webnovel

Kebangkitan Pertama

Meninggalkan adik perempuannya yang masih berusaha keras melawan ketakutannya, kini Aden perlu berlari sekuat tenaga agar mampu menyusul para "tentara jiwa" yang sudah bertempur lebih dulu.

Dalam benaknya, dirinya justru merasa bersyukur jika Edelweiss tidak ikut bertarung, dengan begitu ia tak perlu mengkhawatirkan keselamatan adik semata wayangnya. Bagaimanapun juga, sejak hari pertama perjalanan panjang mereka Aden telah menjadikan keselamatan hidup Edelweiss sebagai prioritas utamanya sebagai seorang kakak.

Berdasarkan informasi yang sempat Katherine berikan, artefak suci yang saat ini sedang dipegangnya bisa diibaratkan sebagai kunci utama untuk dapat masuk ke dalam kota, itu artinya ia hanya perlu menjaga nyawanya, serta menyembunyikan keberadaan benda magis ini saat berbaur ke dalam pertempuran nanti.

Aden masih berlari kencang yang dia bisa, namun kelihatannya ketangkasannya memang tidak dapat mengimbangi Katherine dan para pasukannya yang "mengambang" bak hantu, atau jangan-jangan mereka semua hantu sungguhan? Apapun itu tidaklah menjadi masalah selama berada di pihak yang benar, dan lihat saja cara mereka bertarung.

Dari jarak tertentu, tampak jelas ratusan benda hampa berbentuk layaknya bola menghilang ketika berada di dekat para prajurit Bizantium. Tak berselang lama, entah bagaimana bisa tentara-tentara tadi saling menyakti atau bahkan membunuh sekutu mereka sendiri, sesuatu pasti telah merusak akal sehat mereka.

Akhirnya, setelah cukup lama berlari Aden dapat mendekati sang Guardian, walaupun dia berhasil melakukannya ketika sudah berada di tengah-tengah medan pertempuran.

Sambil terus mempertahankan dirinya dan mawar beku dari serangan, Aden mencoba berteriak, "Katherine! Di mana lokasi gerbang masuk itu?"

"Seharusnya di sekitar tiga tenda besar itu! Akan kubukakan jalannya untukmu!"

Nona Braun tidak membuang-buang waktu lagi ketika Aden sudah berada di dekatnya, lantas ia segera bermanuver dan fokus terhadap musuh-musuh yang ada di hadapannya.

Dia mengayunkan rantai besinya dengan kencang, kemudian dilemparkannya ke depan sehingga para prajurit Bizantium yang menghalangi jalannya terluka, tertusuk bagian ujung rantai yang runcing tepat pada jantung mereka.

"Ini sangat menyenangkan!" Katherine berteriak, melepaskan segala sensasi yang dirasakannya. "Kemarilah dan temui ajal kalian, orang-orang hina!"

Kemampuan dan tenaga yang ia miliki sungguh luar biasa, padahal musuh yang diserangnya tadi mengenakan pakaian besi lengkap, namun dengan mudahnya Katherine dapat menumbangkan mereka. Bahkan, serangan tadi melumpuhkan tiga orang sekaligus hanya dalam sekali lempar.

Ketiga korban malang yang berhasil mencicipi kekuatan sang penjaga mawar beku tidak dilepaskan begitu saja, sebaliknya malah diayun-ayun ke sana kemari membentur rekan-rekan mereka yang berada dalam jangkauan.

Di sisi lain, Aden yang merasa takjub dengan apa yang dilihatnya akhirnya mulai tersadar. Ini bukan saat yang tepat untuk melakukan hal tersebut, terlebih dirinya pula perlu berhati-hati dari setiap serangan yang datang.

Mujurnya, teman-teman Katherine— bola biru berpendar tadi juga ikut melindungi sang Pangeran dari anak panah maupun tebasan pedang. Mereka semua melakukannya dengan masuk ke dalam tubuh musuh, kemudian menjadikannya sebagai tameng yang mengelilingi Aden.

Meskipun pasukan penyelamat Katherine menjadi pusat perhatian regu barisan belakang Bizantium, rupanya mereka semua berhasil mencapai tenda yang dimaksud dengan usaha cukup ekstra. Ya, cukup ekstra karena harus menggempur lawan sambil melindungi juru kunci gerbang bawah tanahnya, jika tidak demikian Katherine dan para bola biru itu pasti bisa lebih leluasa menghajar lawan.

Atas perintah Katherine, Aden masuk terlebih dahulu dengan mengendap-endap ke dalam tenda pertama, diikuti dua orang prajurit lawan yang kini tak dapat mengendalikan tubuhnya lagi. Syukurlah, tidak terlihat seorangpun yang masih berteduh di sini, kini tugas ia berikutnya ialah mencari letak pintu masuknya secepat mungkin.

Ia kemudian menggali tanah yang ada di sekitar menggunakan pedangnya dengan sekuat tenaga, berharap apa yang ia cari berada di sini serta tidak tertimbun terlalu dalam. Namun sayangnya, tak peduli seberapa luas serta seberapa dalam ia menggali pintu masuk yang dicari-carinya tidak dapat ditemukan di manapun, mungkinkah memang tidak ada di tempat ini?

Tidak ada waktu untuk memikirkannya, Aden tanpa pikir panjang langsung keluar dengan penuh kewaspadaan lalu mengabarkan hasil temuannya yang nol besar di tempat pertama. Menurutnya, ini adalah saatnya untuk menyelidiki tenda besar ke-dua yang letaknya ada di samping kanan tenda pertama.

Mereka semua lantas segera beranjak mendekati tempat ke-dua yang letaknya tidaklah jauh dari lokasi pertama. Di sana, Aden kembali melakukan perbuatan yang sama— masuk ke dalam tenda dan mulai menggali, sementara Katherine dan sebagian besar rekan-rekannya bertarung di luar.

Tiba-tiba saja, mawar beku yang dikantonginya memancarkan berkas cahaya biru yang lebih terang dari sebelumnya, seolah memberikan pesan tersirat.

Pangeran yang menyadarinya langsung berinisiatif untuk mengeluarkan benda berharga milik kerajaannya lalu mendekatkannya ke tanah, dengan ini mungkin saja mawar biru dapat berperan sebagai detektor.

Dan benar saja, semakin ia geser posisi mawar biru, maka semakin bersinar pula cahaya yang dikeluarkannya, hingga tepat pada suatu titik mawar biru secara mengejutkan jatuh ke tanah dan mulai menumbuhkan akar.

Aden tak dapat menahan kekagumannya. "Magis macam apa ini? Sungguh luar biasa!"

Tanah yang berada di sekitar mawar biru berguncang cukup kuat, membentuk retakan yang akhirnya memunculkan sesuatu yang Aden cari selama ini— pintu masuk bawah tanah seukuran tiga orang dewasa kini sudah ditemukan.

Selepas ia membersihkan sisa-sisa pasir yang menempel pada jalan masuk, Aden mendapati terdapat sebuah kalimat terukir di sana dengan menggunakan sebuah bahasa yang tidak dapat dimengertinya.

Walaupun begitu, rasanya ia sedikit familier dengan model aksara seperti itu— seperti pernah melihatnya di suatu tempat.

Benar juga, Aden melihat huruf-huruf aneh ini di buku yang adiknya perlihatkan di ruang makan beberapa hari yang lalu. Dalam hal ini, mungkin Edelweiss dapat menerjemahkannya supaya ia dapat menemukan petunjuk lainnya, terutama cara membuka pintu ini.

Namun begitu, agaknya meminta adik kesayangannya untuk datang di tengah-tengah medan pertempuran bukanlah ide yang bagus, terutama jika mental Edelweiss juga ikut dipertimbangkan. Ya, Aden memang menyadari betul hal tersebut, tetapi ia tak punya pilihan lain.

Sang pangeran lantas menoleh ke belakang. "Temannya Katherine, bisakah kalian menjemput adikku untuk datang ke sini? Aku membutuhkan bantuannya!"

"Ya, Pangeran!" jawab dua prajurit Bizantium yang terasuki, serempak.

"Tolong, jangan biarkan ujung pedang manapun sampai menggores tubuh adikku."

Aden memandangi dua orang yang dipercayainya bergegas keluar dengan perasaan tak nyaman, ia benar-benar khawatir akan keselamatan adiknya yang sangat mudah untuk terancam dalam keadaan penuh kekerasan seperti sekarang.

Rasa cemasnya benar-benar tak dapat dihentikan, hingga ia hampir tak menyadari sebuah ayunan pedang cukup kuat akan mengenainya dari belakang. Beruntung, berkat refleksnya Aden berhasil menghindari serangan tersebut dengan ke samping pada saat-saat terakhir.

Tanpa diduga, seseorang beratribut zirah perang lengkap telah berdiri tepat di hadapan sang Pangeran, mengacungkan pedangnya ke depan sebagai isyarat agar lawannya menyerah saja.

"Oh, rupanya putra Warwick Vorwister yang sudah mengacak-acak pasukan bagian belakang."

Kedua bola matanya kemudian beralih ke arah mawar beku. "Dan hei, terima kasih sudah membawakannya untukku! Padahal aku bisa melakukannya sendiri."

Aden tetap mengangkat pedangnya, tidak membiarkan hal apapun mengalihkan kewaspadaannya lagi. "Kau... kau adalah...."

"Ya, akulah menteri Bizantium, Lukas Barbandes! Hari ini akan kupastikan jadi hari terakhirmu hidup!"

Sementara itu, dua teman Katherine yang Aden minta untuk menjemput Edelweiss kini sedang dalam perjalanan ke pemberhentian mereka, bersama beberapa bola hampa lain yang turut menemani. Kalau dipikir-pikir, mungkin ada baiknya jika mereka berdua berada dalam wujud bola biru saja seperti yang lainnya saat sampai nanti, sebab Edelweiss bisa saja mendapatkan "serangan jantung" jika yang dilihatnya adalah musuhnya.

Dan benar saja, lihat bagaimana raut wajah sang Putri yang sedemikian pucatnya tatkala melihat pemandangan tersebut, kedua lengan yang menopang pedangnya agar tetap tegak pun juga ikut terguncang.

"Ma... maju... lah ka... kalian, pa... para Monster!" teriaknya agak terbata-bata.

"Harap tenang, Putri," ucap salah satu dari mereka berdua. "Kami adalah sekutumu, roh bola biru yang Katherine panggil."

"Ro... roh?"

"Tepat sekali. Kemampuan kami ialah mengendalikan tubuh yang kami rasuki secara leluasa. Selain itu—"

"Tidak ada waktu untuk menceritakannya! Yang Mulia, saat ini kakak Anda sedang berada dalam kesulitan dan membutuhkan bantuan secepatnya!"

Edelweiss amat terkejut dengan apa yang didengarnya, meskipun ia belum tahu betul kesulitan macam apa yang kakaknya sedang hadapi saat ini— terlalu cepat menyimpulkan.

Dengan sekuat tenaga, ia mencoba lebih mengukuhkan mentalnya, berharap dapat menolong saudara yang amat dicintainya.

Akan tetapi, usaha yang dilakukannya sejak beberapa waktu lalu tetap saja gagal, seolah ada satu hal yang memang mengganjal tekadnya.

Edelweiss tidak tahu mengapa, rasanya setiap kali ia melihat ke arah medan perang, pekikan mengerikan jiwa-jiwa yang terpaksa meninggalkan raganya bisa ia rasakan, menghasutnya untuk menyerah saja.

Itu sungguh aneh, sebab Edelweiss tidak berada di jarak yang cukup dekat dengan tempat kejadian, jadi secara teknis agak tidak mungkin bagi telinganya untuk dapat menangkapnya. Hanya ada satu jawaban yang cukup logis, mari kita pertegas kembali bahwa Edelweiss belum siap secara mental untuk menghadapi situasi seburuk ini.

Salah seorang dari rekan Katherine menoleh ke belakang, mendapati Edelweiss yang lagi-lagi tidak dapat bergerak bagaikan terpaku kuat.

"Ada apa, Putri? Kita harus segera bergerak!"

Edelweiss tidak dapat menahan air matanya, dan terus menerus memukuli kakinya yang membeku itu. "Maaf, maafkan adikmu yang lemah ini Kakak... sebab diriku yang lemah ini nyawamu berada dalam bahaya. Aku memang bodoh! Sungguh bodoh!"

"Dasar Bodoh!!" Suara tak mengenakan yang bernada hardikan itu, benar-benar terasa tidak asing bagi siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali bagi Edelweiss.

"Nona Braun?" sang Putri menghentikan air matanya. "Apa yang Anda lakukan di sini?"

"Diriku yang asli membuat klon dari bayangan karena curiga dengan bola-bola jiwa yang mundur dari medan perang," ungkapnya. "Kau tahu, tidak ada satupun keturunan Vorwister yang menyedihkan kecuali dirimu!"

Edelweiss hanya terdiam, tak berniat merespon atau menyangkal kalimat hinaan yang Katherine lontarkan, karena baginya itu semua memang terasa benar.

"Dengarkan aku, tidak ada gunanya kau terus bersembunyi di belakang Aden! Kau tahu takdirmu bukan? Seorang Arcaest tidak akan pernah berjalan di belakang rekannya, melainkan di sampingnya!"

Ucapan keras tadi seakan menusuk kuat dada gadis bermata biru safir itu, lalu mengguncang-guncangkan alam bawah sadarnya. Apa yang nona Braun ucapkan tadi memang benar, sudah masanya bagi Edelweiss untuk menunjukkan pada Aden bahwa dirinya tidak lagi berada di balik bayangannya, persis seperti yang sudah ia usahakan selama ini— membuktikan ia bukan anak kecil lagi.

Edelweiss menghapus air matanya, kemudian berjalan maju selangkah untuk memastikan apakah kini kaki-kakinya sudah bisa diajak bekerja sama. Dan benar saja, setelah berhasil mendapatkan kembali kendali penuh atas tubuhnya, rasanya Edelweiss bisa melakukan apapun sekarang, tak peduli seburuk apa kondisinya.

Jeritan menyeramkan yang sebelumnya hampir memenuhi kepalanya lambat laun mulai pudar, digantikan nada-nada alam nan merdu. Untuk sesaat, Edelweiss merasakan semua yang ada di sekitarnya berhenti berputar— membatu seolah tak terikat oleh waktu. Peristiwa aneh tersebut tentu saja mengundang rasa heran dari Edelweiss, bagaimana bisa hal seperti ini bisa terjadi?

Sebuah benda berukuran raksasa mendadak turun dengan pelan dari langit tepat di hadapannya, diketahui benda tersebut merupakan patung berbentuk naga tatkala bagian depannya berhasil diamati. Edelweiss jadi semakin bingung dengan semua ini, kenapa hal aneh semacam ini malah muncul di situasi genting.

"Apa yang kau inginkan?" Suara yang terdengar cukup berat berasal dari patung tadi, seolah mengajak mengobrol satu-satunya makhluk yang dapat bergerak.

Edelweiss menjawabnya secara spontan, "Aku takkan bersembunyi lagi, aku ingin berada di samping kakak, mendukungnya seperti mentari yang bersinar tanpa batas!" Walaupun tanpa ia sengaja, tapi jawaban yang dikeluarkannya terkesan mantap.

Patung naga tiba-tiba saja memancarkan berkas cahaya ke segala penjuru arah, sehingga menyilaukan pandangan Edelweiss. Alhasil, ia tak dapat menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya sampai mendapati semuanya telah kembali normal, benda besar yang mengeluarkan suara tadi juga ikut menghilang.

Sebuah lonjakan energi tidak biasa secara mendadak muncul bersamaan dengan bangkitnya Edelweiss yang agaknya tidak disadari. Hal tersebut rupanya membuat Katherine yang merasakannya jadi kegirangan, sebab ia tahu betul apa yang sedang terjadi pada Vorwister satu ini.

"Nona Braun, terima kasih banyak!" Edelweiss tersenyum. "Sebaiknya kita segera bergerak! Kakak pasti sudah menungguku!"