webnovel

Tertangkap

Di depan pintu kamar Vorwister bersaudara, para tentara yang sejak tadi tak pernah mengendurkan sikap waspada, kini sudah mulai melakukan sebaliknya.

Ketika pintu-pintu ruangan dibuka, mereka langsung melepaskan Edelweiss dan kakaknya, kemudian dengan sigap segera menguncinya agar tidak bisa ke mana-mana.

Yah, perlakuan seperti ini terhadap keluarga kerajaan sungguh tidak beradab, bahkan tindakan ini bisa dianggap sebagai pemberontakan.

Namun, mereka yang mendapatkan titah dari jenderal utama juga tidak bisa menolaknya, di saat-saat penguncian mereka juga sempat meminta maaf sudah berlaku demikian.

Dari dalam kamarnya, Edelweiss tidak henti-hentinya memikirkan bagaimana perasaan kakaknya, ia pun sesekali menempelkan telinganya pada dinding pembatas kamarnya dengan milik Aden untuk memeriksa.

Meski dirinya dapat memaklumi keputusan pamannya, Edelweiss tahu betul seorang yang amat bertanggung jawab atas segala hal— saudara laki-lakinya tidak bisa berpikir serupa dengannya. Teringin sekali dia menenangkan suasana hati Aden, namun rasanya akan cukup sulit mengingat ini pertama kalinya Aden seperti itu.

Sudah berjam-jam lamanya waktu bergulir hingga mendekati tengah malam, sang Putri yang tetap terjaga masih belum mendengar suara apapun masuk ke dalam indra pendengarannya, kecuali dengungan akibat sunyinya malam.

Dirinya tidak berpikir bahwa sang pangeran berencana untuk kabur, sebab hal tersebut sangat tidak mungkin diakukan. Mereka berdua berada di lantai teratas watsu dan hanya ada satu jalan keluar. Alhasil, pergi dengan melompati jendela tentunya merupakan pilihan bodoh.

Pada saat seperti ini, dirinya yang "dipaksa" tidak berpartisipasi dalam peperangan tak bisa menemukan kegiatan lain yang berarti, kecuali membaca buku tentang artefak suci.

Lagipula, setelah peperangan ini berakhir mereka harus mengamankan benda magis itu, sehingga ketika peristiwa itu datang Edelweiss sudah menyimpan informasi sebanyak mungkin.

"Edelweiss." Di tengah-tengah keheingan malam, suara yang ditunggu akhirnya mulai berbahana dan memecahkan sunyinya kegelapan.

Gadis yang namanya disebut itu bergegas beranjak dari bangkunya, dan langsung mendekatkan telinganya kembali pada tembok untuk mendapatkan volume terbaik.

"Kakak, aku sangat mengkhawatirkanmu! Apa kakak baik-baik saja?"

"Katakan, apa tindakanku tadi terkesan egois bagimu?"

Edelweiss memberi waktu bagi dirinya untuk merenung sebentar atas pertanyaan tadi. Memang, bukan kalimat seperti yang ia harap keluar dari mulut kakaknya, tetapi jika dipikir-pikir kembali lebih baik begitu dibandingkan tidak berbicara sama sekali.

"Tidak," sahutnya, "aku yakin sekali Kakak hanya ingin melindungi semua orang."

"Menurutmu begitu?"

"Tentu, sebab Kakak sejak dulu tidak pernah berubah— selalu penuh perhatian dan tanggung jawab."

Keadaan menjadi hening, sebab tidak ada tanda-tanda berarti bahwa Aden akan melanjutkan percakapan, semua kembali lagi seperti sebelumnya.

Dengan perlahan, ia kembali menuju kasurnya untuk bersiap tidur, membiarkan kakaknya sendirian sementara waktu paling tidak sampai esok pagi.

Sang surya perlahan mulai menampakkan diri dari ufuk timur. Cahaya yang dibentangnya ke seluruh penjuru dunia menembus jendela-jendela, berhasil menggugah para jiwa yang masih terlelap untuk segera bangun, termasuk Edelweiss.

Dirinya merasakan pegal-pegal yang cukup hebat hampir di sekujur tubuhnya, mungkin karena semalam tidur terlalu larut sehingga tidak mendapatkan tidur yang berkualitas.

Namun, baginya itu bukan masalah selama rasa haus akan pegetahuannya dapat tercukupi, serta keberhasilannya berkomunikasi dengan Aden.

Bicara soal kakaknya, Edelweiss bertanya-tanya apakah kakaknya sudah merasa lebih baik atau belum, mungkin ada baiknya jika ia cek dengan menyapanya sebelum suasana di sekitarnya menjadi berisik.

Ia memukul tembok menggunakan kepalan tangannya beberapa kali. "Kakak, apa Kakak sudah bangun?"

Untuk beberapa saat Edelweiss tidak menangkap respon berarti apapun, tetapi selepas menunggu dengan sabar akhirnya sesuatu yang diharapkannya muncul.

"Ya, saat ini aku sedang membereskan tempat tidurku," jawab sang kakak terdengar datar.

"Omong-omong, aku minta maaf sudah membuatmu merasa risau sepanjang malam."

"Kita ini kan bersaudara, jadi wajar saja jika aku seperti itu." Edelweiss tersenyum manis.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Aku kehabisan bahan bacaan dan ...."

"Dan lapar bukan? Mari kita berharap 'mereka' tidak lupa memberi kita makan."

Kalimat terakhir yang dilancarkan Aden entah kenapa diucapkan dengan begitu kuat, seolah-olah dia menginginkan beberapa penjaga depan pintu kamarnya juga dapat menangkapnya.

Bunyi riuh seperti derapan kaki prajurit kemudian terdengar jelas dari balik ruangan, memasuki telinga tahanan mereka. Dari sini bisa kita pastikan, bahwa "mereka" yang Aden maksud benar-benar lupa akan kebutuhan terpenting tahanan mereka untuk bertahan hidup.

Edelweiss yang tidak menyangkakan sindiran tadi segera mengungkapkan isi hatinya. Menurutnya, satire yang kakaknya keluarkan persis seperti ciri khasnya Alira— tajam dan langsung ke intinya. Yah, mungkin tak apa jika sesekali Aden menggunakannya, ditambah gaya bahasa seperti itu terasa pas untuknya.

Para prajurit Maxima yang bertugas akhirnya mulai membukakan pintu yang sebelumnya tertutup amat rapat, kemudian mempersilakan bagi mereka untuk menyantap hidangan selagi hangat.

Siapa yang menyangka mereka bisa menyiapkan makanan hanya dalam sekejap.

Tawaran mereka memanglah menggiurkan, terutama bagi perut Edelweiss yang sudah merasa keroncongan sejak tadi. Namun, ada baiknya jika dirinya membersihkan diri terlebih dahulu sebelum pergi ke meja makan, lagipula itu adalah rutinitas wajibnya.

Akan tetapi, ketika mereka semua akan berjalan menuju aula, seluruh penjaga yang mengawal Edelweiss serta Aden di sekeliling mendadak tersungkur tanpa sebab.

Dengan sigap, mereka berdua lekas memeriksa korban untuk memastikan apa yang sedang terjadi saat ini.

Sang Putri secra spontan mengecek bagian kepala korban, sebab pada saat kejadiaan mereka terkesan seperti dipukul dengan sesuatu di kepalanya.

"Kakak, coba lihat bagian belakang kepala mereka! Entah kenapa bisa muncul memar di sana."

Tanpa ragu kakaknya pun langsung menuruti perkataannya. Dan benar saja, dari enam orang yang mengelilingi mereka semuanya mempunyai bekas yang sama— tepat di belakang kepala.

"Edelweiss, cepat ambil salah satu pedang milik mereka! Shaman mungkin menyerang kita lagi!"

Tidak ada waktu untuk menjelaskan siapa pelaku di balik semua ini, sebab semuanya terjadi begitu cepat. Yang hanya bisa mereka lakukan saat ini ialah memasang sikap siaga sembari memerhatikan sekitar, jaga-jaga kalau Shaman— yang Aden katakan memang benar datang.

Vorwister bersaudara yang saling menempelkan punggung satu sama lain perlahan-lahan, tanpa mengendurkan level kewaspadaan mereka. Tepat beberapa langkah setelah mereka berganti pijakan, sesosok berjubah coklat gelap tampak dari kejauhan berlari mendekati mereka berdua. Ini sungguh tidak baik, apakah orang tersebut berniat menyakiti mereka persis seperti Shaman? Atau jangan-jangan itu Shaman?

"Kurang ... kurang ajar kalian ... para Arcaest ...." Dari suara dan caranya terengah-engah, bisa diidentifikasi bahwa dia seorang gadis.

"Aku ... mencari kalian ... ke mana-mana!"

Kalimat tersebut sontak membuat lengan Aden bergerak spontan, mengayunkan benda tajam yang dipegangnya begitu saja ke arah wanita itu. Ayunan yang Pangeran keluarkan memang cepat, namun tak cukup cepat mengimbangi refleks targetnya dalam menepis serangan mendadak itu menggunakan sesuatu yang mirip jarum besar.

"Serius kau ini bertempur denganku di saat seperti ini?!" Tanyanya penuh amarah.

"Lantas, bagaimana kami bisa tahu kalau kamu bukan musuh, wahai orang asing?"

"Kalian menyebalkan sekali! Rasanya tak ada gunanya jika aku berlama-lama di sini!"

Gadis yang wajahnya masih tertutup penutup kepala itu merogoh sesuatu dari balik jubahnya, ternyata yang dia ambil ialah seutas rantai besi.

Tanpa basa-basi lagi, diayunkanlah benda panjang tersebut sehingga berhasil melilit Aden dan Edelweiss dengan cepat, saking cepatnya bahkan sasarannya tidak dapat menangkap kapan rantai tersebut mendatangi mereka.

Setelah sasarannya berhasil ditaklukan sepenuhnya, dia memasangkan penutup kepala yang biasa para bandit kenakan, mungkin saja dengan digunakannya topeng ini dia bisa menyembunyikan jati diri sanderanya.

"Apa yang akan kau lakukan pada kami?!" Tanya Edelweiss sembari meronta-ronta, namun suaranya agak kurang jelas akibat kain penutup tersebut.

"Dengar, jika masih ingin hidup jangan sekali-kali berpikir untuk berteriak minta tolong selagi masih berada di sini!"

Menggunakan seluruh tenaganya yang masih tersisa, sosok asing itu memaksa kakak-beradik Vorwister untuk bergerak mengikutinya. Siapa yang dapat menyangka dia cukup kuat melakukan hal semacam itu.

Seolah paham akan situasi yang ada, penculik itu sengaja keluar dari watsu melalui pintu barat— bagian yang biasa para prajurit lalui. Memang terkesan agak nekat, tetapi hal itu dilakukannya atas beberapa alasan, dua yang paling utama ialah tidak banyak orang yang lewat sana, serta merupakan rute tersingkat menuju gerbang kota.

Singkat cerita, mereka bertiga berhasil keluar dari kota dengan lancar, tanpa halangan sedikitpun. Tepat di ujung celah dua lembah, nampak sebuah kereta kuda yang sepenuhnya berwarna hitam legam terparkir di sana, boleh jadi kendaraan itu adalah milik si wanita ini.

Dan benar saja, alat transportasi tanpa kusir itu adalah miliknya. Sebelum bertolak pergi, dia memasukkan tahanannya terlebih dahulu ke dalam kereta lalu mulai melepaskan kain-kain penutup tadi, kini sanderanya bisa bicara dengan leluasa.

Ini tidak masuk akal, semestinya ada beberapa orang penjaga tersisa yang menyaksikan seorang mencurigakan keluar kota, bersama dua sanderanya yang terikat layaknya tahanan.

Namun, mengapa hal tersebut malah tidak terjadi? Trik macam apa yang sebenarnya orang ini pakai untuk mengelabui pandangan para prajurit?

"Topeng ini dapat mengaburkan eksistensi penggunanya sebagai manusia," jelasnya , "dengan kata lain, orang-orang takkan bisa melihat wujud fisik kalian."

Jadi begitu, itu menjelaskan segalanya. Namun, ada hal lainnya yang harus kita ketahui, tak lain dan tak bukan mengenai identitas penculik itu serta tujuannya berbuat demikian.