webnovel

JEJAK WAKTU

Margaret gadis muda keturunan Indo-Belanda. Pulang ke Indonesia karena pesan terakhir dari neneknya. Pesan neneknya menuntunnya ke sebuah mansion tua milik leluhurnya. Dia menemukan buku harian dari seorang wanita bernama sama dengan dirinya, yang ditulis 200 tahun silam. Kisah dalam buku harian itu begitu tragis. Hatinya terasa sakit. Tanpa sadar air matanya bercucuran. Saat air mata itu jatuh mengenai buku harian itu, tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit luar biasa dan kemudian dia jatuh pingsan. Saat terbangun dia masih berada di ruangan yang sama tapi dalam suasana yang sangat berbeda....... Ini bukan dunia yang dikenalnya.

Nice_D · General
Not enough ratings
96 Chs

BAB 6 MENIKAH

"Aku tidak bisa melakukannya." dilepaskan tubuhku dari pelukannya. "Aku akan menikahimu."

Aku terkejut. Aku bingung dan takut dengan keputusannya.

Aku mundur menjauhinya. "Tapi aku tidak bisa menikah denganmu."

Wajahnya seketika menjadi suram, "Kenapa?"

Dia membantuku membenahi bajuku yang sudah setengah terbuka. Aku menyingkirkan tangannya. Aku berbalik menjauhinya.

Tiba-tiba dia menarik tubuhku. Memeluk tubuhku dengan erat.

"Aku menginginkanmu." katanya dengan suara serak.

Aku berbalik badan dan melihat dalam ke matanya. Aku bimbang. Aku tidak pernah begitu menginginkan seorang pria seperti dirinya. Tapi aku harus tahu bahwa aku bukanlah seseorang yang seharusnya disini. Bisa saja setiap saat adalah akhirku disini. Aku tidak ingin ikatan itu akan melukaiku dan melukainya. Air mataku tiba-tiba menetes tanpa dapat kubendung.

Aku dapat melihat dia kebingungan.

"Margaret... Kenapa? Aku menyakitimu?"

Aku menggelengkan kepalaku. Aku justru yang telah menggodanya. Aku yang telah menciptakan hubungan ini. Aku sudah begitu bodoh.

"Margaret... " nada suaranya tampak sangat khawatir.

Kuangkat wajahku. Kubelai wajahnya yang tampan.

"Maukah kau mempercayai apapun yang akan kukatakan?" tanyaku bersungguh-sungguh.

"Apa yang kau katakan? Apa maksudmu? Margaret... aku mohon..." ucapnya sambil memegang erat pundakku.

"Aryo.. Aku bukanlah Juffrow van Jurrien." aku berhenti. Aku mengamati wajahnya yang tampak semakin bingung. "Aku memang Margaret. Tapi namaku adalah Margaret Rutger, bukan van Jurrien. Van Jurrien adalah nama keluarga kakek buyutku."

Dia tidak berkata apa-apa.

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai disini. Tapi aku harus kembali. Ini duniamu tapi bukan duniaku. Suatu saat aku akan pergi."

"Margaret, aku mohon... Apa maksudmu? Kemana kau akan pergi? Tidak bisakah kau tinggal bersamaku?" wajahnya semakin tampak menyedihkan.

Aku menggelengkan kepalaku. "Aku khawatir kau akan kecewa."

"Margaret, kumohon."

"Kau tidak mengerti." selaku

Aku tahu bahwa ini tidak logis. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskan keadaanku kepadanya. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Aku hanya berpikir kita bisa bersenang-senang. Bukan sesuatu yang serius semacam pernikahan. Aku gadis modern yang memandang bahwa sex bukanlah hal yang amoral. Itu sah-sah saja jika kita saling menyukai dan mengingkinkannya, tidak ada paksaan.

Diluar hujan sudah reda. Dan hari sudah gelap. Aku menariknya untuk duduk di dekatku. Hanya cahaya malam yang menerangi kami.

"Apa kita akan bermalam disini?" tanyaku

"Apa kau ingin kembali?" tanyanya dengan penuh perasaan.

Aku menggelengakan kepala, "Tidak. Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan disini. Dan aku ingin bersamamu. Hanya bersamamu." jawabku.

Dia mengusap wajahku dengan lembut. Lalu mendaratkan ciumannya di bibirku. Ciuman yang lembut bukan ciuman penuh nafsu.

"Bibirmu seperti candu bagiku." keluhnya dengan suara serak. "Aku tidak yakin akan mampu tetap waras saat bersamamu."

Aku tersenyum kepadanya. Aku menghargai kejujurannya. Dia adalah seorang pria muda yang polos. Bahkan usianya dua tahun lebih muda dariku yang sebenarnya.

Akupun mengakui bahwa dia adalah pria yang sangat menarik. Aku setengah mati menginginkannya. Andai saja kita berasal dari dunia yang sama. Tentu aku akan mempertimbangkan untuk menikahinya. Tapi ceritaku sangat berbeda. Pernikahan bukan sesuatu yang pernah kupikirkan dalam hidupku. Perselingkuhan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga terlalu menakutkan untukku. Aku hanya merasakan memiliki keluarga yang lengkap hingga usia tujuh tahun, selebihnya hanya ada nenekku. Aku banyak mendengar berbagai cerita temanku dan keluarga mereka. Berkeluarga bukan sesuatu yang kuinginkan.

"Margaret, aku mohon, kita harus menikah."

Aku tidak menghiraukannya, "Ambil pakaian kita." pintaku. "Mungkin sudah cukup kering. Aku tidak ingin kamu sakit."

Dia mengangguk dan berlaku seperti seorang anak yang penurut.

Sekali lagi dia mencoba mengikat peticoatku.

"Menyentuh tubuhmu membuatku meradang." akunya.

Tali-tali itu baru separuh terikat. Kutarik lagi lengannya. Dia memelukku.

"Margaret.... " suaranya tercekat, seakan ada sesuatu yang menyumpal tenggorokannya. "Maukah kau menikahiku? Jika kau ingin pergi, kita akan pergi bersama. Kemanapun yang kau mau. Aku mohon." suaranya semakin lirih

Dia mengecup daun telingaku. Rasanya seluruh tubuhku terbakar. Aku menginginkan pria ini. Tapi sekali lagi dia berkata tentang pernikahan dan pernikahan.

"Jika waktuku untuk pergi telah tiba, apakah kamu akan mengikhlaskanku untuk pergi?"

Wajahnya tampak bingung, tapi kemudian segera berkata, "Apapun persyaratanmu, asalkan kita bisa menikah, aku akan lakukan."

Aku tersenyum. Aku masih punya waktu untuk membuatnya memahami situasiku. Kita hanya akan lakukan apa yang diinginkannya terlebih dahulu.

Aku mengangguk. "Suatu saat nanti, jika aku meminta sesuatu kau harus memenuhinya." kataku kepadanya

"Apapun, selama itu masih dalam batas kemampuanku, akan aku lakukan." jawabnya dengan kegirangan.

Aku mengangguk. Dia tersenyum penuh kemenangan.

"Ayo kita pergi." katanya.

Dia segera membantuku membenahi pakaianku. Dia bahkan tampak lebih cekatan daripada Dhayu. Aku geli melihatnya.

"Apa kau sering memasangkan baju wanita?" tanyaku tiba-tiba

Dia terkejut dan diam tidak mengerti dengan pertanyaanku. Kemudian aku segera tertawa melihat wajahnya yang kebingungan. Rautnya segera berubah. Dia tampak kesal.

"Hanya ada satu wanita yang membuatku memasangkan pakaiannya. Dan itu adalah kamu!" geramnya.

"Aku percaya kok... Tapi ikatanmu seperti seorang profesional." Lalu aku berbalik mengahadapnya dan melingkarkan lenganku dilehernya. "Cium aku." pintaku dengan nada memerintah.

"Aku akan menciummu lebih banyak setelah ini. Kita harus segera pergi sekarang."

Dia tampak sangat terburu.

Akan kemana dia membawaku?

Kami melewati perkampungan tapi dia tidak berhenti. Dia memacu kudanya dengan sangat kencang. Angin malam menerpa wajahku. Wajahku serasa membeku. Mungkin bibirku saat ini sudah membiru. Satu-satunya yang terasa hangat adalah punggungku yang menempel dengan tubuhnya.

Dia membawaku ke sebuah rumah. Rumah itu tidak terlalu besar. Tapi banyak sekali orang disana. Mereka duduk diatas lantai. Dia memintaku untuk melepaskan sepatuku. Aku tidak bertanya dan langsung melakukan apa yang dia minta. Segera mereka memberi jalan kepada kami dan membungkuk dalam-dalam memberi hormat kepada kami, begitu kami melewati mereka.

"Raden, sapa seseorang diantara mereka."

Arya hanya sedikit menganggukkan kepalanya.

Wah, pria ini benar-benar seorang yang terhormat. Mereka semua tampak segan dengannya.

Dia terus berjalan dengan langkah cepat. Dan aku harus sedikit berlari untuk mengikutinya.

Kita sampai di sebuah ruangan. Ada dua orang pria yang tampak sudah sangat tua duduk bercengkrama.

Arya segera berlulut dan membungkukkan badannya memberi hormat kepada kedua pria itu.

"Romo Yai... " ucapnya "Ajengan?"

Aku hanya diam di sebelah Arya. Dia menarik tanganku agar aku duduk disebelahnya.

Aku mengikutinya duduk di lantai disebelahnya, dibawah kedua orang tua itu.

Selanjutnya mereka berbicara dengan bahawa Jawa yang tidak kumengerti

"Ada apa, Ngger?" tanya salah seorang diantara mereka.

"Saya ingin berbicara hal yang penting dengan Romo."

Pria tua itu meminta pria tua yang lain untuk meninggalkan ruangan itu. Setelah pria itu pergi, seseorang yang dipanggilnya Romo Yai melihat ke arah kami.

"Saya ingin menikah." jawab Aryo.

"Bukankah kamu sudah memiliki dua istri?" tanyanya lagi wajahnya tampak sangat tenang

"Inggih romo."

"Dan biyungmu berkeluh bahwa kamu belum patut dengan istri-istrimu." dia menghela nafasnya dan menyandarkan punggungnya ke kursinya. "Lalu sekarang kau sudah benar-benar ingin menjadi seorang laki-laki?" tanyanya menggoda.

Wajah Arya memerah karena malu.

"Inggih."

"Lalu... wanita mana yang beruntung itu?"

Pria tua itu memandangku sekilas. Aku tidak memahami apa yang mereka bicarakan dan kenapa dia tiba-tiba seakan menilaiku.

"Dia." Arya menoleh kepadaku.

Sesaat pria tua itu tampak terkejut. Lalu dia menarik nafas panjang. Dia memejamkan matanya dan menopang dahinya dengan sebelah tangannya, seakan sedang memutuskan sesuatu yang berat.

"Apa sudah kau pikirkan?"

"Saya sudah tidak mampu berpikir apapun, Romo." akunya dengan nada putus asa.

Pria tua itu tersenyum.

"Kali ini kau sudah jatuh cinta..." lalu dia tertawa terbahak-bahak.

Sekalo lagi aku tidak paham apa yang dia tertawakan.

"Lalu kapan kau ingin menikah?"

"Sekarang juga." tegasnya

Pria tua itu terbatuk karena terkejut.

"Apa kau pikir menikah itu hanya dolanan?" ucapnya dengan nada tinggi.

"Tidak, Romo. Saya tidak akan berani."

"Lalu apa yang membuatmu masih juga belum melakukan kewajibanmu sebagai seorang suami kepada istri-istrimu?"

"Saya... saya butuh waktu... Saya masih belum mengenal mereka."

Pria itu tidak lagi tampak tenang. Dia mulai marah, "Kapan kamu akan mengenal mereka, jika kamu tidak pernah mendatangi mereka. Kau bahkan tidak pernah memasuki kamar mereka."

"Maafkan saya." Dia semakin menundukkan kepalanya, hampir menyentuh lantai.

"Sekarang bagaimana maumu?"

"Saya mohon nikahkan kami. Saya ingin dia halal untukku."

"Bagaimana jika aku melarang? Lagi pula, apakah dia juga bersedia?" Jari pria tua itu menunjuk padaku.