webnovel

Wahai Kegelapan, Lengkaplah Kau bersama Tangisan Kesedihan

Ketika hampir sampai, entah kenapa pikiran Edelweiss terus-menerus merasa gundah, memikirkan ada satu hal yang terlewat dan dilupakan.

Tapi anehnya, sang Putri tidak mampu menemukan apapun saat berusaha mengingat-ingat kembali, seakan pikirannya terhalang oleh sesuatu.

Pada akhirnya, dia mencoba mengalihkan perhatiannya. "Kakak, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Dan tentu saja, orang yang rencananya akan ia ajak bicara takkan bisa menjawabnya.

Merasa sedikit dihiraukan karena panggilannya tak direspon, Edelweiss menolehkan pandangannya ke sekeliling, sambil bertanya dimanakah sosok kakaknya yang tidak kunjung nampak.

"Yang Mulia, kami sama sekali tidak melihat Paduka Aden tiba bersama Anda," jawab salah seorang prajurit.

Mendengar hal itu, sontak Edelweiss menjadi tekejut. "Kalian tidak sedang bercanda bukan? Aku yakin sekali tadi kakak berada di belakangku."

"Kami bersumpah mengatakan hal yang sesungguhnya, Putri."

Edelweiss seketika langsung terpaku, tak dapat mengangkat kakinya sama sekali. Bagaimana mungkin, Aden yang sedari tadi berada tepat di belakangnya menghilang tiba-tiba seperti ini? Apakah karena tak sengaja terlibat dalam pertempuran di gerbang kota? Jika memang begitu keadaannya, maka sudah seharusnya baginya untuk membantu sang kakak.

Namun sayang, rencananya kali ini dicegah oleh para prajurit kota yang menemaninya, padahal ia baru saja hendak berbalik badan. Sambil terus memaksa putri untuk maju, kesatria-kesatria itu berjanji akan segera membantu dan membawa Aden ke tempat itu selepas putri benar-benar aman.

Akhirnya, sampailah mereka pada tempat pengungsian, yaitu istana kota Firmus. Sebelum menepati janji yang telah dibuat sebelumnya, prajurit kota menitipkan sang putri pada seorang pelayan istana agar tidak membuntuti mereka, kemudian undur diri. Dan tentu saja, reaksi yang pelayan itu tampilkan kurang lebih mirip seperti orang-orang tadi.

"Yang Mulia, bagaimana bisa Anda ada di sini? Dan bunga itu...."

Edelweiss tidak memedulikan pertanyaan tersebut. "Sophia, tolong berikan mawar biru ini kepada ayah! Aku akan pergi sebentar untuk menjemput kakak."

"Tidak, Anda harus tetap berada di sini, terlalu berbahaya situasi di sana!"

"Tapi, bagaimana dengan kakak? Aku tak bisa membiarkannya bertarung sendirian dan—"

Terdengar suara dentuman keras dari arah pintu masuk utama kota, memenuhi seisi telinga siapapun yang mendengarnya. Terlihat pula dari kejauhan bayangan hitam berbentuk bak germbolan semut yang Edelweiss lihat sebelumnya di luar kota, berlarian menuju istana.

Keadaan semakin gawat saja, dalam hal ini sudah jelas jika militer Firmus yang bertahan di garis depan telah ditaklukan sepenuhnya. Hal itu pula turut dirasakan oleh Sophia, sehingga dirinya langsung menyeret lengan majikannya masuk ke dalam tempat pengungsian.

"Yang Mulia, tolong buat mawar beku dan mahkota raja bergema secepatnya!" Pintanya sambil terus menyeret Edelweiss. "Hanya itulah satu-satunya cara membasmi makhluk-makhluk itu!"

"Ba-baiklah, tapi mereka semua akan segera ke sini dan menghancurkan seisi istana."

"Tidak perlu memikirkannya, hamba sudah membuat mantra penghalang ke segala penjuru istana."

Syukurlah jika Sophia sudah melakukan antisipasi sebelum peristiwa seperti ini terjadi. Namun, bukan berarti Edelweiss tidak lekas melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, kita semua bahkan tidak tahu butuh berapa lama prosesnya serta sampai kapan mantra tersebut dapat bertahan. Untuk itulah, pelayan setia putri memutuskan untuk tetap berjaga, sementara sang putri pergi menuju aula.

Beberapa saat kemudian, sampailah Edelweiss di bagian aula istana dengan pemandangan sesak, seisi tempat dipenuhi pengungsi yang gundah. Ini mungkin akan sedikit sulit, namun Edelweiss perlu menerobos kerumunan tersebut agar dapat menjangkau baginda raja di ujung sana.

Dan benar saja, ia malah jadi terjebak di tengah-tengah kerumunan selepas berusaha cukup keras. Meskipun sudah beberapa kali meminta diberikan jalan, rasanya orang-orang tidak memerhatikannya disebabkan ketakutan yang sedang mereka rasakan saat ini, hingga akhirnya ada seorang pria yang ada di dekat putri menyadari keberadaannya.

Warga negara itupun lantas berteriak, memberitahu pada semua orang bahwa Edelweiss berada di dalam kerumunan, dan amat membutuhkan jalan untuk lewat. Mujurnya, pengumuman mendadak itu mendapat respon baik dari semua orang yang mendengarnya, dengan begitu Edelweiss bisa menemui orangtuanya tanpa masalah.

Sama seperti yang lain, baginda raja pun terkejut bukan main tatkala mendapati salah satu anaknya sedang memberi salam hormat tepat di hadapannya.

"Edelweiss? bagaimana bisa kau ada di sini? Dan... dimana kakakmu saat ini?"

"Ayah, satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini adalah membuat mawar beku dan mahkota milik ayah bergema!" Tegas sang anak.

"Ayah mengerti, pasti Katherine Braun yang sudah mengatakannya padamu." Dia kemudian memberikan benda yang tersemat di atas kepala kepada anak bungsunya.

Baiklah, kini Edelweiss sudah memiliki semua yang ia butuhkan untuk menyelamatkan negaranya dari kehancuran, masa depan Firmus ada di tangannya. Tapi sebelum itu, bukankah sebaiknya kita pastikan bahwa dirinya sudah tahu cara melakukannya, sebab semua perjuangan ini akan jadi sia-sia jika ia tak mengetahui caranya.

Dan faktanya, sang putri memang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya setelah kedua benda itu berhasil ia dapatkan, seharusnya ia bertanya terlebih dahulu pada Sophia atau mungkin nona Braun caranya.

Meskipun demikian, Edelweiss tidak meratapi keadaannya begitu saja, kali ini ia mencoba untuk memusatkan seluruh perhatiannya pada kedua benda tersebut, berharap akan berhasil layaknya pintu bawah tanah serta mantra penyembuhan.

Edelweiss menutup kedua matanya rapat-rapat agar mendapatkan fase konsentrasi yang dibutuhkan, dan selama proses itu pula dirinya mendengarkan bisikan aneh yang terkesan seperti sedang menuntunnya. Awalnya, ia berpikir untuk mengabaikannya saja, namun lama kelamaan suara tersebut semakin terngiang di kepalanya.

"Alirkan mana dan pikiranmu pada kedua benda itu." Seperti itulah kira-kira perintahnya, dari nadanya terkesan seperti suara gadis kecil.

Pada bagian "alirkan pikiran" terasa cukup mudah, sebab dia merasa hanya perlu membayangkan harapannya saja yang kemudian akan tersalurkan secara otomatis. Namun, di bagian yang satunya lagi, Edelweiss yang tidak mahir dalam magis pastinya sedikit mengalami kesulitan.

"Bagus! Pertahankanlah sampai ada atmosfer baru yang mengelilingimu."

Aneh sekali, mengapa gadis itu malah terkesan sedang memuji? Padahal kita semua tahu bahwa masih terdapat sedikit kendala, apakah itu berarti sang putri sudah melakukannya tanpa disadari? Bisa jadi demikian.

Mari kita beralih ke tahap berikutnya, pada bagian ini nampaknya dia perlu lebih fokus supaya atmosfer yang dimaksud dapat segera dirinya rasakan. Dan benar saja, seketika suasana sekitar yang semula terasa amat mencekam, kini mulai terasa sangat berbeda tak lama kemudian.

Di dalamnya terdapat berbagai emosi yang saling tumpang tindih— senang, sedih, amarah, dan rasa pengharapan turut memenuhi seisi ruangan. Semuanya memang terasa begitu campur aduk, tetapi ada dua macam perasaan berbeda yang dapat Edelweiss rasakan dengan begitu jelas, yang sebenarnya lebih mirip seperti sebuah penggalan rekaman masa lalu.

Suara gadis itu kembali muncul dan berbisik, "Energimu dan kedua benda itu sudah saling terhubung dan siap dilepaskan. Sekarang, lafalkanlah kalimat perintah ini...."

Sang Arcaest membuka matanya, sekaranglah saatnya. "Tenebriae, tristyuroren buthic kunie tesifanien!"

"Wahai kegelapan, lenyaplah kau bersama tangisan kesedihan", begitulah kira-kira makna dari kalimat tadi jika diterjemahkan. Selepas mantra tersebut terucap, mendadak mawar beku serta mahkota raja Firmus menjadi bersinar, yang kemudian menyembur ke atas seakan melenyapkan murungnya langit.

Bukan hanya itu saja reaksinya, jutaan partikel berkilap mirip debu juga ikut ke atas dan berterbangan, disadari atau tidak. Sungguh merupakan pemandangan yang melegakan, sekaligus menyejukkan mata bagi Edelweiss, apa yang dilihatnya sekarang ini takkan pernah terjadi kalau bukan karena pengorbanan semua orang, termasuk nona Baun dan kakaknya.

Bicara soal mereka berdua, akan lebih baik kalau ia memeriksa keadaan dua orang itu sembari memastikan bahwa apa yang diharapkannya berhasil.

Jadi, tanpa membuang banyak waktu lagi sang putri lekas pergi, meninggalkan orang tua beserta rakyatnya yang kebingungan dengan kejadian barusan.

"Makhluk-makhluk menyeramkan tadi rupanya telah menghilang," gumamnya ketika berada di gerbang luar istana.

Kendati bayangan hitam yang sempat dirinya lihat sebelumnya telah menghilang, hal itu masih belum dapat membuktikan seberapa berpengaruh reaksi tadi terhadap kemenangan Firmus, terlebih masih terdengar beberapa pekikan dan pantulan pedang dari arah gerbang kota.

Seolah tidak memedulikan energinya yang sudah hampir habis, Edelweiss semakin menambah kecepatan berlarinya, meski beberapa kali tersendat-sendat. Semua itu rela ia lakukan, agar dapat segera menyaksikan semua yang ingin diketahuinya, termasuk keadaan Aden dan Katherine.

Hingga sampailah dia di dekat gerbang kota yang sudah hancur, dari kejauhan bisa dilihat secara sekilas jumlah pasukan Bizantium yang tersisa berkurang cukup drastis, dalam arti kata total personel yang masih hidup tidak sepadat dan sebanyak sebelumnya.

Tentunya, di titik ini pun masih belum bisa memaparkan semua kebenarannya, sebab ada satu kejadian yang jauh lebih masuk akal. Percaya atau tidak, muncul sebuah bala bantuan asing yang dalam jumlah masif sedang memerangi sisa-sisa bawahan Lukas.

Terlepas dari keterpihakannya pada Firmus atau sebaliknya, pasukan tidak dikenal itu sudah berjasa dalam pembebasan negara ini.

"Yang Mulia!" Sophia memanggil dan menghampiri majikannya.

Kebetulan sekali Sophia berada di sini, Edelweiss sudah tidak sabar menemui kakaknya. "Tolong antarkan aku pada pangeran segera!"

"Mengenai paduka Aden ...." gadis itu tertegun sejenak, kemudian memalingkan wajah dari hadapan lawan bicaranya.

Ia tanpa melanjutkan kembali perkataannya langsung undur diri menuju suatu tempat. Entah apa yang terjadi pada Sophia, yang jelas dirinya menginginkan majikannya untuk mengikuti kemana ia akan pergi.

Putri Edelweiss mendapatkan firasat yang cukup buruk tatkala melihat perilaku pelayannya, akan tetapi dirinya terus berusaha berpikir positif bahwa apa yang ada di benaknya tidaklah benar. Lantas, dia lekas bergegas menyusul Sophia sembari terus berharap semuanya akan berakhir baik.

Sesampainya di sana, nampak beberapa kesatria yang berhasil selamat berkumpul, seakan sedang mengerumuni sesuatu. Meski sedang berada dalam kondisi terluka, tak ada satupun yang terlihat mengambil posisi beristirahat, semuanya tetap berdiri tak peduli seberapa sakitnya mereka.

Ini tentu saja bukan merupakan pertanda baik, selain hal-hal di atas para prajurit itu bahkan menentengi helm pelindung mereka, lalu secara serempak menundukkan kepala. Semua peristiwa tersebut membuat hati Edelweiss semakin gundah, bahkan telah nampak beberapa tetes air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya.

Edelweiss benar-benar tidak dapat memikirkan apapun lagi, tubuhnya sudah tak dapat menahannya untuk tetap berdiri tatkala mendapati sosok yang paling disayanginya, terbaring penuh luka di sekujur tubuhnya. Meskipun mustahil untuk dilakukan, sang adik tetap mencoba tetap tegar— menghentikan air matanya jatuh terus-menerus.

"Kakak, kumohon bangunlah!" Percuma saja, orang yang ia panggil tak bisa menjawabnya.

Ia tidak menyerah sampai di situ, berulang kali kedua telapak tangannya ditempelkan pada dada Aden, berharap sebuah keajaiban akan muncul kembali dan mengubah segalanya. Namun, sebanyak apapun usaha yang

dilakukan, sekuat apapun keyakinannya, tetap tidak dapat membuat kelopak mata kakaknya terbuka. Kini, Edelweiss hanya bisa memeluk jasad tersebut dengan tangan berlumuran darah.

Tidak ada satupun orang yang berani menghampiri sang putri untuk sekedar menenangkannya, semuanya justru membatu dan turut merasakan kesedihan yang Edelweiss rasakan saat ini. Hari ini akan menjadi hari paling kelabu dalam sejarah Firmus, sebuah peristiwa di mana negara ini kehilangan helai daun terbaiknya.

"Dia belum sepenuhnya mati." Suara yang tidak asing itu mengagetkan dan mengundang mereka untuk menoleh pada sumbernya.

Perkataan itu muncul dari mulut Katherine Braun, yang kemunculannya secara mengejutkan itu membuat segenap kesatria memasang posisi siap bertempur dalam kondisi tidak memungkinkan.

Atas perlakuan tersebut, nona Braun langsung menghentikan langkahnya sembari mengangkat kedua tangannya, kali ini dia takkan banyak bicara seperti sebelumnya.

"Dia ada di pihak kita," seolah sudah mengenal gadis itu, Sophia menenangkan para prajurit sambil mengangkat lengan kanannya.

Melihat kejadiaan itu, Guardian itu hanya menyeringai, kemudian berjalan dengan terpincang-pincang mendekati Sophia. Ada satu hal yang ingin dirinya beritahukan, yaitu mungkin saja hidup sang pangeran masih bisa diselamatkan dengan bantuan magis, itu pun kalau segera ditangani.

Edelweiss yang tak sengaja mendengarnya langsung terdiam sejenak, kemudian melepaskan jenazah sang kakak dari dekapannya. Jika apa yang dikatakan Katherine memang benar, maka sudah pasti ia akan melakukan apa saja agar Aden dapat kembali lagi.

Ia menatap mereka berdua dengan tatapan serius. "Katakan padaku, bagaimana caranya?"

"Mustahil melakukannya di keadaan seperti ini," sanggah sang pelayan. "Untuk dapat memperbesar 'api kehidupan'-nya, kita memerlukan banyak sekali energi magis."

Tak sampai di situ, Sophia turut menambahkan mereka semua tak mampu memenuhi kebutuhan magis saat ini, sekalipun ada mawar beku. Ini disebabkan efek resonansi yang Edelweiss lakukan, cukup banyak menguras magis di dalam artefak tersebut.

Meskipun pemaparan tadi sudah cukup menyirat sebuah kesimpulan— takkan mungkin bisa, nona Braun hanya menganggapnya sebagai angin lewat saja. Dirinya kemudian kembali berjalan, kali ini menghampiri mendiang Aden untuk melaksanakan apa yang sudah ia rencanakan.

Sebelum memulai prosesi, dia ingin agar luka-luka sang pangeran sembuh terlebih dulu, sehingga meminta kepada Edelweiss untuk melakukan penyembuhan, namun dengan pikiran lebih tenang. Agaknya, hal itulah yang membuat tenik sebelumnya gagal— Edelweiss terlalu terburu-buru dan terbawa emosi.

Dan benar sekali, sedikit demi sedikit goresan luka pada tubuh Aden menutup dengan sendirinya seusai ia menjalankannya dengan hati yang tenang. Sayangnya, selepas proses tersebut berakhir, Edelweiss mendadak jadi tak sadarkan diri lalu jatuh di pangkuan pelayannya, agaknya mantra penyembuhan itu sudah menghabiskan sisa tenaganya.

Sementara itu, dari sudut pandang nona Braun, kita dapat melihat dirinya hampir menirukan cara Edelweiss dalam mengobati Aden tadi, hanya saja ia tidak menempelkan tangannya pada tubuh target, melainkan menggenggam salah satu telapak tangan pageran erat-erat.

Di sisi lain, Sophia merasa perbuatan yang dilakukan sang Guardian tidaklah asing.

"Jangan bilang kau akan—"

"Diam dan perhatikan saja!" Bentaknya.

Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil memejamkan mata, untuk menghilangkan distraksi yang Sophia keluarkan tadi. Berbeda dari jurus-jurus yang dipertontonkan sebelumnya, entah mengapa Katherine tidak merapal satu patah kata pun, dan cenderung semakin larut dalam alam bawah sadarnya.

Muncul berkas sinar biru yang tidak terlalu terik dari gandengan tangan mereka berdua. Walau demikian, momen tadi dibarengi dengan reaksi tidak wajar yang nona Braun alami. Kita bisa menyaksikan dengan jelas, tubuh wanita itu jadi terlihat semakin lemas, ditambah dengan munculnya memar-memar baru tanpa sebab.

Sophia dengan sigap langsung mendekatinya.

"Hei, jangan terlalu memaksakan diri dengan luka-luka seperti itu!"

"Kali ini aku takkan gagal...." Katherine berusaha mengabaikan segala rasa sakit yang muncul ditubuhnya, dengan menggenggam tangan Aden lebih kuat lagi.