webnovel

Hampir Tiba

Suara teriakan yang asalnya tidak disangka-sangka tiba-tiba saja bergaung, memotong kalimat yang baru saja akan Aden ungkapkan. Dengan cepat, Aden pergi meninggalkan tenda untuk mencari tabib berkacamata tadi, sedangkan Edelweiss menggenggam lengan logam wanita itu berharap ia dapat merasakan kehadiran orang yang sedang menemainya.

Setelah beberapa saat yang agak menegangkan, akhirnya ia terbangun dengan wajah amat pucat, keringat dingin bahkan membasahi rambut serta wajahnya. Sambil kembali mengatur napasnya yang terengah-engah, gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mengidentifikasi keberadaannya, namun sayangnya dia tak mengenal apa yang dilihatnya kecuali satu.

"Putri Edelweiss?" Ucapnya tersentak kaget.

Edelweiss yang sebelumnya merasa panik karena teriakan tadi, kini berubah menjadi kebingungan tatkala orang itu dapat mengenalinya dengan mudah, padahal ia tidak mengenakan mahkota ataupun baju putrinya.

Dengan lembut, Edelweiss mengatakan bahwa dia berada di tempat yang aman sebagai upaya menenangkan suasana hati korban.

Tak berselang lama kemudian, Aden datang bersama orang yang dicarinya. Dengan sigap ia pun langsung menyuruh sang tabib agar lekas memeriksa kondisi terkini gadis itu.

Di saat-saat pemeriksaan, wanita itu meminta maaf karena belum memperkenalkan diri.

"Na ... nama saya Techna Riccinus, Ki ... kita pernah bertemu enam tahun lalu."

Rasa rindu atas pertemuan dengan kawan lamanya tak bisa Edelweiss bendung ketika mendapati wanita yang ada di depannya ialah temannya, seketika dirinya memeluk Techna dengan erat tanpa memedulikan orang yang dipeluknya bisa bernapas atau tidak.

Edelweiss mengungkapkan semua kata-kata yang rencananya akan ia ucapkan nanti, termasuk rasa bersalahnya karena tak dapat menolong yang lainnya.

Bagaimanapun juga, dia dapat bertemu dengan teman lamanya meski di waktu yang sangat tidak baik. Edelweiss melepaskan dekapannya, lalu bergegas pergi ke perapian untuk mengambil bubur gandum yang sudah dibuat sebelumnya, dia tahu betul bahwa Techna sudah banyak sekali kehilangan tenaga dan harus segera diisi.

"Bisa kau beritahu reka kejadiaan saat Bizantium menyerang?" Pinta Aden.

"Sa .. saat invasi dimulai kami beraktivitas seperti biasanya, sebelum mendapati setengah dari desa sudah habis terbakar," ungkapnya sembari menggerak-gerakkan lengannya.

Dirinya juga menambahkan, bahwa senjata yang mereka gunakan— api Yunani telah dimodifikasi sehingga bisa dijalankan di darat. Techna menduga, Bizantium telah memanfaatkan ide milik ayahnya sehingga mereka semua bisa m

"Ayah kau bilang? Apakah ayahmu bekerja untuk Bizantium?"

"Du ... dulu sekali. Tapi, ayah keluar karena dia tak suka jika ide-idenya dipakai untuk kekerasan."

Dari situ sebuah spekulasi yang agak mengganggu muncul di kepala Aden, meski begitu dirinya tak dapat serta-merta menyimpulkan sebab masih banyak bukti pendukung yang dibutuhkan untuk memperkuat dugaannya.

Tak lama setelah itu, Edelweiss datang dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat untuk kawannya yang sedang terluka. Merasa penasaran atas apa yang terjadi saat dirinya pergi, ia bertanya pada baik pada kakaknya maupun Techna apa yang dilewatkannya, tetapi sayangnya tak ada satupun yang menjawab.

Empat hari setelahnya, perjalanan mereka yang seharusnya sudah tamat malah jadi semakin panjang akibat kejadian tak terduga. Namun begitu, bersama rekan baru mereka yang pandai dalam "perakitan benda" perjalanan mereka terasa semakin mudah.

Contohnya saja seperti saat mereka semua kesulitan memperbaiki salah satu kereta akibat rodanya yang rusak. Dalam sekejap, gadis bertangan terampil itu memperbaikinya tanpa bantuan siapapun, bahkan dia memodifikasi kereta tersebut menjadi lebih efisien juga lebih ringan.

Setelah tubuhnya benar-benar pulih, Techna berpikir bahwa dirinya perlu membalas kebaikan kakak-beradik Vorwister setelah semua yang mereka lakukan kepadanya, dan tatkala diberi pilihan untuk ikut ke Maxima atau kembali ke desanya, dia tak membuang kesempatan ini.

Ya, dirinya memutuskan untuk ikut ke manapun mereka pergi sebagai pengawal pribadinya, meski hal itu membuat Edelweiss sedikit kurang nyaman karena ia tidak ingin diperlakukan seperti putri.

Beberapa kali Techna diberitahu untuk tidak memanggil temannya dengan sebutan "Tuan Putri" maupun "Yang Mulia", akan tetapi hal itu malah membuatnya terkesan tidak sopan terhadap anggota keluarga kerajaan.

"Yang Mulia ... ma-maksudku E-Edelweiss, a-apa ... k-kau lapar?" Dia sudah mencoba sekuat tenaga, namun otak dan lidahnya tidak bisa berkompromi.

Aden yang sedari tadi hanya terdiam dari atas kudanya mulai menjadi agak kesal. "Hadapilah, Edelweiss. Kau tidak bisa memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bukan keinginannya."

Mendengar ucapan dari kakaknya, Edelweiss hanya bisa meresponnya dengan hembusan napas berat, sepertinya memang tidak mungkin bagi orang lain untuk mengabaikan status sosialnya. Ia harap, ketika sudah sampai di Maxima nanti kedua sepupunya tidak berbuat hal serupa.

Mari kita kesampingkan dilema Edelweiss sebentar, kini semua orang telah tiba di depan rangkaian benteng alami Maxima yang ditumbuhi ratusan pohon besar pada malam harinya.

Jika dilihat dari keadaan sekitar, mereka hanya tinggal melakukan sedikit perjalanan saja kemudian menyebrangi sebuah sungai kecil sebelum akhirnya sampai di gerbang kota.

Namun begitu, ada saja masalah yang membuat perjalanan mereka semakin menarik untuk diikuti, yaitu sebuah batu besar yang tiba-tiba jatuh tepat di hadapan mereka semua, dan sialnya batu itu menutupi satu-satunya akses menuju Maxima.

Ini benar-benar konyol, bagaimana bisa benda keras berukuran sebesar gubuk muncul mendadak seperti itu, padahal struktur tanah pada lembah di sini tidak mengisyaratkan berbatu. Terlebih lagi, kabut tebal yang sedari tadi cukup mencurigakan semakin membuat jarak pandang menjadi buruk, seseorang pasti berada di balik ini semua.

Seluruh kawanan lantas membentuk formasi lingkaran atas perintah Aden untuk melindungi diri, sebab dalam keadaan seperti ini rawan sekali bagi mereka untuk disergap secara diam-diam. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk menurunkan senjata apalagi lengah, bahkan bagi Edelweiss sekalipun tetap mengangkat pedangnya.

Dari kejauhan, tampak jelas sesosok bayangan hitam mirip manusia menghampiri mereka sedikit demi sedikit, hal itu semakin membuat level kewaspadaan mereka meningkat.

"Wah-wah-wah. Siapa sangka aku dapat bertemu dengan dua 'Arcaest' menggemaskan ini."

Bayangan tersebut semakin jelas rupanya, yaitu seorang gadis berambut perak panjang melingkar dengan belati di tangan kirinya sedangkan bagian sebelahnya lagi memegang buku. Kedua matanya tidak terlihat, sebab tertutup secarik kain putih bermotif aneh.

Aden bertanya dengan tatapan tajam, "Siapa kau?"

"Siapa aku? Aku Shaman, tapi aku belum tahu betul peranku bagi hidup kalian. Biar kupikirkan sebentar."

Gaya bicara perempuan itu amat sangat aneh sehingga membuat mereka semua yang ada di sana menjadi kebingungan— sebenarnya orang ini berbahaya atau tidak? Sambil tetap waspada semua orang memberi kesempatan bagi wanita itu untuk berpikir, hingga salah satu pegawal yang sudah tidak tahan ingin menyerang maju tanpa aba-aba.

Pria ceroboh itu berlari sambil berteriak kencang seolah mengatakan untuk tidak meremehkan mereka. Saat ia berhasil mencapai jarak terbaik untuk melakukan tebasan, secara mengejutkan pengawal itu langsung terpental jauh sekali tanpa sebab, di saat yang sama sebuah energi yang tidak diketahui jenisnya nampak terbang bebas di sekitar Shaman seolah-olah itu adalah pelindungnya.

Sontak beberapa orang langsung menjemputnya untuk segera diobati, dan naasnya saat tabib berkacamata berusaha mengangkatnya ia tidak bisa merasakan detak jantung sang prajurit itu.

Setelah selesai berpikir wanita tersebut menolehkan pandangannya pada korbannya.

"Ups, maaf kalau pelindungku terlalu kuat! Tapi setidaknya kini jiwanya aman bersamaku," teriaknya dengan nada riang gembira.

Tak dapat diragukan lagi kalau orang asing bernama Shaman itu amatlah berbahaya, jika mereka sampai salah langkah dalam menghadapinya maka konsekuensinya akan sangat besar layaknya pria malang tadi.

"Ah, bagaimana jika aku menjadi malaikat maut untuk kalian? Mendekatlah, jiwa-jiwa kalian akan sangat bagus sebagai penggerak manekinku."

Di situasi yang amat genting ini, semuanya mulai menjadi panik takkala Shaman berjalan mendekat sedikit demi sedikit, tak terkecuali Aden yang tak dapat berpikir jernih untuk menyelesaikan kesulitan kali ini.

Mereka semua hanya bisa mundur untuk menjaga jarak hingga menyadari bahwa telah terpojok, tak dapat mundur lagi sebab batu besar yang menghalangi jalan mereka. Tidak ada yang tahu akan berakhir seperti apa nasib mereka, sebab tak ada satupun serangan jarak jauh yang bisa menembus apalagi menghancurkan kubah energi tersebut.

"Elemen astral, Taurus!"