webnovel

Aku ada di Balik Bayanganmu

Hari sudah menjelang senja sejak perjalanan mereka dimulai. Sebaiknya, segenap anggota kelompok harus segera mencari tempat beristirahat, karena akan cukup berbahaya jika bersikukuh melanjutkan di kegelapan malam.

Bagi para pedagang, waktu seperti ini adalah saat yang paling rentan. Hal tersebut dikarenakan maraknya perampokan yang dilakukan bandit terhadap pedagang pada malam hari.

Biasanya, mereka akan melancarkan aksinya secara berkelompok— merampas semua yang ada di hadapan mereka tanpa bersisa.

Untuk itulah, pemimpin kelompok dagang ini menyewa beberapa kesatria Firmus untuk menjamin keselamatan mereka selama perjalanan. Meskipun, dirinya tak mengetahui bahwa orang–orang yang disewanya juga berperan sebagai regu pengawalan rahasia bagi Vorwister bersaudara.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka semua akhirnya telah menemukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Lantas, pemimpin regu membagi kawanan menjadi dua, tim pertama bertugas menyiapkan tenda juga makanan, sedangkan tim ke-dua mencari kayu bakar.

Dalam kasus ini, kakak-beradik Vorwiser berada di tim yang berbeda— Aden bertugas mencari kayu bakar sedangkan Edelweiss bersama beberapa wanita yang lain membuat makanan mengunakan bahan-bahan yang ada.

"Hei, kau yang berambut pirang terang. Menurutmu, harus kita apakan jamur dan semua sayuran ini?" seorang wanita berwajah galak tiba-tiba saja berbicara kepada Edelweiss.

"Jika Anda tidak keberatan, bagaimana kalau kita membuat sup? Hidangan yang sangat bagus di luar ruangan seperti ini, sebab bisa menghangatkan tubuh terutama jika diberi rempah-rempah seperti pala atau jahe."

"Ide yang bagus," puji gadis itu. "Tunggu sebentar, caramu berbicara mirip sekali seperti gaya keluarga kerajaan. Namun, agak mustahil keluarga kerajaan yang makanannya disiapkan oleh dayang-dayang mengerti tentang rempah."

Oh, tidak, sepertinya Edelweiss telah melupakan perintah ayahnya untuk tidak mengungkapkan jati dirinya. Ini benar-benar buruk, kalau sampai identitasnya terbongkar maka hal buruk bisa saja menimpanya.

Edelweiss menyimpan perasaan paniknya dalam-dalam, berusaha memperbaiki keadaan dengan membuat bualan agar menutupi identitas aslinya. Tetapi, bukannya malah percaya dan menjauh, gadis itu justru semakin mendekatinya diiringi tatapan tajam nan mengintrogasi.

"Jangan konyol Nona, gadis lusuh itu adalah adikku, dan dia tak pantas dianggap sebagai putri raja."

Mujur sekali, sesosok bayangan manusia yang lambat laun mulai terlihat wujudnya berhasil membantu Edelweiss memperbaiki keadaan, dan sosok itu tak lain ialah Aden yang baru saja selesai mengumpulkan kayu bakar.

Alhasil, gadis yang sedari tadi terus mengganggu adiknya akhirnya pergi ke kereta penyimpanan. Ucapan Aden tadi memang terdengar cukup kasar, terutama pada bagian 'lusuh', tetapi ia perlu melakukannya demi kebaikan adiknya.

Setelah menaruh bawaannya di tempat seharusnya, Aden berbisik, "Kau bisa memotong semua sayuran itu?"

"Jangan khawatir, aku sering menyelinap ke dapur untuk belajar memasak bersama Sophia."

"Syukurlah," ucap Aden lega. "Setelah selesai makan nanti, aku ingin bicara padamu."

Satu jam sudah para wanita memasak hidangan, akhirnya saat-saat yang paling ditunggu-tunggu telah tiba. Ya, tak lain dan tak bukan ialah waktu makan malam.

Semerbak aroma yang memanjakan indera penciuma mulai terbang, memberi sinyal bagi siapapun yang mengendusnya. Akibatnya, Aden beserta anggota regunya bersegera mengantri— menunggu bagian mereka yang saat ini tengah disiapkan.

Sup jamur yang berisikan aneka sayur dan daging itu terasa sangat lezat serta menghangatkan tubuh ketika dikonsumsi. Hal ini bukan hanya dikarenakan baru selesai dimasak, melainkan penambahan beberapa rempah berkat saran dari Edelweiss.

Dirinya benar-benar tidak menyangka akan mempraktekkan ilmu yang telah Sophia ajarkan kepadanya. Semua orang nampak menikmati makanan yang disajikan tersebut, hal tersebut bisa dilihat dari pot tempat sup tersebut dimasak sudah tidak ada lagi isinya, benar-benar luar biasa.

Kini, sudah saatnya menentukan siapa saja yang akan mendapatkan giliran jaga untuk malam ini oleh pemimpin kelompok.

Pria berusia sekitar 30 tahunan itu mengatakan bahwa tiap malam harus ada paling tidak tiga orang pria untuk berjaga, hal itu berfungsi agar masing-masing orang dapat bergiliran dengan waktu yang tidak terlalu panjang.

Untuk menentukan siapa yang bertugas, semua pria yang ada di dalam kawanan berbaris kemudian menyebut angka secara berurutan dari sebelah kanan. Kebetulan sekali, Aden berada di bagian depan paling kanan barisan sehingga dialah yang pertama bertanggang.

Udara dingin mulai berhembus kencang, menusuk kulit siapapun yang ada di rutenya tak terkecuali mereka— orang-orang yang sedang mencoba tidur di tenda-tenda mereka walau di dekat perapian.

Di dalam suasana sunyi, Aden menutup matanya rapat-rapat, mencoba mempertajam indera pendengarannya sembari bermeditasi sebentar.

Dalam tugas pertamanya, dia tidak memiliki niat untuk lalai sedikitpun, sebab sedari kecil dirinya sudah dididik keras supaya dapat bertanggung jawab dalam hal apapun khususnya sebagai penerus takhta.

Dari arah tenda wanita, terdengar bunyi agak berisik diiringi guncangan ringan. Aden yang menyadari akan kegiatan itu langsung mengambil pedangnya, lalu berdiri memasang posisi siaga.

"Ternyata membaca di dalam tenda bukan ide yang bagus." Siapa sangka, sosok pembuat keributan itu ialah Edelweiss yang hanya ingin menikmati waktu bersama buku-bukunya.

Aden menancapkan pedangnya ke tanah. "Kenapa belum juga tidur? Esok kita akan berangkat pagi-pagi sekali."

"Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk bicara padamu, Kakak."

Bicara soal itu, barulah Aden ingat bahwa dirinya pun ingin mengatakan sesuatu pada adiknya, ia pun langsung mengajak Edelweiss untuk duduk bersebelahan dengannya di depan perapian.

Aden mengalihkan pandangannya pada gugusan bintang yang terhampar luas di langit malam. "Aku tahu saat ini pikiranmu sedang tidak baik-baik saja. Kita ini bersaudara, jangan pernah ragu untuk bercerita apapun padaku."

"Ini pertama kalinya kita pergi dari istana sejauh ini. Dan aku tidak yakin bisa menjalaninya, sebab aku ini sangat payah dalam segala hal, berbeda darimu ...."

"Itu tidak benar!" Sangkal Aden keras. Ia lalu menatap mata adiknya dengan penuh kesungguhan. "Dengar, aku tidak lebih hebat ataupun berbakat dibandingkan dirimu. Daripada berpikir begitu, bukankah lebih baik bila kita saling mendukung?"

Edelweiss bergeming selama beberapa saat. Apa yang dikatakan kakaknya memang benar, dalam perjalanan ini bukan hanya berisi soal kekuatan atau kemampuan, melainkan juga saling menutupi segala kekurangan sebagai saudara.

"Itu memang benar, tapi ... menyadari di masa depan nanti Firmus jauh lebih membutuhkanmu, aku harus belajar mandiri."

Seusai mendengar ucapan adiknya, kini giliran Aden yang bergeming— tidak dapat menemukan kalimat apapun yang dapat ia gunakan untuk merespon.

Takut terlalu bergantung pada orang lain sehingga tidak dapat hidup sendiri adalah kecemasan terbesar Edelweiss yang bisa dia tangkap.

Hidup yang mereka jalani sungguh menyimpan sejumlah tanda tanya yang mesti dijawab. Salah satunya ialah masa depan yang sudah menunggu tepat di mata— Aden yang akan segera dinobatkan menjadi pewaris Firmus, sedangkan Edelweiss menolong kakaknya menangani beberapa wilayah, atau boleh jadi tinggal di kerajaan lain.

Entah kenapa atmosfer pada malam hari ini benar-benar telah membuat pikiran mereka berdua terbang jauh, kemudian dengan mudahnya mengaburkan kesadaran Edelweiss sampai tertidur di bahu kakaknya.

Aden sedikit kaget ketika lawan bicaranya secara tak sengaja menyandarkan kepala, pandangannya pun yang semula terpaku pada bintang-bintang kini berganti ke sebuah buku milik Edelweiss yang terbaring dekat kakinya.

Berkat cahaya dari perapian, tampak jelas tulisan-tulisan "berbobot" yang termaktub di dalam buku tersebut menceritakan sekilas tentang "Chronos sang Jantung Waktu" dan "Tujuh Artefak legendaris."

"Artefak legendaris ya... sesuatu yang bisa membuat semua konflik di dunia ini sirna." Begitu pelannya gumamannya sampai hampir tak bersuara.