webnovel

JEJAK WAKTU

Margaret gadis muda keturunan Indo-Belanda. Pulang ke Indonesia karena pesan terakhir dari neneknya. Pesan neneknya menuntunnya ke sebuah mansion tua milik leluhurnya. Dia menemukan buku harian dari seorang wanita bernama sama dengan dirinya, yang ditulis 200 tahun silam. Kisah dalam buku harian itu begitu tragis. Hatinya terasa sakit. Tanpa sadar air matanya bercucuran. Saat air mata itu jatuh mengenai buku harian itu, tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit luar biasa dan kemudian dia jatuh pingsan. Saat terbangun dia masih berada di ruangan yang sama tapi dalam suasana yang sangat berbeda....... Ini bukan dunia yang dikenalnya.

Nice_D · General
Not enough ratings
96 Chs

BAB 5 PONDOK HUTAN

Dia membungkuk rendah diatasku. Aku segera bangun karena terkejut. Wajah kami bertumbukkan. Aku mengaduh karena dahiku terasa sakit. Dia jatuh terduduk diatas rerumputan.

"Kau baik-baik saja?" tanya kami bersamaan. Lagi... kami memikirkan sesuatu yang sama dan mengatakannya secara bersamaan. Kami tergelak menertawakan kekonyolan kami. Tapi dia segera saja terdiam dan memperbaiki sikapnya, seakan yang baru saja dilakukan adalah dosa. Sikapnya kembali formal dan kaku seperti biasanya.

"Baru kali ini kulihat gadis terlentang dengan nyaman di rerumputan." katanya sambil menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?"

Matahari semakin tinggi. Butiran keringat mulai berjatuhan dari pelipisku.

"Ini... " katanya sambil menyodorkan sebuah kain kecil untuk menyeka wajahku yang penuh peluh.

Aku mencoba menggodanya. Kumajukan wajahku, sambil berkata: " Kenapa tidak kamu saja yang menyekanya? Tanganku terlalu kotor."

Dia menarik nafas panjang dan tersenyum. Sedikit... ya sedikit saja senyum itu, karenanya selalu membuatku merasa kurang.

Tanpa berkata apapun disekanya wajahku dengan sapu tangan yang dibawanya. Dia menyeka dengan sangat lembut. Bahkan aku bisa merasakan getaran tangannya. Dia gugup. Dia menggigit bibir bawahnya seakan menahan sesuatu.

Apa dia merasa jengkel denganku?

"Margaret." ucapnya

Aku terkejut. Dia tidak pernah memanggilku seperti itu. Aku menatap lekat-lekat kedalam matanya.

Dia berhenti mengusap wajahku. Dia membelai wajahku. Tatapannya menjadi lembut. Hatiku seakan-akan sudah meleleh karena tatapannya.

"Margaret" ulangnya. "Apa yang terjadi denganmu?"

Aku tidak paham apa yang dia maksudkan.

"Aku khawatir denganmu." suaranya begitu berat, "Apa kau menaruh rasa kepadaku?" tanyanya dengan sangat hati-hati.

Aku tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Itu terlalu frontal. Lelaki ini benar-benar punya kepercayaan diri yang sangat tinggi.

Tapi apa yang disangkakan mungkin benar. Karena aku merindukannya setiap saat. Aku ingin melihatnya, bersamanya, dan berbincang dengannya.

"Aku akan mandi dulu. Jangan kemana-mana!" perintahku. "Kau akan kuberi jawabannya."

Aku segera berdiri dan berbalik meninggalkannya.

Aku bingung harus berkata apa. Aku tidak yakin dengan apa yang kurasakan. Karena keyakinanku adalah aku harus menemukan cara untuk pulang, bukan membina suatu hubungan disini. Aku tidak ingin dia menjadi penghambatku untuk pulang.

Ini bukan duniaku. Ini dunianya.

Aku bisa melihat bahwa Dhayu sedari tadi mengamatiku.

"Jangan sampaikan apapun ke Papa!" ucapku memperingatkannya.

"Iya, noni."

Aku tidak tahu bagaimana persepsi mereka. Tapi apa yang baru saja terjadi pasti tampak intim dimata orang lain. Aku tidak ingin dia mendapat masalah.

Dia duduk di teras belakang, dengan secangkir kopi ditangannya. Dia tampak angkuh seperti seorang tuan muda. Dia tidak melihatku hingga aku duduk disampingnya.

Aku sudah meminta Dhayu untuk berjaga agar tidak seorangpun berada di dekat kita.

Dia menoleh kepadaku sebelum kembali lagi melihat kearah halaman belakang.

"Kau suka disini?" tanyanya

Aku mengangguk.

"Aku tahu." katanya lagi

Aku tidak mengerti maksudnya.

"Beberapa waktu lalu sebelum kedatanganmu, kami menyiapkan rumah di tengah kota, di pemukiman Belanda. Tapi aku tiba-tiba teringat vila ini dan mengusulkan kepada pangeran. Dia setuju."

Jadi dia yang telah menyiapkan ini semua.

Kenapa?

"Kau memiliki kepribadian yang bebas dan suka berkelana. Suasana perkotaan tidak terlalu cocok untukmu."

Bagaimana dia tahu? Kami bahkan belum lama berkenalan.

"Kenapa kau repot-repot menyiapkan ini semua?" aku balik bertanya. Aku tidak paham dengan penjelasannya

"Margaret."

Setiap kali dia mengucapkannya, entah kenapa aku menjadi sangat menyukai nama itu. Menurutku namaku menjadi lebih indah saat dia yang mengucapkan.

"Ya?" aku bahkan tidak mengenali suaraku. Suaraku terdengar aneh.

"Aku tahu apa yang kau rasakan." dia berhenti, seakan ada beban yang berat untuk sesuatu yang akan diucapkan. "Tapi apapun itu, aku mohon jangan diteruskan."

Apakah dia menolakku? Ingin rasanya aku menangis. Bahkan aku belum menyatakan perasaanku. Bagaimana mungkin dia menolakku?

"Kenapa?" tenggorokanku tercekat, sesuatu telah menyumpal tenggorokanku. Dadaku terasa sakit.

"Karena itu tidak benar." jawabnya dengan pelahan.

"Bagaimana kau bisa menyimpulkan benar dan salah? Apa kau mendengarku mengatakan sesuatu tentang perasaanku?"

"Tidak...aku tidak mengetahuinya. Aku dapat merasakannya, mooie dame."

Ah, dia sekarang merayuku dengan memanggilku 'nona cantik'. Sialan! umpatku dalam hati.

"Apa yang kau rasakan?" tanyaku mendesaknya

Dia tersenyum memandangku, "Bagaimana jika aku menanyakan pertanyaan itu?"

"Aku takkan menjawabnya."

"Aku sudah cukup lama disini. Aku harus pergi." katanya tiba-tiba.

Aku ingin menahannya, tapi aku terlalu malu dan marah. Aku hanya diam saja dan membiarkannya berlalu dari hadapanku.

Siang itu seoarang utusan menyampaikan bahwa Papa akan datang dua minggu lagi. Permasalahan di Batavia masih sangat pelik.

Setelah hari itu kami tidak lagi bertemu. Aku harus menahan keinginaku untuk bertemu dengannya sekuat mungkin. Aku bukan gadis yang tidak berprinsip.

Setelah tiga hari dia tidak mengunjungiku, aku meminta Dhayu untuk mengantarku melihat-lihat kota, dan berjalan-jalan di pasar. Dan segera, seperti katanya, keramaian tidak menarik untukku.

Ketika akan pulang, aku bertanya dimana kediamannya. Awalnya aku masih menahan untuk tidak menemuinya. Tapi rasa yang bergemuruh di dadaku tidak dapat kompromi dengan logikaku. Akhirnya aku putuskan untuk mengunjunginya sebagai seorang teman.

Gerbang rumahnya yang tinggi, cukup menunjukkan bahwa dia orang yang memiliki kedudukan penting.

Seorang pemuda (semacam pelayan) tergopoh menyambut kami ketika kami memasuki halaman rumah itu. Pendopo depannya tampak megah.

"Apakah Tuanmu ada?" tanya Dhayu kepadanya

"Ndroro Raden masih berlatih di belakang." katanya. "Mohon tunggu dulu. Nanti ndhoro akan menemui seusai latihan."

"Kau tidak perlu memberitahunya. Katakan saja, dimana dia berlatih. Aku ingin melihatnya." kataku menyela.

Dia tidak membantahku. Dia mengantarku ke arah belakang rumah itu. Rumah itu memanjang dengan paviliun-paviliun di bagian belakang.

Aku terus berjalan. Aku dapat merasakan tatapan-tatapan yang mengikutiku orang-orang yang kulewati.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan memakai kebaya yang cukup bagus menghentikan kami.

"Siapa yang bersamamu, Mo?" tanyanya kepada pemuda itu.

Aku mengulurkan tanganku untuk menjabatnya tapi dia tampak bingung, "Saya Miss van Jurrien." kataku memperkenalkan diri. "Saya teman dari Raden Arya."

Dia melihatku dari atas kebawah. Lalu kembali bertanya kepada pemuda itu, "Kenapa tidak kamu antar untuk duduk di pendopo? Kenapa kau bawa kemari?"

Pemuda itu tampak kebingungan menjawabnya

"Saya yang memintanya." selaku, "Saya memintanya untuk mengantarku ke tempat latihan Raden Arya."

Dia terlihat kurang suka dengan permintaanku, tapi kemudian mempersilahkanku untuk terus.

Aku sampai di suatu halaman yang cukup luas. Aku melihat beberapa orang pria bertelanjang dada tampak sedang berlatih dan bertanding. Aku mencarinya. Dan aku menemukannya diantara pria-pria itu. Aku melihatnya berkacak pinggang mengamati orang-orang yang sedang berlatih. Dia juga bertelanjang dada. Tubuhnya sangat bagus. Perutnya membentuk packs yang sempurna.

Sesaat dia tampak terkejut melihatku. Kemudian berjalan kearahku dengan langkah-langkah besar.

"Dhayu kau kembalilah dulu. Bawa dokarnya. Nanti Raden Arya akan mengantarku!" perintahku kepada Dhayu. Sebelum dia sempat menyatakan keberatannya, aku menangkat sebelah tanganku untuk tidak membantahku.

"Baik, noni." jawabnya dengan patuh.

"Goedenavond, Juffrow? sapanya formal.

Matanya menatapku tajam. Ada pertanyaan semacam, 'Apa yang kau lakukan, disini?'

Aku gugup, seperti seorang anak kecil yang kedapatan melakukan kesalahan.

"Aku membutuhkan pemandu untuk mengantarku jalan-jalan." kataku dengan menggerutu.

"Jika hanya itu, semua pelayan yang saya taruh di rumah peristirahatan bisa melakukannya."

Aku tidak ingin mereka. Lagi pula ini hanya alasanku untuk bisa bertemu dengannya. Sudah tiga hari kita tidak bertemu. Ada perasaan kehilangan.

Aku mengikutinya menuju sebuah beranda. Dia meminta seseorang mengambilkan minuman untuk kita dan mempersilahkanku duduk dengan formal.

Setelah terdiam beberapa saat, dia berbicara, " Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara rendah. Ada nada marah yang tertahan.

"Bukankah kamu tahu apa yang kuinginkan." kataku dengan tidak peduli.

Dia menghela nafas panjang. Bibirnya yang tipis terkatup rapat.

"Kau mau kemana?" tanyanya

"Kemana saja." jawabku enteng, asalkan denganmu... tentunya kata-kata selanjutnya tidak dapat kuucapkan.

Dia terlihat kesal sekaligus putus asa dengan sikapku.

"Kamu harus kembali. Ada yang harus aku lakukan." katanya tidak peduli.

Aku kesal sekali.

"Apa aku harus jalan kaki sendiri?" tanyaku.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah meminta pelayanku dan pengawal kembali terlebih dulu." jelasku merasa menang

Dahinya mengkerut. Dia kelihatan kesal. Aku menatap matanya menantang.

"Tunggu aku. Aku akan membersihkan tubuhku dulu." Dia menekan-nekan dahinya seakan sedang sakit kepala.

Yaiii! aku merasa menang.

Dia telah kembali dengan pakaian yang seperti biasa digunakan. Dia pakai tutup kepalanya yang disebut blangkon.

"Apa kau keberatan jika kita berkuda?" tanyanya

Tentu tidak. Aku membayangkan kita akan berkuda berdua seperti kisah romantis di film-film klasik.

Seorang pria membawa dua ekor kuda kearah kami. Buyar sudah kisah romantis yang kubayangkan.

"Kau bisa menungganginya bukan?"

Aku hanya diam. Aku kesal. Dia bahkan tampak senang melihatku kesal.

Dia membantuku untuk naik. Kuda itu berwarna putih dan cantik. Dia tampak jinak.

Dia tidak naik ke kudanya. Dia melihatku sesaat sebelum dia naik ke kuda yang sama. Jantungku berdesir. Wajahku terasa panas karena tersipu. Dadanya menempel di punggungku. Aku bisa mendengar degub jantungku yang seakan hendak melompat keluar. Tubuh kita saling menempel.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku bisa merasakan nafasnya yang hangat di telingaku.

"Kau ingin kemana?"

Aku tidak dapat menjawabnya. Aku terlalu gugup.

"Apa langsung pulang saja?" tanyanya lagi.

"Emm... antar aku berkeliling."

Dia memalingkan wajahnya ke arahku. Wajah kami terlalu dekat. Bahkan pipi kami sempat bersentuhan. Dia mengerutkan dahinya.

"Kemana?"

"Entahlah... tempat yang tenang dan tidak berisik."

"Ini sudah sore." ucapnya singkat untuk menyampaikan penolakannya.

"Sebentar saja." aku masih memaksa.

Dia memaju kudanya dengan lebih cepat. Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana. Aku tidak peduli. Rumah-rumah semakin tidak terlihat. Kita keluar dari gerbang kota. Kita berkuda di sepanjang Sungai Bengawan Solo.

Sore itu tampak indah. Dia berhenti di sebuah pondok tua di tepi hutan.

"Aku suka kemari saat aku ingin sendiri."

Pondok itu berada di tepi sungai. Air sungai yang jernih berkilauan tertimpa cahaya matahari sore. Aku tersenyum kepadanya. Matanya mengerjap melihatku.

Lalu kulepas sepatuku dan berlari ke tepi sungai. Dia memandangku penuh keheranan. Aku tidak peduli. Aku ingin menikmati hari ini.

"Hei! Kau mau apa?"

"Aku hanya ingin bermain air. Tenang saja. Jika aku ingin masuk ke air, akan kulepas semua pakaianku..."

Dia tampak terkejut. Aku tertawa melihat raut mukanya.

"Jangan khawatir, aku tidak akan masuk ke sungai. Aku tidak ingin berhutang nyawa untuk yang kedua kalinya kepadamu."

Dia memicingkan matanya dengan kesal.

Air itu segar sekali. Aku duduk di tepian sungai dengan kakiku didalam air.

Dia mengikutiku. Dia duduk didekatku.

"Tahukah kau bahwa Belanda juga banyak sungai?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Aku baru kali ini ke Indonesia... maksudku ke Hindia timur. Aku suka sekali bepergian, tapi tidak pernah sejauh ini." aku berhenti untuk melihatnya, "Nenekku memintaku untuk kemari. Dia memintaku untuk menemukan saudaranya. Hingga akhirnya aku sampai disini."

Dia menarik tubuhnya lebih dekat.

"Apakah kau percaya keajaiban?"

"Entahlah." jawabnya.

"Aku dulu tidak pernah percaya. Semuanya harus dapat kunalar secara logis. Ketika orang bicara bahwa aku berhasil hidup setelah mengalami kecelakaan adalah keajaiban, aku tidak berpikir seperti itu. Jika saja Mama tidak melindungiku dengan tubuhnya tentu aku tidak akan selamat." Lalu aku menoleh melihatnya yang menatap lurus kearah sungai. "Aku tidak menyukai ikatan. Aku juga tidak mungkin terikat dengan siapapun saat ini." Aku menghela nafasku. Aku harus mencari upaya untuk bisa kembali. "Aku akui, aku memang tertarik padamu. Tapi aku tidak mungkin bersamamu. Suatu saat aku harus pergi. Jauuh... ke tempat yang tidak mungkin kau jangkau. Aku tidak ingin menyisakan rasa disini atau membuatmu bersedih." ujarku kemudian sambil tersenyum.

Dia mungkin tidak memahaminya. Tapi aku tidak peduli.

"Tahukah kamu, didalam rumah tadi, aku mempunyai dua orang istri."

Aku menoleh terkejut. Tidak kusangka dia lelaki yang benar-benar memanfaatkan ketampanannya. Selama ini dia selalu tampak dingin. Bahkan aku merasa tidak mudah mendekatinya.

"Kau jangan berpikir macam-macam." katanya kemudian sambil tersenyum geli kepadaku saat melihat perubahan di wajahku. "Mereka dinikahkan kerena aturan keluarga. Aku bahkan belum pernah menyentuh mereka. Aku tidak pernah masuk kekamar mereka. Saudara-saudaraku selalu meledekku karena hal ini. Ibuku selalu memintaku untuk mencobanya. Bahkan dia juga memintaku untuk mengambil istri lain yang mungkin kusukai. Mereka khawatir denganku. Mereka berpikir aku tidak menyukai wanita." jelasnya sambil terkekeh. "Saat aku melihatmu, aku merasa kamu wanita yang berbeda. Kau selalu mengejutkanku. Kau begitu lugas menyampaikan keinginanmu. Kau selalu apa adanya. Aku menyukai itu." dia terdiam sejenak. "Aku mulai ketakutan. Seluruh perkawinanku diatur oleh keluarga. Aku hidup dalam aturan dan tatanan adat dan agamaku. Aku tidak dapat berbuat semauku. Aku menahan setengah mati agar tidak mendekatimu. Karena kau terlalu menarik untukku. Aku selalu ingin melihatmu. Bahkan setiap hari, aku selalu mendatangi rumah di bukit itu. Aku sudah puas hanya dengan melihatmu berlarian setiap pagi dari kejauhan. " dia menghela nafasnya. "Aku tidak paham dengan diriku. Entah apa yang terjadi dengan diriku. Kau seakan menyihirku. Aku tidak pernah merasakan hal ini dengan wanita lain. Aku khawatir aku melangkah lebih jauh. Aku lega kau mengatakan bahwa kita tidak dapat bersama. Walaupun aku juga sedih dan kecewa."

Kita duduk diam setelahnya. Tiba-tiba langit sore menjadi mendung. Dia mengajakku segera pergi. Tapi aku menolaknya. Aku ingin sebentar lagi menikmati suasana ini. Dan tidak lama kemudian tiba-tiba hujan turun. Dia segera membantuku naik dan kita berlari menuju pondok itu. Tapi pondok itu cukup jauh. Jadi setelah kami mencapai pondok, baju kami sudah terlalu basah.

Untunglah aq menggenakan baju beberapa lapis.

Dia menatapku lekat-lekat.

"Kau.. kau sangat cantik." katanya dengan suaru tertahan.

"Jangan bicara omong kosong." kataku tidak peduli. Baju luarku benar-benar basah. "Kau bantu aku melepas bajuku."

"Apa!" dia terbelalak terkejut. "Aku tidak bisa melakukannya."

"Ayolah... sebelum baju dalamku ikut basah juga. Aku harus melepas ini."

Aku mengarahkan punggungku mengahap ke arahnya. Dia menelan ludahnya. Tangannya gemetar meraih resliting bajuku. Dan aku segera melepasnya begitu resliting itu terbuka.

"Bantu aku melepas ikatan peticoatku. Ini membuatku sesak."

"Margaret... ini tidak benar. Aku laki-laki." katanya dengan bingung

"Dan aku perempuan. Lalu kenapa?" tanyaku menantangnya "Ah, sudahlah jangan berpikir macam-macam. Ini sesak sekali. Cepat, bantu aku lepaskan ini."

Dia tidak bicara apa-apa. Dengan sangat pelahan dia melepaskan ikatan iti satu per satu. Ah, rasanya lega sekali. Baju dalamku sangat tipis. Untunglah pondok itu tidak terlalu terang. Dia menyentuh pundakku yang terbuka.

"Kau sangat kurus."

Aku hanya tersenyum melihatnya.

Dia melepaskan pakaiannya yang basah. Dia membawa pakaian kami yang basah untuk diangin-anginkan.

"Hujan belum reda." katanya canggung.

Aku mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Ada sebuah balai-balai didalam pondok itu.

Dia membuka semua jendela pondok itu lebar-lebar.

"Duduklah." ajakku.

Dia berdiri terdiam didepanku. Dia menatapku dari atas kebawah.

"Kau... " dia menggelengkan kepalanya lalu duduk disampingku.

Kami diam dalam kecanggungan. Tubuhku menggigil.

"Apa kau kedinginan?" tanyanya.

Aku mengangguk. Dia mendekatkan tubuhnya dan kemudian memelukku dari belakang. Tubuhnya hangat. Dia menggosokkan telapak tangannya di pundakku. Aku menarik tangannya kearah pinggangku dan melingkarkan lengannya di perutku.

"Begini lebih baik." kataku.

"Margaret... " Aku dapat merasakan nafasnya yang hangat dan terburu di tengkukku. Tangannya gemetar. Kuremas lembut tangannya. Dia gugup.

"Kenapa kau gugup?" Aku menunduk melihat lengan kekar yang melingkar di perutku. Aku membalikkan tubuhku menghadapnya. Wajah kami sangat dekat. Nafasnya semakin terburu. Bibirnya bergetar.

"Aku... " Aku mengecup bibir itu dengan cepat, sebelum dia sempat melanjutkan kata-katanya.

Dia sangat terkejut. Dia menjilat bibirnya, kemudian menurunkan bibirnya ke bibirku. Kita berciuman dengan dalam. Lidah kami bertemu. Setelah beberapa waktu dia menarik kepalanya menjauhiku dan mendorongku menjauhinya. Kami hampir kehabisan nafas.

Matanya terpejam. Bulu matanya yang panjang tampak bergetar. Nafasnya masih terengah-engah.

Aku masih tidak memahami situasi ini. Kenapa? Apa yang salah dengan berciuman. Ini bukan ciuman pertamaku.

Dia meremas rambutnya dengan kedua tangannya.

"Ya Tuhan." keluhnya putus asa.

Apakah menciumku sebegitu mengerikannya?

Kenapa dia bereaksi seperti itu?

Aku mendekatinya.

"Arya?"

Dia mengangkat wajahnya pandangannya redup dan penuh kesedihan.

"Margaret... aku.. "

Aku menyentuh wajahnya. Menenangkannya.

"Aku mohon. Aku tidak mampu terus menahannya. Menjauhlah."

Matanya terpejam.

Aku kalungkan tanganku di lehernya.

"Lihat saya!" perintahku.

Matanya kembali menatapku nanar.

"Jangan menahannya? Itu menyakitkan."

"Kau sudah tidak waras." geramnya marah.

Aku melepaskan tanganku dan menjauhinya.

"Hujan sudah reda. Tolong pasangkan peticoatku." kataku memerintahkan.

Dia menjadi sangat penurut.

Kuangkat kedua tanganku agar memudahkannya memasang peticoatku. Tangannya terhenti saat tidak sengaja menyentuh dadaku. Jantungku berdesir

Aahh... sialan! umpatku dalam hati. Aku berbalik melihatnya. Wajahnya pucat seperti hantu.

Nafasnya menjadi cepat. Dijatuhkannya peticoatku, ditariknya tubuhku. Ditekankan bibirnya diatas bibirku. Kami berciuman dengan penuh nafsu. Ditariknya pakaian dalamku hingga lolos dari bahuku. Aku membiarkannya melakukannya.

Dadaku terbuka lebar. Dia mundur dan memandangi dadaku dengan rakus. Dia meraihku kembali ke pelukan dan melumat bibirku.