webnovel

Awal Masalah

Waktu berlanjut dengan cepat, ketika matahari sedikit menampakkan diri, para rombongan yang telah selesai menurunkan tenda-tenda mereka saat ini tengah menikmati hidangan sup hangat, lagi.

Mereka semua mesti segera bertolak ke tujuan selanjutnya untuk mengisi suplai makanan, meski keadaan sekitar masih bisa dibilang "gelap gulita" sebab sang surya belum benar-benar terlihat.

Sembari menikmati supnya, Aden sesekali menoleh ke belakang memperhatikan apa yang sedang adiknya lakukan bersama gadis-gadis lain di dekat kereta barang. Dirinya berharap, Edelweiss tidak melewatkan sarapan untuk alasan apapun, agar mempunyai cukup energi selama perjalanan nanti. Sebab, menurut salah seorang pengawal mereka destinasi berikutnya akan cukup jauh.

Jika diamati dari dekat, maka akan tampak bahwa para wanita sedang mengecek serta mengurut persediaan yang ada. Berkat kebiasaannya mengatur ulang setiap buku yang ada di perpustakaan kerajaan, Edelweiss tidak perlu khawatir dirinya akan kesulitan dalam menjalankan aktivitas tersebut, ditambah dirinya tahu banyak benda yang ada di kereta.

"Ada banyak sekali benda-benda berharga di sini, sebaiknya rempah dan kain sutra dari timur disimpan di tempat terpisah," gumamnya.

Salah seorang dari mereka yang tak sengaja melihat Edelweiss memasukkan beberapa benda bulat kecil ke dalam kantung berkomentar kebingungan.

"Hei, kenapa kau simpan batu-batu itu ke dalam sana? Buang saja sejauh mungkin."

"Oh, ini bukan batu, melainkan rempah," sahut sang Putri. "Orang-orang memanggilnya dengan nama 'pala', sebagai salah satu bumbu masakan yang menghangatkan tubuh."

"Begitu rupanya ... kau tahu banyak juga ya!"

Tak lama kemudian, pemimpin kawanan memberi perintah untuk berangkat takkala para pria sudah selesai dengan sarapan mereka, lantas segenap pedagang dan prajurit istana yang disewa segera menaiki kereta kuda mereka.

Tujuan mereka berikutnya ialah Floria, yaitu kota pusat perdagangan terpenting ke-dua di daratan Chroma setelah Konstatinopel milik kekaisaran Bizantium.

Selain peranannya yang teramat penting bagi Firmus, Floria juga merupakan satu-satunya kota yang tidak dikelola bangsawan terpilih maupun dari kalangan keluarga cabang Vorwister. Hal ini dikarenakan Rajalah yang memegang otoritasi pada tempat ini. Kelak, Edelweiss akan memerintah di sana membantu Aden dalam mengelola negara.

Memikirkan betapa indah serta ramainya suasana kota tersebut membuat Edelweiss teringat akan sebuah kisah di masa lalu, yaitu saat dirinya mendapatkan teman untuk pertama kalinya. Bisa dibilang bahwa pertemuannya dengan orang tersebut bukan disengaja, sebab mereka berdua diperkenalkan oleh takdir takkala Edelweiss secara tak sengaja terpisah dari penjaganya, entah bagaimana bisa.

Di samping kenangan indah tersebut, ingatan "memalukan" pun turut membesit ke dalam pikirannya hingga membuat wajahnya merah merona. Yah, karena pada saat itu dia masih terlalu lugu sehingga meminta bantuan pada orang lain saja tak tahu. Edelweiss hanya bisa berharap (dengan sangat) semoga teman perempuannya tidak akan mengingat hal itu jika mereka bertemu nanti.

Sang surya yang sebelumnya masih bersembunyi di cakrawala kini telah berjalan menghampiri ufuk barat, itu artinya sudah berjam-jam lamanya mereka berjalan dan belum sampai juga ke tempat tujuan.

Menurut peta, seharusnya ada sebuah desa kecil pinggir hutan yang bisa mereka singgahi sejenak untuk beristirahat serta bermalam, namun nyatanya sampai detik ini tak kunjung nampak.

"Ketua, coba lihat asap tebal di sana!" Seorang pria kurus yang bekendara tepat di samping kanan pimpinan kelompok berteriak sambil menunjuk-nunjuk arah barat.

Menanggapi teriakan tersebut, pria itu langsung memberi aba-aba berhenti untuk para anggotanya. Sekitar satu kilometer dari lokasi mereka, tampak jelas asap hitam pekat membumbung tinggi memenuhi langit, aroma terbakarnya bahkan bisa menjangkau hidung pesek sang pemimpin.

Selain pemandangan yang mengejutkan itu, mereka juga diperlihatkan segerombolan orang yang berasal dari sumber asap itu berlari terbirit-birit, berusaha sejauh mungkin dari lokasi. Mungkin saja itulah desa yang seharusnya jadi tempat persinggahan.

Ketua segera bertindak. "Samuel, coba lihat di belakang apakah pasokan kita cukup untuk membantu mereka!"

"Ba ... baik Ketua!" Pria yang tadi berteriak segera melaksanakan perintah pimpinannya.

Asap tebal itu sudah menyita perhatian para kawanan pedagang, tak terkecuali kakak-beradik Vorwister. Edelweiss yang sedari tadi fokus terhadap buku yang dibacanya kini telah berpaling untuk mengetahui apa yang sedang terjadi sebenarnya.

Dia mendekati Aden yang sudah lebih dulu turun dari kudanya. "Kakak, apa yang sebenarnya terjadi di sana?"

Aden terdiam seperti tidak berdaya ketika mendapati dari kejauhan segerombolan prajurit membakar habis apa yang ada di depan mereka menggunakan sebuah benda yang dapat menjulurkan api, tangannya bahkan sedikit gemetaran ketika menunjuk pada satu sisi yang sebelumnya tertutup asap tebal lagikan pekat.

Di saat yang bersamaan pula, sesosok wanita tak dikenal mulai menampakkan dirinya sedikit demi sedikit, orang itu berjalan terseret-seret mendekati mereka semua yang ada di depannya dengan harapan mendapatkan pertolongan.

Aden yang melihat wanita malang itu dengan sigap langsung berlari menghampirinya, diikuti Edelweiss yang membawa botol minum untuk diberikan kepadanya.

"Kau tak apa? Sini biar kubantu."

Betapa malangnya gadis itu, terlihat banyak sekali luka bakar dan darah yang menempel di tubuhnya. Kedua lengannya juga bahkan telah digantikan sesuatu yang mirip sekali dengan tangan boneka kayu, namun berbahan logam.

"Bi ... Bizantium menyerang kami," ucap perempuan itu, sambil berusaha menahan rasa sakit. "Kita harus ... lari." Tak berselang lama ia pun jatuh pingsan.

Jadi para prajurit yang bermain-main dengan mesin pemusnah itu ialah pasukan milik Bizantium, tapi bagaimana bisa mereka ada di tempat ini sedangkan di sini merupakan wilayah kekuasaan Firmus? Penulis benar-benar dibuat bingung terhadap situasi pelik ini, begitu pula dengan Edelweiss yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya setelah kesaksian korban tergaung.

Tak hanya membuat kebingungan Edelweiss, pernyataan itu pun bahkan mengundang kepanikan masal di antara seluruh anggota kawanan, tak terkecuali pemimpin mereka yang sebelumnya ingin mendekati lokasi malah tidak dapat menahan keinginannya untuk segera pergi.