webnovel

Indescriptible

Venusya Geova Kyle- Gadis dengan paras yang menawan yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya jatuh hati padanya. Sikapnya yang dingin namun hatinya yang hangat bak bidadari itulah hal yang unik dan antik dari dirinya. Namun demikian tidak berarti semua laki-laki terpikat olehnya. Aldrich Alexander Supernova- satu-satunya laki-laki yang tak tertarik dengan semua hal unik dan antik yang mengenai gadis itu. Sikapnya yang dingin namun berhati peduli. Niat yang sangat kukuh dari seorang Venusya Geova Kyle untuk mendapatkan hati seorang Aldrich Alexander Supernova mungkin akan terlihat fana bagi siapa saja yang melihatnya. Apakah niat dari seorang gadis dingin yang bersikukuh untuk mendapatkan hati seorang Aldrich akan menjadi sebuah kenyataan?

whysrch · Teen
Not enough ratings
52 Chs

fivety•Day two

"Kenapa sih harus gini? Kan Venus nggak bisa," ujar Venus meruntuki dirinya sendiri.

"Udah lo harus tahan! Kurang dua hari lagi, gue yakin lo bisa kok," ujar Zara menyemangati Venus.

"Udah ayo pulang," ujar Zara.

Setelah lama mematung di tempat, akhirnya mereka kembali ke kediaman mereka masing-masing. Tak ada lagi acara setelah pulang sekolah meskipun pulang juga lebih awal. Mereka adalah salah satu orang yang memang jarang sekali untuk meluangkan waktu demi jalan-jalan semata.

Venus diam tak berbicara karena tengah memikirkan sesuatu yang bersarang di kepalanya. Dirinya resah karena sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

"Kenapa sih Ven?" Mars melihat Venus yang tampak resah.

"Nggak apa-apa kok Kak," jawab Venus tersenyum.

"Nggak kenapa-kenapa gimana? Orang wajah kamu kayak gitu," ujar Mars karena Venus menolak perkataan Mars.

"Udah nggak apa-apa kak, Venus baik-baik aja kok," ucap Venus menenangkan Mars yang tampak khawatir.

"Kamu itu nggak pinter menyembunyikan sesuatu. Kakak tahu kamu bohong," ujar Mars agar Venus jujur padanya.

"Kata siapa?" Venus tetap menyangkal ucapan Mars.

"Kata kakak barusan," jawab Mars.

"Itu kan katak Kakak, bukan kata dunia," tutur venus mengalihkan wajahnya.

"Kata dunia juga kok," ujar Mars.

"Udahlah jangan debat kayak gini, capek tahu nggak. Buang waktu Venus aja," tutur Venus.

"Siapa juga yang mau debat sama kamu, toh juga nggak dapat hadiah kalau menang," sahut Mars tetap menatap ke arah depan.

Venus tak menjawab apa-apa setelah itu, diam dan menatap ke arah jalan. Venus bingung harus bertindak apa saat ini. Dia harus masuk ke dalam lingkaran perkataan Zara. Namun Venus tetap harus menjalankan misi itu untuk membuat Aldrich jatuh cinta padanya. Walaupun terkadang dia harus uring-uringan atau mendumel tak karuan, dia tetap menjalankan hal itu demi Aldrich.

"Heh bunglon! Turun! Udah sampai, mau disini apa mau ke dalam," ujar Mars membuyarkan lamunan Venus.

Tanpa ada niat menjawab, venus langsung keluar mobil dan turun lalu masuk ke dalam rumahnya. Dia berjalan menuju ke lantai atas menuju kamarnya.

"Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Kenapa harus gini? Kenapa nggak gitu aja atau yang lain?" Venus meruntuki dirinya sendiri karena setuju dengan ide dari Zara.

"Heh bunglon! Nggak usah teriak-teriak bisa nggak? Berisik dari bawah," ujar Mars mengingatkan Venus.

"Apaan sih kak, orang Venus nggak teriak-teriak kok," jawab Venus tak mau mengakui.

"Terus apa kalau nggak teriak-teriak? Bisik-bisik gitu? Iya?" Mars bertanya pada Venus karena dia tak mau mengaku.

"Udah Kakak pergi aja sana! Venus mau istirahat dulu," ucap Venus mengusir sang kakak.

"Beraninya main ngusir-ngusir," ujar Mars pergi dari kamar Venus.

Venus berbaring dia tas kasur sejak tadi.

Di lain tempat ada Aldrich yang tengah duduk santai di balkon. Wajahnya tampak tak berekspresi. Hanya diam dan menatap depan tanpa arti.

"Kok jadi mikirin Venus," ujar Aldrich memecah lamunannya.

"Tapi rasanya sepi juga kalau si batu bata nggak kayak kemarin," Aldrich berdiri sembari menatap depan.

Apakah ini pertanda bahwa dia tengah jatuh cinta pada Venus? Atau hanya perasaan yang melintas semata? Aldrich saja tak tahu apalagi kita.

"Masa iya suka sama Venus?" Aldrich tetap tak percaya pada perasaannya.

Sejak tadi Venus memang sudah tak membawakan Aldrich bekal ataupun sekedar menyapa dirinya. Tak seperti Venus yang biasanya, Venus yang selalu ada di manapun Aldrich berjalan. Kali ini Venus seakan-akan hilang ditelan bumi begitu saja.

"Masa iya harus telfon Venus? Terus kalau dia mikir gue suka sama dia gimana? Kan urusannya bisa panjang," Aldrich bingung tanpa sebab sendiri.

Aldrich berjalan mondar-mandir tanpa arah yang pasti. Ia bingung harus berkata apa dan berbuat apa. Saat ini dia jadi sedikit salah jika melakukan suatu hal. Dia sedikit berfikir bagaimana untuk menelfon Venus tanpa dia memikirkan macam-macam tentang dirinya.

"Telfon Venus, nanti urusan dia mikir macam-macam gue nggak peduli," ujar Aldrich mulai mengambil handphonenya lalu mencari nomor gadis itu.

"Kok nggak diangkat-angkat sih? Lama banget? Biasanya aja cepet," tutur Aldrich karena Venus tak kunjung menerima panggilannya.

Aldrich tetap setia menunggu Venus untuk menjawab panggilannya. Namun hingga panggilan le sepuluh, Venus juga masih tak kunjung menerima panggilannya. Aldrich mengerutkan keningnya karena perempuan itu tak biasanya seperti ini.

Venus yang berada di dalam kamar tampak cemberut karena sudah sepuluh kali tak menjawab telfon Aldrich. Padahal biasanya, dia akan dengan sangat cepat menerima panggilan dari laki-laki itu tanpa berfikir. Namun kali ini karena tantangan dari Zara, dirinya harus menerima konsekuensi ini. Tapi jika Venus lihat-lihat, tampaknya rencana Zara mulai sedikit berhasil di Aldrich. Padahal biasanya Aldrich jarang menelfon Venus. Jangankan telfon, melirik saja pun bisa dihitung berapa kali. Tapi kali ini Aldrich sampai menghubungi Venus hingga sepuluh kali.

"Bodoh banget sih!" Venus memukul kepalanya dengan pelan.

"Padahal ini kesempatan baik buat Venus. Tapi gara-gara Zara, kan jadi nggak bisa," ujar Venus menyesal telah menerima tantangan Zara.

"Tunggu! Tapi kalau dipikir-pikir lagi kayaknya rencana ini bakal berhasil deh. Biasanya aja Aldrich nggak pernah telfon Venus kayak gini. Jangankan telfon, ngomong aja nggak pernah. Eh bukan nggak pernah deh, tapi jarang. Masa iya Aldrich gantengnya kayak gitu nggak bisa ngomong," ucap Venus mondar-mandir di depan tempat tidurnya.

Di balkon saat ini ada Aldrich yang tengah mendumel tak karuan. Dia bingung kenapa Venus bisa bersikap seperti ini padanya. Padahal biasanya perempuan itu dulu lah yang akan menelfon Aldrich. Namun kali ini Aldrich seperti menerima karma atas perilakunya terhadap gadis itu. Aldrich tetap menggerutu tak henti sejak tadi. Hanya gara-gara Venus tak mengangkat telfonnya, Aldrich sampai hampir hilang akal.

"Tumben banget tuh batu bata nggak telfon. Sekali nya gue telfon malah nggak diangkat. Emang dasar tuh cewek aneh," ucap Aldrich menggerutu sejak tadi karena Venus tak menerima telfonnya.

"Kayaknya gue kena karma deh? Kok gue bisa telfon dia sampai sepuluh kali sih? Dan bodohnya lagi, gue udah tahu kalau telfon gue nggak diangkat, tapi masih aja gue telfon tuh cewek. Atau jangan-jangan gue amnesia lagi," Aldrich berfikir yang aneh-aneh tentang dirinya karena tak biasanya dia bersikap seperti ini.

Namun berbeda dengan Venus. Saat ini dia tengah berfikir bahwa perkataan dan tantangan Zara ada manfaatnya juga. Biasanya saja Aldrich tak akan pernah menelfon dirinya, namun saat ini Aldrich malah menelfon dirinya sampai sepuluh kali.

"Bodo amat lah, yang penting rencana Venus sama Zara mulai berhasil." Venus tersenyum licik seperti orang jahat di drama-drama azab Indosiar.