webnovel

JEJAK WAKTU

Margaret gadis muda keturunan Indo-Belanda. Pulang ke Indonesia karena pesan terakhir dari neneknya. Pesan neneknya menuntunnya ke sebuah mansion tua milik leluhurnya. Dia menemukan buku harian dari seorang wanita bernama sama dengan dirinya, yang ditulis 200 tahun silam. Kisah dalam buku harian itu begitu tragis. Hatinya terasa sakit. Tanpa sadar air matanya bercucuran. Saat air mata itu jatuh mengenai buku harian itu, tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit luar biasa dan kemudian dia jatuh pingsan. Saat terbangun dia masih berada di ruangan yang sama tapi dalam suasana yang sangat berbeda....... Ini bukan dunia yang dikenalnya.

Nice_D · General
Not enough ratings
96 Chs

BAB 4 PIPI YANG MEMERAH

"Selamat datang, Miss van Jurrien. Maaf, pangeran tidak dapat menyambut noni hari ini, karena ada urusan lain." sambutnya dengan nada sangat sopan, seakan-akan kita tidak saling kenal.

"Saya disini mewakili beliau."

Kakiku terasa kaku. Kuremaskan tanganku ke rok panjangku untuk mencegahku agar tidak melompat memeluknya.

Aku senang. Senang sekali, hingga aku merasa ngeri dengan perasaanku.

Lidahku kelu. Tidak ada kata-kata yang mampu lolos dari tenggorokanku. Akhirnya aku hanya sedikit menundukkan kepalaku.

Dia bersama orang-orang mempersilahkan aku untuk masuk. Beberapa wanita disana menggenakan pakaian seperti orang Eropa. Mereka dengan sangat sopan menujukkan kamarku. Aku melihat sekilas senyumnya saat orang-orang itu dengan semangat menyeretku untuk melihat kamarku.

Dhayu telah disana, menungguku. Kamar itu cukup bagus. Ada pintu yang mengarah ke bagian belakang rumah yang tertata dengan indah. Tapi aku sedang tidak ingin melihat kamar. Aku ingin melihatnya. Aku khawatir dia telah pergi, jadi aku segera keluar lagi menuju ke bagian depan rumah. Aku melihat sosok itu berdiri di teras. Aku lega dia belum pergi.

"Raden!" panggilku

"Ya.." jawabnya seraya membalikkan badannya kearahku. Aku melihat senyum tipis itu

Aku harus menelan ludahku. Dia terlihat segar dan sangat tampan hari ini.

"Apakah anda akan tinggal disini?" tanyaku dengan penuh harap.

"Tidak, Juffrow." jawabnya dengan formal. "Saya akan pulang. Saya hanya mendapat tugas dari pangeran untuk memastikan anda sampai dengan selamat dan tinggal disini dengan baik. Saya sudah mengatur pelayan untuk melayani anda."

Ada rasa kecewa menyeruak di hatiku. Aku ingin bersamanya lebih lama.

"Maukah anda tinggal untuk makan malam?"

"Baiklah. Tapi sekarang saya harus segera pergi. Saya akan datang saat makan malam." jawabnya. Dia membungkukkan badannya lalu segera pergi.

Ada perasaan kecewa melihatnya menunggangi kudanya dan pergi. Tapi masih ada sedikit kebahagiaan, menantinya malam ini.

Dhayu bertanya kepadaku, mengapa aku tampak senang sekali.

Aku hanya menjawab bahwa aku merasa lega sudah keluar dari Batavia. Tentu saja itu tidak benar.

Aku tidak pernah suka berdandan. Tapi malam ini aku ingin tampak lebih cantik. Aku membongkar semua tas pakaianku. Aku tidak pernah menyukai pakaian-pakaian princess disney ini. Dan sialnya hampir semua seperti itu.

Akhirnya aku mengambil satu gaun yang paling tidak berenda, berwarna biru muda.

Dhayu memasangkan peticout ku dengan ketat.

"Noni kurus sekali."

Aku melihat wanita-wanita Eropa saat ini tidak terlalu memperhatikan bentuk tubuh mereka. Mereka cenderung bertubuh besar penuh lemak.

Aku memakai make up tipis dan rambutku kuurai. Dhayu ingin membantuku menggelung rambutku. Dan aku menolaknya.

"Kamu juga kurus." ujarnya saat memegang lengannya. Dhayu hanya tersenyum menatapku.

Malam itu dia datang dengan pakaian beskap berwarna biru tua. Dia tidak menggenakan penutup kepala (blangkon) batik yang biasa digunakan. Kain yang dililitkan mengingatkanku pada orang skotlandia. Dimana para lelaki juga menggenakan rok, hanya saja untuk orang Jawa lilitan kain itu sepanjang kakinya. Kain itu disebut jarik. Dia tidak menunggang kudanya, tetapi menggunakan dokar.

Aku menyambutnya di pintu masuk.

Ada pandangan geli saat dia menatapku sekilas. Ya, dia tidak pernah terlalu lama menatapku. Dia segera mengalihkan pandanganya, begitu kita saling bertemu pandang.

Apakah aku terlalu buruk? pikirku

Bukankah dia pernah bilang bahwa aku cantik? Lalu kenapa dia tidak menyukaiku?

Begitu banyak pertanyaan di kepalaku.

Dia bukan orang yang mudah tersenyum. Dia cenderung selalu tampak serius.

Kita berbicara sangat formal di ruang depan sambil menunggu para pelayan menyiapkan makan malam kita. Dia seakan menjaga jarak denganku.

Makan malam berlangsung sangat tenang. Dia hanya menjawab dengan singkat setiap pertanyaanku. Dan hal itu membuatku kesal setengah mati.

Segera setelah makan malam, saya menawarkan minum teh di beranda belakang. Tadi sore aku meminta pelayan untuk menambah kandelier di beranda belakang sehingga lebih terang.

Dia tidak menolak. Ah, aku senang sekali. Rasanya ingin melonjak kegirangan.

"Apakah kau merasa nyaman?" tanyanya setelah para pelayan kuminta untuk meninggalkan kami. Hanya tersisa penjaga yang berdiri agak jauh dari tempat duduk kami.

Dia mulai berbicara informal. Aku sangat senang.

"Ya." jawabku. "Sangat senang melihatmu kembali."

Dia melihat kearahku. Tatapan kami bertemu. Bibirnya bergerak seakan hendak mengatakan sesuatu. Aku hanya mampu menelan ludah dan menggigit bibirku bagian bawah, menahan keinginanku untuk merasakan bibir tipis itu.

Aku benar-benar sudah tidak waras!

Ini bukan masaku, dimana wanita dapat dengan mudahnya menyampaikan perasaan mereka. Ini adalah dua ratus tahun sebelumnya.

"Syukurlah." jawabnya kemudian sambil memalingkan wajahnya kembali. "Ini sudah malam, apakah Noni tidak ingin segera beristirahat?" tanyanya.

Tidak! Aku masih ingin bersamamu. Aku masih merindukanmu.

"Saya tidak terbiasa tidur terlalu sore."

Dia mengangguk.

Untuk beberapa saat kita hanya duduk diam. Dia menyesap tehnya lebih cepat.

Apakah dia gugup? Kenapa?

"Tu.. "

"Non... "

Sekali lagi kita berbicara secara bersamaan dan kemudian kita menertawakan kekonyolan kita.

Dari samping hidungnya tampak indah. Andaikan aku bisa menfotonya dan menyimpannya dalam smartphone ku supaya dapat terus kupandangi saat aku tidak dapat bertemu dengannya.

"Silah... " lagi-lagi kita bersamaan berbicara.

Dan aku segera berbicara lagi.

"Maaf... " kataku

"Untuk apa?" tanyanya tidak mengerti.

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Bicaralah.." ucapnya dengan lembut.

"Eem... " aku tidak tahu bagaimana cara mengutarakan keinginanku. Aku hanya memilin-milin rokku dengan jari-jariku.

"Ya?" dia kembali memandangku.

Aku mengangkat wajahku malu-malu. Wajahku terasa panas. Aku yakin pipiku sudah memerah.

Dia terdiam melihatku. Mulutnya sedikit terbuka.

Apakah dia juga terpesona denganku?

"Apakah kamu sakit?" tanyanya, "Pipimu merah sekali."

Aaah, aku malu sekali.

"Tidak." jawabku. "Aku baik-baik saja."

Aku menjawab terlalu cepat. Aah, aku sangat malu sekali.

Dia tersenyum geli melihatku. Seakan dia tahu apa yang membuatku tersipu.

"Lalu kenapa pipimu memerah?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya "Apa tehnya terlalu panas? Atau udaranya sangat panas?" lanjutnya menggodaku.

Sialan! Bagaimana dia justru menggodaku seperti itu.

Bibirku memberengut, untuk memberitahunya bahwa aku kesal dengannya.

"Maaf.." katanya singkat

Aku masih diam. Dan mengarahkan pandanganku ke kegelapan malam di depanku.

"Aku akan pulang." katanya lagi.

Aku segera menoleh dengan panik, "Tunggu!" seruku ketika dia hendak berdiri. Kuraih lengannya untuk menahannya.

Dia mencoba menyingkirkan tanganku dari lengannya dengan tangannya yang lain. Tanganku bersentuhan dengan tangannya. Ada sensasi aneh yang menjalari tubuhku. Tanganku berbalik meraih jemarinya dan memegangnya dengan erat.

Dia hanya diam memandangiku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Posisi kita begitu intim. Bahkan tubuh kita semakin dekat. Meja kecil yang ada diantara kita seakan bukan lagi penghalang.

Aku tidak ingin sendirian. Aku ingin bersamanya.

"Noni... " ucapnya. Suaranya dalam dan berat.

"Maaf." kataku dengan lirih sambil melepaskan jemarinya.

Tatapannya meredup. Diangkatnya jemarinya kearah wajahku, tapi kemudian ditariknya kembali.

"Saya harus pulang. Terimakasih untuk makan malamnya."

"Aryo, bisakah anda kembali kesini, besok?" tanyaku memohon.

"Entahlah... Akan saya usahakan." jawabnya kembali dengan formal. "Permisi."

Aku tetap duduk di kursiku, tidak mengantarkannya pergi. Aku tidak ingin melihatnya pergi. Aku ingin bersamanya.

Pagi itu cukup berkabut. Tidak ada pakaian yang cocok bagiku untuk melakukan jogging di pagi hari seperti yang biasa kulakukan.

Hanya ada celana putih yang dipakai sebagai dalaman rok.

Apa ini pantas jika kupakai berlarian? pikirku.

Akhirnya aku memilih satu rok yang cukup lebar dan simpel dengan atasan yang paling ringan. Dan melepaskan alas kakiku.

Halaman belakang pagi itu dipenuhi kabut. Enak sekali udaranya dan aku segera berlari diatas rerumputan.

Segar sekali...

Aku berlarian berkeliling. Para pelayan memandangku dengan heran.

"Ayooo Dhayu... "

Dhayu hanya menggelengkan kepalanya. Aku terus berlarian hingga ujung halaman belakang. Ada taman kecil yang sangat indah. Setelah lelah berlarian, aku merebahkan tubuhku diatas rerumputan. Tubuhku penuh peluh. Pakaianku terasa lengket menempel. Aku gulung tinggi-tinggi lengan bajuku.

Aku tidak tahu seberapa lama aku tertidur, hingga sebuah wajah muncul diatasku menghalau cahaya matahari yang menyilaukan.

"Apa yang kau lakukan?"