webnovel

Cyrus

Setelah menghabiskan tiga hari dua malam di perjalanan dengan sela rehat yang minim, tibalah mereka bertiga di jalur Cyrus, tempat di mana sang penjaga mawar beku tinggal.

Sejauh ini, entah kenapa rasanya setiap tempat yang Vorwister bersaudara lalui bersama penculiknya terasa begitu asing— tak mirip seperti yang tertera pada peta maupun jalan yang mereka lalui ketika hendak ke Maxima.

Satu-satunya jawaban yang paling masuk akal ialah Katherine mengambil jalan pintas dengan menerobos setiap medan yang ada, sebab jika memang dirinya melewati rute utama— melewati Floria seharusnya kota tersebut dapat dilihat penampakannya serta.

Ditambah, tak ada satupun jalan di rute utama yang bergelombang naik-turun dan dipenuhi batu krikil seukuran kepala, plus waktu tempuh menuju Cyrus tidak akan sesingkat ini.

Sungguh pemandangan yang cukup mengejutkan, baik Aden maupun Edelweiss tak dapat membayangkan jika tempat seperti ini benar-benar ada. Tidak banyak yang bisa disoroti pada tempat ini, dengan kata lain hanya ada padang pasir menjenuhkan dengan pepohonan yang mati mengering sejauh mata memandang, persis seperti ucapan Phillip.

Dilihat dari struktur dataran dan intensitas cahaya yang lokasi ini terima, agaknya memang benar kalau tak pernah muncul hujan atau salju sedikitpun di sini. Sehingga, mereka berdua sepakat bahwa tempat ini merupakan satu-satunya tempat paling aneh dan menentang hukum alam di Firmus. Beruntung, pada saat perjalanan menuju Maxima kelompok tidak memilih jalan ini.

Katherine yang sedari tadi fokus pada jalanan mulai bicara, "Kenapa? Apa kalian tidak pernah melewati jalan ini sebelumnya?"

Betul Nona Braun," ucap Edelweiss, mengibas-ibaskan lengannya sebagai kipas, "kami belum pernah melalui tempat segersang ini sebelumnya. Apakah di masa lalu juga begini?"

"Ti ... tidak," balas Katherine agak enggan. "Dulunya di sini sangat subur dan makmur."

Edelweiss tanpa sengaja menyatukan alisnya. "Tidak mungkin! Lantas, bagaimana bisa tempat ini menjadi tandus? Dan seperti apa keadaan orang-orang pada waktu itu?"

Wanita berumur panjang itu meninggikan suaranya. "Lupakan saja! Aku tak punya kewajiban untuk menjawabnya!"

Sepertinya perkataan Katherine barusan mengandung makna peringatan bagi Edelweiss agar tidak menyelam lebih dalam lagi. Namun demikian, kita semua tahu betul sifat Tuan Putri yang tak mampu dihentikan bila sudah berurusan dengan rasa ingin tahunya.

"Semua ini ulah efek anomali magis yang mawar beku ciptakan!" pada titik ini entah mengapa Katherine lebih meninggikan suaranya. "Seharusnya aku tidak menerima tugas ini!"

Edelweiss menjadi bergeming, enggan berbicara lagi, sepertinya dia secara tidak sengaja sudah mengungkit hal menyebalkan yang tidak disukai lawan bicaranya. Namun sebaliknya dengan Aden, kini sudah tiba baginya untuki berbicara.

"Jadi, selama ini kau membenci Richard Vorwister serta takdirmu sebagai seorang penjaga?"

Untuk beberapa saat Katherine membiarkan pertanyaan tadi terbang terlebih dahulu sebelum menjawabnya. Pertanyaan seperti ini adalah hal yang cukup menjengkelkan baginya, sebab dirinya memang tak pandai dalam mengungapkan perasaannya.

"Aku takkan bisa membenci leluhur kalian, sekalipun ia membahayakan hidupku," sahutnya, pelan, "semenjak jiwaku terpaut dengan artefak itu, aku melihat keluarga serta rekan-rekanku pergi, dan di sini— Cyrus adalah satu-satunya tempat yang mengilhami penderitaanku."

Begitu rupanya, itu menerangkan alasan dirinya agak tersinggung ketika ditanya tentang masa lalu Cyrus. Memiliki umur panjang ternyata tidak semenyenangkan yang kita kira selama ini.

Katherine pasti sudah sangat menderita selama ini, hidup sebatang kara bersama bayangan kelam yang akan terus menghantuinya seumur hidup.

Beberapa jam kemudian setelah perjalanan yang tiada henti lagi, nona Braun akhirnya memberhentikan kereta kudanya tepat di depan sebuah bangunan tua nan megah— wastunya.

dengan terburu-buru, ia memperingatkan Vorwister bersaudara untuk tetap diam di tempat dan tidak mengikutinya masuk.

Namun begitu, bukannya menuruti perintah, mereka berdua malah keluar dari kereta untuk mengambil peregangan badan sejenak. Ini mungkin adalah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk meregangkan otot-otot di hari ini, jadi cukup logis jika Edelweiss dan kakaknya melanggar peringatan tadi.

Di saat-saat prosesi, Edelweiss sesaat memandangi wastu tua itu dengan ekspresi takjub, Katherine beruntung memiliki tempat tinggal dengan arsitektur semegah ini. Namun, di tengah rasa terpesonanya dia cukup menyayangkan pada keadaannya yang porak poranda, seperti tidak terurus. Mungkin ada baiknya kalau Katherine mempertimbangkan perombakan besar-besaran terhadap rumahnya, supaya terlihat lebih indah dan nyaman ditinggali.

Sudah lima belas menit lamanya sejak penjaga artefak itu meninggalkan mereka berdua, tetapi masih belum ada tanda-tanda kehadirannya. Apapun alasannya, tidak seharusnya nona Braun berlama-lama di dalam rumahnya, bukankah mereka semua sangat terburu-buru sehingga tidak boleh membuang waktu?

"Kakak, aku akan masuk ke dalam untuk mencarinya."

"Jangan," cegah Aden, menjulurkan tangannya, "dia menyuruh kita agar tidak mengikutinya. Kita turuti saja apa maunya."

"Maaf semuanya!"

Yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul pula, tampak dari kejauhan Katherine membawa sebuah benda biru gemerlap. Awalnya, memang kurang jelas benda macam apa itu karena ukurannya yang agak "mini", tapi setelah dilihat dari dekat rupanya mirip sekali dengan gambar mawar yang ada pada buku Edelweiss. Mungkinkah itu artefak suci yang selalu mereka singgung belakangan ini?

"Kenapa kau lama sekali Nona Braun? Apa yang menahanmu?"

Mendengar hal itu, Katherine lantas melemparkan barang yang dipegangnya tadi ke arah Aden, beruntung pangeran Firmus berhasil menyelamatkan benda rapuh itu dari Kehancuran.

"Kau tahu, melepaskan mantra pelindung yang mengikat mawar biru bukanlah pekerjaan mudah," ungkapnya, memicingkan mata. "Kita beruntung benda berharga ini belum dicuri, tetapi entah mengapa magis yang dikeluarkannya begitu lemah...."

Kemudian, tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis itu bergegas menaiki kereta kudanya sebagai ungkapan untuk Vorwister bersaudara perjalanan akan dilanjutkan kembali.

Di dalam kereta, mereka berdua amat takjub mengamati betapa indahnya benda berpendar itu. Siapa sangka, kalau dibandingkan dengan ilustrasinya, benda berbentuk bunga mawar jauh lebih indah meski agak keras layaknya kristal.

Tak sampai di situ, hawa dingin yang dihasilkannya pun juga begitu terasa ketika disentuh, maka tak heran bila benda ini disebut mawar beku.

Katherine yang sedari tadi berusaha agar tetap fokus pada jalanan mulai merasa was-was. "Hati-hati! Benda itu satu-satunya harapan kita membebaskan Firmus. Bila sampai hancur, maka tamatlah kalian berdua!" ucapnya memberi peringatan.

"Sampai saat ini kami masih belum tahu daerah Firmus mana yang akan kita tuju," Edelweiss tiba-tiba saja menyahut, memberikan respon atas apa yang didengarnya. "Nona, Braun, daerah Firmus mana yang harus kita lindungi selain Floria?"

"Bodoh! Firmus yang kumaksud ialah kota Firmus, bukan nama negara ini!"

Tunggu sebentar, Katherine salah menyebut bukan? Dia bahkan tidak mengatakan tentang penaklukan atau penggulingan kekuasaan Firmus sebelumnya. Apakah itu artinya Baginda Raja dan Ratu— orang tua Vorwister bersaudara dalam bahaya? Mungkinkah gerombolan pasukan merah yang Edelweiss dan Aden lihat saat berada di desa Techna tempo hari lalu menjadikan kota kelahiran mereka berdua sebagai sasaran?

Rupanya kekaisaran Romawi Timur tidak main-main dalam penyerangan kali ini. Tidak hanya berniat merebut aset berharga Firmus— mawar beku, namun mereka pula bermaksud menggulingkan peradabaan ini yang sudah dibangun dengan susah payah ratusan tahun lamanya. Ini tidak bisa dibenarkan.

Suatu peristiwa yang tak ingin Edelweiss saksikan dalam hidupnya kini malah tampak jelas di depan matanya sendiri, yah apalagi kalau bukan perang. Edelweiss menundukkan kepalanya sembari memegangi mawar beku erat-erat, entah mengapa dirinya tak bisa membendung air matanya agar tidak jatuh keluar, mungkin takut akan kehilangan orang-orang yang dicintainya-lah yang membuatnya jadi begitu.

"Semua akan baik-baik saja."

Dalam lirihannya, ia tersentak— tidak menyangkakan datangnya perkataan itu disertai belaian lembut dari kakaknya. Takkala dirinya berusaha mengangkat kembali kepalanya, terlihat jelas raut wajah Aden yang amat begitu tegang memerhatikan jalanan di depan.

Aden masih memfokuskan pandangannya pada apa yang ada di depannya. "Percayalah, semuanya akan baik-baik saja," ucapnya. "Aku bersumpah akan melindungi semua yang kusayangi!"

Setelah kembali menghabiskan berjam-jam lamanya di perjalanan, tibalah mereka bertiga di sebuah bukit yang letaknya tak terlalu jauh dari kota Firmus. Di kala mentari senja sedikit demi sedikit tenggelam dalam buaian waktu, tampak jelas pemandangan tak mengenakan terpampang jelas di hadapan Edelweiss dan kakaknya, seperti banyaknya tenda-tenda putih yang didirikan layaknya lumut yang menutupi daratan lembab.

Dari atas gundukan besar itu juga dapat terlihat betapa kewalahannya para prajurit kota yang bertahan di garis depan, mencegah setiap upaya musuh agar tidak dapat masuk ke dalam. Berbagai macam cara telah dilakukan demi dapat mengulur waktu, seperti membombardir meriam-meriam milik Romawi Timur serta menembaki menara pengepungan menggunakan panah berapi dengan harapan dapat terbakar, namun rupanya tindakan tersebut masih belum cukup.

Sungguh ironis memang, padahal mereka berdua baru saja pergi untuk beberapa hari, dan inilah yang terjadi— ratusan pasukan Bizantium yang entah darimana datangnya berhasil mengepung pinggiran kota kelahiran mereka, menjadikan seisi kota terisolir hampir sepenuhnya dari dunia luar.

Ditilik dari sudut pandang manapun sudah bisa dipastikan memang tidak ada jalan lain untuk masuk ke dalam kota. Namun, agaknya Katherine telah memiliki siasat tersendiri untuk bisa mewujudkannya. Dia mengarahkan telunjuknya pada rombongan karavan yang sedang berjalan ke arah pusat kerusuhan, mungkinkah kawanan penyuplai makanan itu adalah milik Bizantium?

"Tepat di sekitar rombongan itu terdapat jalan masuk bawah tanah menuju kota, hanya kalian berdua— keturunan Vorwister yang bisa membukanya menggunakan mawar beku."

Pernyataan tersebut sontak mengundang kaget Aden beserta adik kecilnya, ia pun menyanggah ide gila yang Katherine lontarkan tadi.

"Itu terlalu berbahaya! Kita takkan mungkin bisa mengimbangi mereka semua sekalipun kemampuan bertarungmu luar biasa!"

Katherine menyeringai, seolah dia telah membuat jaminan kalau rencananya akan berhasil. Sembari menggenggam erat senjata rantainya, ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu mengucapkan sebuah kalimat yang cukup sulit dimengerti maknanya.

Tak lama kemudian, tanah pijakan di sekitar mereka bertiga berguncang kuat, saking kuatnya hingga membuat Vorwister bersaudara hampir kehilangan keseimbangan mereka.

Bersamaan dengan datangnya gempa dengan cakupan wilayah yang cukup kecil tersebut, muncul bola berwarna biru terang yang tak terhitung jumlahnya dari bawah tanah, terbang mengerumuni sosok yang telah memanggil mereka semua, perlahan benda asing itu pun merubah penampilan mereka ke bentuk postur tubuh manusia.

"Kalian cobalah masuk dan lindungi raja sebisa kalian, sampai orang-orang dari Maxima muncul. Masalah di luar kota serahkan saja padaku dan teman-temanku, kami akan menahan mereka semua!"

Katherine kembali mengangkat ujung senjatanya ke langit, kali ini bukan mantra yang akan dia ucapkan, melainkan seruan bagi para pasukannya untuk maju dan menggempur lawan. Di dalam pertempuran ini nona Braun harus lebih hati-hati untuk menjaga keselamatan Vorwister bersaudara, sebab hanya mereka berdualah harapan yang Firmus miliki saat ini.

Akan tetapi, di saat semuanya sudah bergegas maju ke arah lawan, entah kenapa kaki-kaki Edelweiss enggan untuk diajak berlari, rasa takut dan ragu di dalam pikirannya pun kian memuncak sehingga membuatnya menjadi gemetaran.

"Ke ... kenapa tubuhku tak bisa digerakkan? Aku harus membantu kakak dan nona Braun menyelamatkan Sophia, ayah dan Ibu ...."

Berkali-kali dirinya berusaha mendorong diri untuk bergerak walau selangkah, tetapi tetap saja nihil hasilnya.

Aden yang tak sengaja menyaksikan adiknya yang masih belum siap menerima semua tekanan dan pemandangan ini lantas langsung menghentikan langkahnya dan beralih ke arah Edelweiss.

Dia mengusap kepala Edelweiss dengan lembut. "Kau diam saja di sini, serahkan saja semua ini padaku dan Katherine!"