webnovel

Tentang Mama

Aku teringat saat masih tinggal di rumah Samuel. Sepulang dari Blitar, kami sempat berantem gara-gara Mama. Entah sejak kapan Samuel dekat dengan Mama, sampai-sampai tiap kali membahas soal Mama, Samuel terus saja membelanya. Dan, mungkin saja Mama sudah meracuni pikirannya.

Selama perjalanan, aku mendiamkan Samuel. Jangankan berbicara, menoleh pun tidak. Mungkin sikapku terlalu berlebihan. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Semua ini memang bukan salah Samuel. Tapi, aku masih belum bisa menerima ucapannya yang menyudutkanku.

Setelah sampai di depan rumah yang berada di kawasan perumahan elit Surabaya Timur, aku keluar dari mobil. Kepalaku mendadak pening. Perutku mual-mual, membuat kakiku terasa tidak kuat berjalan padahal aku baru berjalan beberapa langkah. Pandanganku mulai kabur. Rumah yang begitu besar dan mewah mendadak menjadi gelap gulita.

Saat sadar, aku sudah berada di dalam sebuah kamar.

"Kamu, tidak apa-apa, Ri?" Sebuah suara khas menegurku.

"Aku di mana?" tanyaku balik sambil memegang kepalaku yang pening. Ada perban yang membalut kepalaku.

"Kamu berada di rumah sakit sekarang. Tadi kamu pingsan. Kepalamu terbentur ubin cukup keras hingga mengeluarkan darah. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu, makanya aku langsung bawa kamu kemari." Samuel menerangkan.

Aku memandang Samuel sejenak. Ada pancaran ketulusan dari sorot matanya. Meskipun tadi kita berantem, dia tetap saja menunjukkan perhatiannya.

"Sam, maafkan aku."

"Aku sudah memaafkanmu. Sekarang beristirahatlah."

"Kepalaku sakit." Aku meringis menahan sakit.

"Jangan banyak bergerak. Berbaring saja," ujar Samuel sembari menghalauku untuk duduk.

"Pulang, yuk," pintaku sembari menggeser posisi dengan menyenderkan tubuh ke dinding.

"Kamu masih sakit."

"Pokoknya pulang!" Bau obat di rumah sakit ini, membuatku ingin muntah. Aku tidak tahan.

Meski badanku masih lemas, aku tetap memaksakan diri untuk berdiri dan Samuel tidak bisa menghentikanku. Sementara itu, dari arah pintu, kulihat seorang dokter berkaca mata memasuki ruangan.

Dokter juga melarangku pulang karena melihat kondisiku yang kurang fit. Katanya, aku harus mendapat asupan nutrisi untuk memulihkan tenaga, karena memang dari kemarin perutku tidak terisi apa-apa.

Mungkin karena itu aku jatuh pingsan dan akhirnya masuk rumah sakit. Tapi, karena aku ngotot ingin pulang, akhirnya dokter mengizinkan pulang. Setelah mengurus administrasi dan sebagainya, aku diperbolehkan pulang ke rumah.

***

Tiga hari kemudian, aku kembali menjalankan aktivitas seperti biasa. Luka di kepalaku pun juga sudah sembuh. Lebih cepat dari perkiraan dokter.

"Sam, maafkan aku ya," kataku memelas di sela-sela sarapan bersama Samuel.

"Ari, sudah berapa kali kamu minta maaf padaku dalam tiga hari ini?" Dia mungkin sudah lelah mendengar permohonan maaf dariku.

Semenjak dilarikan ke rumah sakit, aku sering mengucapkan kata itu. Hampir di setiap pertemuan, di rumah, di kantor, bahkan di jalan, aku selalu minta maaf.

Aku menggeleng sambil memasukan suapan terakhir ke mulut.

"Delapan puluh tujuh kali. Pagi ini saja sudah lima kali kamu minta maaf," terang Samuel.

Orang ini tidak ada pekerjaan atau apa sampai menghitung kata maaf dariku segala. Ada-ada saja.

"Tapi baru delapan puluh tujuh kali belum sampai seratus," sahutku.

Samuel manyun. Aku tertawa ringan.

***

Usai sarapan, aku dan Samuel berangkat ke kantor. Biasanya kami membawa kendaraan sendiri-sendiri. Tapi, pagi ini aku malas membawa mobil.

"Sam, kamu tahu kenapa aku sangat membenci Mama?" aku membuka topik pembicaraan.

"Aku tidak mau tahu karena bukan urusanku!"

Jawaban Samuel terdengar ganjil. Apa mungkin Samuel menyembunyikan sesuatu dariku?

"Mengapa kamu ngomong seperti itu?"

"Memang benar kan bukan urusanku? Lagi pula aku tidak mau hanya gara-gara membicarakan soal ini, kita bertengkar lagi."

Aku mengernyitkan dahi.

Aku memegang lengan Samuel. "Sam, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.

Samuel acuh. Pandangannya tetap ke depan.

"Sam!"

"Ari, aku sudah tahu semuanya. Mamamu sudah menceritakannya dan kamu tidak ada alasan lagi untuk membenci Mamamu. Dia sangat menyayangimu."

"Oh, jadi sekarang kamu lebih membela Mama dari pada aku? Ya sudah bela saja Mama terus!" Emosiku tersulut. Mengapa setiap kali berbicara tentang Mama, darahku seolah medidih.

"Ri, aku tidak mau ribut sama kamu!"

"Siapa yang mengajakmu ribut, Sam." Aku membela diri dengan suara merendah. Aku berusaha meredam emosi karena tidak mau merusak kosentrasi Samuel.

Di pertigaan jalan, Samuel membelokkan mobilnya. Sesekali dia menoleh ke arahku.

"Apapun itu, dia tetap ibu kandung kamu. Ibu yang melahirkan kamu. Jadi tidak mungkin seorang ibu menyakiti anaknya sendiri," balas Samuel. Kali ini sikapnya lebih tenang.

Samuel melirik kaca spion. Mengamati mobil di belakang. Sepertinya dia mau menepikan mobil. Kami sudah sampai di pelataran kantor.

"Sekarang aku mau tanya sama kamu. Apakah selama ini Mama kamu pernah menyakitmu?" tanya Samuel sembari memarkirkan mobilnya.

Aku terdiam. Pertanyaan Samuel membuatku mati kutu. Jujur, memang Mama tidak pernah menyakitiku. Jangankan menyakiti, membentak saja, sama sekali tidak pernah.

"Kenapa diam? Tidak bisa jawab?" Samuel mencibir. Dia sudah mematikan mesin mobilnya.

"Kalau Mama memang menyayangiku, kenapa Mama sering meninggalkanku? Kenapa Mama selalu bertengkar dengan Papa. Apa Mama tidak memikirkan perasaanku? Apa itu yang dinamakan sayang?" Aku membela diri. Entah apa yang dipikirkan oleh Samuel sampai dia bersikeras membela Mama.

"Meninggalkan kamu? Bukankah kamu sendiri yang telah meninggalkan mereka."

Sial. Samuel mengajakku berdebat lagi. Memang benar Mama tidak benar-benar meninggalkanku. Hanya saja Mama sering meninggalkan rumah karena jadwalnya yang padat.

Mama lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ketika di rumah, yang terjadi adalah pertengkaran demi pertengkaran antara Mama dan Papa. Masalah kecil saja berubah menjadi besar saat mereka berbeda pendapat. Apa itu yang menjadi alasan Mama jarang di rumah?

"Mamamu punya alasan yang kuat mengapa dia berbuat seperti itu." Samuel memperkuat argumennya, seolah tahu segalanya tentang Mama.

Sam, aku ini anaknya, aku lebih mengerti Mama daripada kamu.

"Alasan apa lagi, Sam. Sudah jelas-jelas Mama sering meninggalkan aku dan Papa. Mama lebih mementingkan pekerjaan dari pada keluarganya. Seharusnya, Mama lebih memperhatikan aku dan Papa. Bukankah tugas seorang istri dan juga seorang ibu adalah mengurus keluarganya?"

"Lalu bagaimana dengan kamu? Bukankah kamu sendiri yang meninggalkan mereka dengan kabur dari rumah?"

Lagi-lagi aku kalah. Apa yang dikatakan Samuel memang benar. Tapi aku tetap bersikeras dengan pendirianku. Tetap Mama yang salah. Mama tidak memperdulikanku dan Papa. Mama lebih mementingkan karirnya daripada keluarga.

"Kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Sam. Asal kamu tahu, aku juga punya alasan kenapa aku pergi dari rumah."

Samuel menghela napas. Dia tampak lelah menghadapiku. Sejenak ia menepikan mobilnya. Berusaha bersikap tenang.

Aku bergeming. Mau marah tapi pada siapa? Samuel? Menurutku, Samuel tidak salah. Dia mungkin berbicara sesuai fakta, lantas kenapa aku harus marah pada dia?