webnovel

Indescriptible

Venusya Geova Kyle- Gadis dengan paras yang menawan yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya jatuh hati padanya. Sikapnya yang dingin namun hatinya yang hangat bak bidadari itulah hal yang unik dan antik dari dirinya. Namun demikian tidak berarti semua laki-laki terpikat olehnya. Aldrich Alexander Supernova- satu-satunya laki-laki yang tak tertarik dengan semua hal unik dan antik yang mengenai gadis itu. Sikapnya yang dingin namun berhati peduli. Niat yang sangat kukuh dari seorang Venusya Geova Kyle untuk mendapatkan hati seorang Aldrich Alexander Supernova mungkin akan terlihat fana bagi siapa saja yang melihatnya. Apakah niat dari seorang gadis dingin yang bersikukuh untuk mendapatkan hati seorang Aldrich akan menjadi sebuah kenyataan?

whysrch · Teen
Not enough ratings
52 Chs

forty nine•Misi Venus

"Ok anak-anak, pelajaran jam saya sudah selesai! Saya ucapkan selamat belajar buat kalian dan semoga kalian selamat sampai rumah," ujar Bu. Lilik berpesan pada semua murid sebelum pulang.

Venus, Zara, Nada, dana Arva langsung pulang dengan arah rumah yang berbeda-beda. Hari ini setelah pulang sekolah Venus bisa langsung pulang karena tak ada rapat OSIS atau kepentingan yang lain. Setelah melihat sang kakak sudah ada di depan gerbang, Venus segera menghampiri dan pulang kerumahnya.

Diperjalanan, Venus memikirkan sesuatu yang tadi sempat Zara bisikan padanya.

"Lagi mikirin apa sih?" Mars menengok ke Venus yang dari tadi hanya diam.

"Venus!" Mars membuyarkan lamunan Venus.

"Hmm," jawab Venus menatap Mars.

"Mikirin apa?" Ulang Mars karena tadi Venus tak mendengarkan dirinya.

"Nggak mikirin apa-apa," jawab Venus.

"Nggak mikirn apa-apa tapi kok kakak lihat kamu bengong terus," ujar Mars.

"Kakak kali salah lihat," ucap Venus.

"Ihhh... Mata kakak masih normal ya, kamu aja kali yang lagi bohong," ujar Mars membuat wajah Venus panik.

"Nggak! Orang Venus cuma mau diem aja," tutur Venus menutupi kebohongannya.

"Kok panik? Kenapa? Ada kebakaran?" Mars tetap berusaha membuat Venus jujur padanya.

"Nggak usah berusaha buat Venus jujur. Venus nggak lagi nyembunyiin sesuatu," ujar Venus yang sudah tahu seluk beluk sang kakak.

"Lagian kamu nggak kau jujur sama kakak sih," jawab Mars.

"Siapa sih kak yang bohong! Orang Venus cuma mau diem aja kok," tegas Venus karena Mars tetap mencoba membujuk Venus.

"Ok terserah kamu," jawab Mars tak mau lagi.

Mobil hitam itu kini sudah memasuki pekarangan rumah bernuansa putih. Sang penumpang mobil turun dari dalam mobil untuk masuk ke rumah mereka.

"Mah Venus mau ke atas dulu ya, mau istirahat," ujar Venus setelah mencium punggung tangan Hera.

"Iya sayang," jawab Hera lalu tersenyum.

Venus perlahan menaiki anak tangga dengan sedikit berlari agar cepat sampai ke kamarnya. Setelah sampai, Venus segera meletakan tas ranselnya ke kursi meja belajarnya dan melepas almamater sekolahnya dengan. Setelah itu, Venus berbaring diatas ranjangnya dan sedikit berfikir dengan apa yang Zara berikan.

"Masa iya Venus harus gitu?" Venus masih ragu dengan ide yang Zara berikan.

"Tapi emang Venus bisa?" Venus masih tetap bertanya-tanya pada dirinya sendiri guna meyakinkan.

Venus tengah menimbang perkataan dari Zara masih terngiang di kepalanya. Apakah dia bisa? Apakah dia mampu? Ataukah dia bisa dan mampu?

"Venus pasti bisa! Venus nggak boleh nyerah! Demi Aldrich, Venus pasti bisa!" Venus mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri.

"Ashhh! Kenapa sih harus gini? Kenapa nggak gitu aja?" Venus melemparkan tubuhnya di atas kasurnya dengan kesal.

Di tempat lain ada Aldrich yang tengah duduk dia di balkon. Suasana malam ini memang agak sedikit dingin ditambah dengan angin yang cukup kencang. Dia hanya diam sambil menatap langit.

"Nanti kalau Al udah siap buat ngomong sama Venus, nanti telfon Venus aja ya. Nomornya masih sama kok." Kata-kata itu terngiang secara tidak sengaja di pikiran Aldrich.

"Kenapa sih batu gitu banget? Banyak laki-laki disana yang lebih ganteng daripada gue, tapi kenapa harus gue yang dikejar sama batu," ujar Aldrich meruntuki dirinya.

Hingga cukup larut malam, dirinya masih berada di luar balkon hanya untuk menatap langit. Mungkin memang langit lebih menarik bagi Aldrich daripada Venus. Tapi langit tak selamanya akan bisa membuat dirinya tertarik. Langit bisa saja berubah kapanpun. Namun Venus tak akan bisa berubah sampai kapanpun.

***************

Kringggg.....

Alarm Venus berbunyi pertanda sudah pagi. Sang pemilik jam tersebut dengan segera mematikan suara itu agar tidak lebih mengganggu dirinya. Tak lama kemudian, Venus bangkit dan segera mencuci mukanya dan gosok gigi lalu dilanjutkan mandi. Tak berselang lama juga, akhirnya Venus sudah siap dengan seragan yang sudah rapi. Dia berjalan menuju gantungan dimana dirinya meletakan almamater SMA-nya.

"Ok sudah siap!" Venus mengambil tas nya laku berusia untuk turun ke ruang tengah.

"Mamah mana kak?" Venus meletakkan tas nya disampingnya.

"Tadi mamah ke pasar, nggak tahu mau beli apa," jawab Mars menuangkan air putih ke dalam gelas yang ia pegang.

"Terus yang masak?" Venus menatap Mars.

"Mamah lah," jawab Mars.

"Tadi mamah bilang sama kakak. Kalau kamu disuruh beli aja bekalnya, soalnya mamah lupa beli roti," ucap Mars menyampaikan pesan mamanya.

"Venus nggak bawa bekal kok hari ini," jawab Venus mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan Mamanya.

"Kenapa? Kamu beli di kantin sekolah?" Mars bertanya heran.

"Nggak! Venus cuma lagi nggak mau bawa aja," ucap Venus memasukan suapan pertama ke mulutnya.

"Kamu ini kenapa sih aneh banget jadi orang? Kakak aja yang kakak kandung kamu nggak ngerti sama kamu, apalagi orang lain," ujar Mars meletakkan gelasnya.

"Bodo amat! Venus juga nggak mau kakak ngertiin Venus, dan kakak nggak usah seret nama orang lain," ujar Venus tegas.

"Siapa yang bawa nama orang lain? Orang dari tadi kakak nggak sebut nama siapa-siapa," jawab Mars terheran-heran.

"Yaudah sih kak nggak usah tanya terus, Venus bingung nanti jawabnya," ucap Venus kesal.

"Kakak cuma tanya satu pertanyaan aja kok, kamu aja yang bingung mau jawab apa," sahut Mars tak mau disalahkan oleh Venus.

"Udah diem!" Teriak Venus yang membuat Mars tampak takut.

Mobil hitam itu berhenti pada tempat yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Penumpang perempuan turun dari mobil hitam itu. Venus berjalan menyeberangi jalan untuk menuju area sekolahnya. Tak lupa dia juga menyapa pak satpam yang selalu setia berjaga di sekolahnya. Pada saat melewati koridor, Venus juga tak lupa menebar senyuman kepada semua murid.

"Ven!" Teriak Zara memanggil ketika melihat Venus berjalan ke arah kelas.

"Apa?" Venus meletakkan tas nya di bangku.

"Gimana?"

"Gimana apanya sih Zar? Yang jelas dong," ujar Venus tak mengerti maksud Zara.

"Lo mau nggak ngelakuin kayak yang gue kasih tahu kemarin?" Zara mencoba memancing agar Venus ingat kembali.

"Iya," jawab Venus membuat Zara gembira.

"Ok! Mulai dari sekarang lo nggak usah peduli lagi sama Aldrich, lo nggak usah menunjukkan kalau lo itu peduli dan suka sama dia, ngerti?" Zara mencoba membuat Venus mengerti.

"Iya, ngerti," jawab Venus.

Hari ini hari Senin yang menandakan akan ada upacara benderang seperti hari Senin biasanya. Para murid yang sudah siap pun segera berkumpul di lapangan atau menunggu di luar kelas. Kurang 10 menit lagi untuk upacara dimulai.

"Ayo ke lapangan! 10 menit lagu upacara dimulai, gue nggak mau dihukum," ujar Arva.

"Yuk," sahut Zara dan Nada.

"Venus!" Teriak mereka bertiga memanggil Venus dengan bersamaan.

"Hmm," jawab Venus terkejut.

"Ke lapangan sayang," ujar Zara sangat lembut.

Venus hanya mengangguk pelan saja tanpa ada niat membalas mereka balik.

Mereka berempat berjalan menuju ke lapangan untuk melakukan upacara bendera. Sudah banyak murid yang berbaris rapi atau hanya sekedar duduk untuk menunggu upacara dimulai. Banyak dari Mereke juga yang sangat santai meskipun atribut mereka tak lengkap.

"Udah kita disini aja, biar nggak panas," ujar Zara yang tak mau kepanasan karena sinar matahari.

"Ah lo mah Zar gitu aja takut panas," ejek Arva yang melihat Zara menutup wajahnya dengan tangan.

"Masih ada ya ternyata cewek kayak Zara yang takut panas? Takut itu sama Tuhan bukan sama panas," sahut Nada mengompori.

"Sekarang gue tanya sama lo berdua! Lo kalau disuruh dikalangan terus kena sinar matahari yang panas banget mau nggak?"

"Nggak," jawab mereka serempak.

"Terus kalian berarti takut nggak sama sinar matahari?"

"Iya," jawab mereka lagi.

"Yaudah kalau gitu, nggak usah ngatain gue lagi. Orang kalian juga takut sama sinar," ujar Zara.

"Ssssttt diem! Upacara udah dimulai," ujar Venus sedikit berbisik.

Setelah menunggu 10 menit, akhirnya upacara bendera dimulai. Hari ini tak banyak murid yang dihukum karena kurang lengkapnya atribut yang mereka pakai. Hanya ada 4 orang murid saja yang dihukum.

Setelah 20 menit upacara bendera, akhirnya berakhir juga upacara itu. Venus, Zara, Nada, dan Arva kembali ke kelas untuk menghindari sinar matahari. Alasan yang cukup amazing. Mereka berjalan dengan mengelap keringat mereka yang keluar akibat panasnya sinar matahari.

"Hah akhirnya selesai juga," ujar Zara duduk di kursinya.

"Kenapa sih matahari panas banget?" Nada mengambil botol minumnya.

"Ya kalau dingin namanya mall," sahut Zara.

"Ah elah gitu aja ribut banget," timpal Arva yang merasa terganggu.

"Permisi!" Ada seorang gadis yang memasuki kelas mereka.

"Ada apa?"

"Cuma mau ngasih tahu aja, hari ini pulang lebih awal. Soalnya guru-guru mau ada rapat sama sekolah lain," ujar gadis itu menyampaikan pesan.

"Ok makasih ya," balas mereka semua dengan sangat antusias.

"Akhirnya setelah sekian lama menunggu, pulang lebih awal juga," ujar Zara sangat bersemangat.

Tak seperti biasanya, hari ini Aldrich tampak bingung dengan suasana. Dibilang panas tidak, dingin juga tidak. Setiap detik ia melihat loker yang biasanya ada kotak makan berisi roti selai coklat. Namun hari ini tak ada lagi barang itu. Ada rasa sepi ketika kotak makan itu tak ada lagi di lokernya.

"Lo tahu kotak makan yang disini nggak?" Aldrich mencoba bertanya pada Titan.

"Mana gue tahu! Orang gue lihat loker lo aja nggak pernah," jawab Titan yang tidak tahu dengan kotak bekal itu.

"Nah lo, nggak ada baru dicari kan," sindir Leo melirik Aldrich sesekali.

"Gitulah namanya manusia. Kalau ada aja di depan mata, nggak dilihat. Baru bingung nanti kalau udah nggak ada," sahut Brian yang juga mengompori.

"Apa sih nggak jelas!"

"Udah sangat jelas Aldrich," sahut Brian menyela.

Aldrich merasa ada yang aneh hari ini. Entah kenapa tiba-tiba dia jadi bingung ketika tak ada laki kotak makan yang ada di lokernya. Meskipun terkadang ia tak memakannya, namun ia masih menghargai kotak makan itu.

"Ven!" Teriak Aldrich memanggil Venus yang berjalan untuk pulang.

Seperti rencana, Venus tak menghiraukan panggilan atau teriakan dari Aldrich. Ia tetap berjalan dan menatap ke arah depan.

"Dengerin gue," ujar Aldrich mencekal pergelangan tangan Venus.

"Lepasin Al," ujar Venus mencoba melepaskan cekalan Aldrich.

"Kok lo nggak bawa bekal hari ini?" Aldrich bertanya perlahan.

"Aduh Venus harus balas apa ya? Nggak boleh sampai rencana ini gagal!" Venus berkata dalam hati.

"Kenapa?" Ulang Aldrich.

"Males," jawab Venus sangat singkat.

Zara? Dia menahan senyumnya Agara tak pecah ketika melihat dua sejoli ini.

"Nggak masuk akal banget alasan lo," sahut Aldrich.

"Udahlah Al, lagian Venus juga lagi males aja kok bawa bekal. Bikin tas Venus tambah berat," jawab Venus bohong tak mau menatap Aldrich.

"Ok kalau itu mau lo, gue juga nggak berharap lo ngasih lagi kok. Gue tanya karena gue penasaran aja, bukan karena gue berharap," ujar Aldrich yang membuat Venus terkejut.

"Yaudah! Venus juga nggak berharap kok," jawab Venus tak mau menatap Aldrich.

Tanpa basa-basi, Aldrich pun pergi meninggalkan empat gadis itu yang masih mematung di tempat.

"Kenapa sih harus gini? Kena Venus nggak bisa," ujar Venus meruntuki dirinya.

"Udah lo harus tahan! Kurang dua hari lagi, gue yakin lo bisa kok," ujar Zara menyemangati.

"Udah ayo pulang," ujar Zara.

Setelah lama mematung di tempat, akhirnya mereka kembali ke kediaman mereka sendiri-sendiri. Tak ada acara lagi setelah pulang sekolah meskipun pulang juga lebih awal. Mereka memang salah satu orang yang jarang sekali untuk jalan bareng-bareng.