumber penghidupan mereka sendiri.

Seperti seorang musafir, aktivis sosial barangkali hanya orang yang berkelana dan beradaptasi dengan tanah yang dipijaknya. Tidak perlu sok tahu dan memberi berbagai solusi untuk masalah yang tidak dirasakan. Sebab solusi yang efektif hanya mungkin muncul dari masyarakat itu sendiri — yang mengalami dan menjalani dampak dari setiap pilihan.

Ketika diskusi berakhir, Mandalamekar sudah benar-benar gelap. Tetapi masih ada saja yang bertanya dan terus bertanya. Dengan sangat terpaksa, Ben menghentikan diskusi ini. Esok pagi kami harus menyusuri hutan Mandalamekar dan belajar dari alam.

Rasanya memang baru tidur sebentar saja, saat kami dibangunkan untuk sholat Subuh dan sarapan. Sebelum jam 07.00 sudah bersiap kembali dengan baju lapangan. Seperti janji Ben, hari ini akan penuh dengan petualangan.

Bersama kami ada Aki Jani, petani Mandalamekar yang akan mengajari kami filosofi menanam. Ada juga Tantra dan Darto, mahasiswa Fakultas Ilmu Kehutanan UGM. Mereka diminta Mang Irman untuk menemani kami — mengingat hutan di Mandalamekar masih lebat dan beberapa gua belum terjamah.

Agar tidak merepotkan, tim dibagi dua. Aku dan Nan berjalan bersama Aki Jani dan Tantra. Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak mengobrol dengan Tantra. Sudah beberapa kali dia menyusuri hutan Mandalamekar untuk melakukan pemetaan potensi alam. Tapi belum semuanya bisa terdata dengan baik.

Terutama gua-gua vertikal yang sulit dijangkau. Butuh tali yang kuat dan panjang untuk mencapai dasarnya. Nan berjalan di depanku, tapi kami jarang bicara. Hanya sesekali saling bercanda dan menangkapi ocehan Meisya, Tigor dan Naldi. Tigor sedang galau rupanya.

"Macam mana ini? Kenapa cinta sulit sekali? Tuhan memang satu, Opung yang tak sama," ujar Tagor saat kami istirahat dan duduk sebentar di daerah yang berbatu.

Meisya merapikan jilbabnya yang sedikit berantakan. "Aduuh…repotlah kalau sudah berurusan dengan Opung."

"Apalagi Naldi, sudah beda Opung, beda Tuhan pula…ah, sudahlah lupakan saja pujaan hatimu itu…hahaha…." Nanda sengaja mengejek Naldi.

Urusan percintaan, Nanda memang lebih piawai dari Naldi — sang Wakil Ketua BEM yang cerdas, tampan dan berada. Kekasih Nanda lebih tua beberapa tahun. Lelaki yang suka naik gunung itu percaya, perempuan yang lebih tua tidak akan membuat hidup jadi tidak ribet.

Naldi yang diejek Nanda hanya terkekeh. Mata sipitnya hilang saat dia tertawa. Tidak mau ambil pusing, dia langsung berdiri dan mengajak Tantra melanjutkan perjalanan. Kami juga ikut berdiri. Rasa haus sudah tuntas dengan beberapa teguk air.

Jalanan yang kami lewati semakin terjal. Nan tidak banyak bicara. Tetapi tangannya beberapa kali menuntunku yang sulit melewati beberapa tanjakan curam dan memanjat akar pohon yang besar. Kami bahkan harus bergelantungan ala Tarzan, agar bisa melompati sebuah jurang diatara dua tebing.

Bagi mereka yang tidak mau uji nyali, Tantra memasang webbing yang sangat kokoh. Tetapi hanya diikat di beberapa pohon, tidak dipaku di tebing. Memaku tebing bisa membuat tebing terkikis dan rusak.

Bagi yang senang berpetualang, ini tentu menyenangkan. Tapi bagi mereka yang baru pertama kali melakukan penyusuran hutan, adegan melompati jurang ini tentu bisa bikin kapok. Melewati jalan terjal, kami kembali menyusuri hutan yang landai.

Aki Jani beberapa kali mengajari cara bercocok tanam. Nan secara serius belajar menanam benih cabe. Sementara aku lebih tertarik dengan cara menanam pohon jati.

"Prinsip menanam seperti prinsip kehidupan. Lihatlah pohon dengan dua tunas itu. Kita harus memangkas salah satu."

Aki Jani memotong salah satu tunas dengan golok yang terselip di ikat pinggangnya dan membiarkan tunas itu jatuh ke tanah.

"Bukankah lebih banyak yang tumbuh akan lebih baik?" Tanyaku heran.

Aki Jani menggeleng, "Untuk tumbuh, semua mahluk hidup butuh energi yang besar. Begitu juga pohon. Kalau terlalu banyak tunas, energinya akan terbagi dan tidak maksimal. Kita harus memilih satu tunas saja. Agar pohon bisa tumbuh lebih terarah dan optimal. Dalam hidup juga begitu kan? Harus fokus!"

Kata-kata Aki Jani menyusup di kepalaku. Lebih menusuk dari himbauan super trainer yang kadang mirip komentator sepakbola.

"Sayang sekali…"

Aku melihat tunas baru yang tergolek di tanah dengan rasa iba.

Aki Jani seperti bisa membaca pikiranku.

"Tunas itu akan kembali lagi ke tanah. Membusuk. Terurai. Lalu menjadi energi baru yang menyokong pohon ini. Tunas itu tidak akan terpisah jauh dari pohon tempatnya tumbuh. Dia hanya berkorban sebentar, lalu kembali menjadi bagian dari pohon yang dicintainya. Tidak ada yang terbuang percuma dalam semesta."

Aku tersenyum hormat pada petani paruh baya yang terlihat begitu bijak. Alam telah menjadi gurunya yang pertama dan utama. Dia petani yang tangannya memberi kehidupan pada umat manusia. Sebagai balasannya, alam menjadikan hatinya terus hidup. Dan aku berhutang kehidupan pada tangannya yang cekatan, juga hatinya yang tulus.

"Ini beberapa pohon jati yang akan panen. Sebelah pohon yang panen, ditanam pohon baru. Nanti begitu pohon ini benar-benar dipanen, pohon disebelahnya sudah tinggi dan siap untuk panen berikutnya. Di tempat pohon jati yang lebih dulu dipanen, ditanam lagi pohon baru. Begitu seterusnya. Tapi jaraknya tetap harus dijaga. Agar tidak merusak satu sama lain," kata Aki Jani menemaniku mengitari barisan jati.