webnovel

Iron Maiden

Di antara keadaan yang amat kacau itu, seseorang harus mengambil kendali dengan membuat semua orang tenang agar tetap tenang sehingga mereka semua dapat kabur tanpa ketahuan. Di dalam hatinya, Aden merasa dirinya harus memberitahukan jati dirinya agar semua orang mau mendengarkannya, ditambah lagi dia bisa berkoordinasi dengan para pengawalnya secara leluasa jika hal tersebut dilakukan.

Sebelum melakukannya, dia harus membantu gadis malang itu dengan cara menggendongnya hingga sampai ke kereta, kemudian barulah dia mengambil alih kepemimpinan.

"Dengarkan aku semuanya!" Aden berteriak mengheningkan seluruh kerusuhan yang ada, "Kalian jangan panik, kita masih bisa kabur ke arah barat mengikuti aliran sungai. Atas nama pangeran Firmus, akan kujamin hidup kalian di tanah ini!"

Para musafir itu amat tak menyangka Putra mahkota Firmus tengah bersama dengan mereka selama ini, kemudian langsung memberi sikap penghormatan tak lama setelah Aden mengangkat sebuah kalung yang disembunyikan di balik sakunya tinggi-tinggi, disusul oleh Edelweiss dengan tindakan serupa.

Kini semua kendali ada di tangan kakak-beradik Vorwister— rute pelarian, tindakan pertahanan, bahkan hidup seluruh orang yang ada di sana pun ada di genggaman mereka.

Atas titah langsung dari Pangeran, seluruh kawanan mengubah rute perjalanan mereka dengan berputar balik menuju aliran sungai yang dimaksud, mereka harus cepat-cepat menghilang dari tempat itu sebelum pasukan Bizantium menyadari keberadaan mereka.

Syukurlah, berkat kecekatannya dalam mengambil keputusan, Aden berhasil menyelamatkan semua orang, akan tetapi rasa kesal pada dirinya masih timbul di dalam hatinya sebab tak mampu menolong korban yang lain selain gadis tadi.

Bicara soal wanita malang tadi, perempuan itu masih tidak sadarkan diri setelah kehilangan banyak sekali tenaga akibat rasa sakit yang dideritanya. Saat ini, ia sedang dirawat oleh Edelweiss dan seorang pria yang cukup andal, sepertinya orang itu memiliki pengetahuan akan ilmu medis setara tabib.

"Bagaimana keadaannya?"

"Dia terluka agak parah Paduka Pangeran," jawab pria berkacamata itu dengan sangat sopan. "Walau begitu, Hamba bisa pastikan baik-baik saja, sebab dirinya tidak mengalami pendarahan apapun pada tubuhnya."

"Lantas, kenapa saat aku bertemu dengannya terdapat banyak sekali bercak darah pada tubuhnya?"

Edelweiss memberi tanggapan atas pertanyaan kakaknya, "Aku rasa itu bukan miliknya, Kak. Mungkin, dia secara tidak sengaja 'terciprat' darah ketika berusaha lari dari desa."

"Aku mengerti, terima kasih atas usaha kalian berdua. Hari ini pasti terasa sangat berat baginya, tolong jangan bebani ia dengan pertanyaan-pertanyaan aneh jika sudah siuman."

Hari sudah semakin larut, dan mereka belum juga menemukan satupun tempat yang cocok untuk berehat sejenak. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti di pinggir aliran sungai yang mereka susuri, tapi tidak dilakukan sebab rasa khawatir mereka kalau-kalau pasukan Bizantium tadi melakukan pengejaran, ditambah seluruh kelompok menginginkan tempat yang menyimpan banyak sumber makanan.

Setelah berjalan cukup panjang, akhirnya tempat yang diidam-idamkan itu ketemu juga. Lokasinya memang masih terletak di pinggir sungai, kendati demikian kayu bakar dan ikan-ikan berukuran lumayan dapat ditemukan di sini, hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi mereka sebab tak perlu repot-repot mencari sumber makanan sejauh mungkin serta dapat menghemat suplai yang dimiliki saat ini.

Sejak pengakuan mereka berdua tadi, segalanya jadi terasa sedikit 'canggung' karena orang-orang mulai menunjukkan rasa segannya pada kakak-beradik Vorwister. Semua orang meminta keduanya untuk tidak melakukan apapun hanya karena eksistensi mereka, padahal hal tersebut justru membuat dua remaja itu merasa tidak nyaman, juga menciptakan dinding penghalang untuk membaur dengan sekitar.

Contoh nyatanya ketika Edelweiss teringin untuk ikut membersihkan ikan hasil tangkapan, pasti salah satu perempuan dalam kelompok akan meminta Edelweiss berdiam diri saja, karena pekerjaan itu tidaklah pantas bagi seorang imperial sepertinya.

Edelweiss tidak mempunyai pilihan lain selain kembali ke tendanya, dengan perasaan sedikit kesal ia pun pergi meninggalkan mereka semua. Sungguh sangat disayangkan, padahal ia ingin sekali belajar banyak dari mereka, tetapi dicegah hanya karena statusnya.

Ketika dia sampai di tenda miliknya, Edelweiss melihat seseorang yang nampak benasib sama seperti dirinya sedang menemani gadis yang telah diselamatkannya. Jika dilihat sekilas mungkin kakaknya mungkin terkesan seperti sedang tertidur, tapi sebenarnya dia sedang melakukan meditasi yang biasa ia lakukan setiap malam.

"Kakak, rupanya kakak di sini." Edelweiss membuat sapaan yang tidak terlalu keras supaya kakaknya tidak kaget.

Aden membuka matanya. "Yah, begitulah. Betapa membosankan malam ini, kuharap 'dia' segera siuman agar kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Kalau begitu, bagaimana kalau mengajariku berpedang? Tempo hari lalu aku pernah melihat para prajurit memuji kemampuan bermain Kakak."

"Kemampuanku tak ada apa-apanya dibandingkan kedua sepupu kita. Daripada denganku, lebih baik belajar bersama mereka saja ketika sampai nanti."

Seperti biasa, entah kenapa kakaknya suka sekali merendah seperti itu, hal itulah yang terkadang membuat Edelweiss semakin terintimidasi ketika berada di samping kakaknya.

Yah, apa yang dikatakan oleh Aden memang tidak sepenuhnya salah, dalam arti kata kedua sepupu mereka sudah diajari untuk mahir dalam bertempur sejak dini, berbeda dengan mereka yang difokuskan pada bidang administrasi negara. Tetapi, tidak seharusnya dia membuat rasa kagum yang ada di mata adiknya hilang begitu saja.

"Baik-baik, aku menyerah." Tiba-tiba saja Aden berujar tak lama setelah adiknya memasang wajah masam. "Sambil menunggu makanan siap akan kuajari kau beberapa teknik dasar dalam berpedang."

Aden menghembus napas pelan, kemudian mengajak adiknya untuk memilih senjata di kereta bagian senjata, dia masih tak mengerti kenapa Edelweiss bersikukuh meminta agar diajari olehnya setelah semua penjelasan tadi.

Terdapat berbagai macam alat pertahanan diri yang dapat dipilih di sini, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam pemakaiannya. Ketika diminta untuk memilih senjata mana yang disukainya, Edelweiss dengan spontan mengambil pedang satu tangan dengan alasan bisa menyaingi kelihaian sang kakak suatu hari.

Latihan perdana pun dimulai di dekat perapian sehingga menjadi sebuah 'tontonan' bagi yang lainnya. Sebagai permulaan, Pangeran Aden mengajarkan cara memegang yang benar, yaitu lengan terkuat menggenggam pegangan pedang secara seimbang— tidak terlalu atas maupun ke bawah.

"Namun, kusarankan untuk memegangnya dengan dua tangan terlebih dulu untuk membiasakan diri, ini juga berguna untuk mencegah pedang terpental saat berbenturan." Terang Aden lebih lanjut.

"Baik, Kakak! Selanjutnya apa yang harus kupelajari?"

"Ayunan," jawabnya. "Dalam berpedang, kekuatan ayunan adalah hal yang paling krusial, kau harus sering-sering melatih kekuatan dan kecepatannya supaya mampu menyerang secara tepat."

Edelweiss menggugu perkataan pelatihnya, ia langsung mencoba tebasan pertamanya pada sebuah pohon tua yang letaknya tak terlalu jauh dari perapian. Di depan pohon itu, ia menghirup napas dalam sembari menutup mata agar seluruh kekuatan yang ada pada dirinya terkumpul pada kedua lengannya.

"Hyaahh!"

Dia mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian mengayunkan pedangnya secara vertikal, namun sayangnya tenaga yang Edelweiss miliki belum cukup kuat untuk menciptakan sebuah kerusakan yang mengesankan pada target.

Kakak-beradik Vorwister akhirnya menyelesaikan sesi latihan malam ini sebab makan malam yang telah siap dan harus segera disantap. Selama waktu yang cukup singkat tersebut, harus diakui bahwa Edelweiss cukup bagus dalam mengikuti setiap instruksi yang kakaknya beri, walaupun ia harus meningkatkan stamina serta kekuatannya.

Meski begitu, Aden tetap saja bangga padanya karena telah mencoba yang terbaik, bahkan semua orang yang menyaksikannya tadi turut menghibur dan memberi semangat padanya sepanjang waktu makan.

Menurut mereka, memang bagus bagi Edelweiss untuk mempelajari seni berpedang walaupun dia adalah putri raja, dengan begitu dirinya dapat melindungi diri jika saat-saat tidak diduga muncul.

Di waktu berikutnya, ketika semua orang sudah bersiap-siap untuk tidur, Edelweiss dan sang kakak masih berdiam diri di tenda tempat gadis malang tadi dirawat. Dengan penuh kesabaran, mereka masih berharap agar orang itu lekas siuman supaya bisa menceritakan segalanya atau paling tidak kebenaran di balik serangan Bizantium berdasarkan sudut pandangnya.

"Kakak, menurutmu kenapa Bizantium melancarkan serangan seperti itu? Bukankah kerjaan kita sudah mengadakan perjanjian damai dengan mereka?"

"Maaf, aku juga masih tidak tahu motif mereka yang sebenarnya. Namun, aku—"

"Ti-tidak!! Jangan sakiti keluargaku!!"