webnovel

Bisnis Baru

Beberapa saat kami terdiam. Aku memainkan smartphone. Sementara Samuel, sepertinya dia mengetuk-ngetuk stir mobil

"Kamu bilang kamu punya alasan pergi dari rumah," Samuel kembali berbicara setelah sepersekian menit membisu. Suaranya sedikit lebih tenang.

"Sudahlah, Sam. Tidak perlu dibahas lagi." Aku mulai lelah. Kalau aku ladenin terus, kita akan terus bertengkar dan tidak akan selesai-selesai permasalahan ini.

"Jawab dulu, alasannya apa? Tidak tahan mendengar orang tuamu bertengkar? Atau sekedar mencari perhatian, begitu? Lagu lama! Kamu itu sudah dewasa, Ri. Harusnya kamu bisa berpikir dewasa supaya kamu bisa menengahi pertengkaran kedua orang tuamu. Jangan malah menjadikan pertengkaran mereka sebagai alasan kabur dari rumah. Itu sama saja kamu lari dari masalah. Kamu harus berani menghadapinya. Kamu bukan anak kecil!" Sejenak Samuel memberi jeda kemudian melanjutkan kata-katanya. "Apa? Tidak bisa jawab juga?" tanyanya sembari mengangkat alis.

Kelihatannya Samuel memang sengaja menyudutkanku dan dia berhasil. Damn!

"Ri, asal kamu tahu, terkadang seorang istri sekaligus seorang ibu akan melakukan sesuatu di luar kemampuan dan tanggung jawabnya demi keluarga. Apa kamu tidak memikirkan hal itu? Bukankah keluargamu saat itu sedang mengalami kesulitan finansial? Papamu sakit, dia sudah tidak bisa bekerja lagi. Dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya lagi. Ingat, Ri. Tugas seorang suami dan seorang ayah adalah mencari nafkah untuk keluarganya. Dia harus mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, ketika seorang suami yang menjadi tulang punggung, sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keluarganya, bukankah seorang istri bisa menggantikan perannya? Apa kamu juga tidak memikirkan hal itu?"

"Kamu bilang seorang istri bisa menggantikan peran seorang suami? Lalu bagaimana dengan peran seorang anak? Bagaimana denganku? Aku laki-laki, Sam. Aku anaknya. Aku bisa menggantikan peran Papa sebagai tulang punggung keluarga. Aku bisa bekerja dan aku mampu."

"Apa yang bisa kamu lakukan saat itu? Kamu mau bekerja apa dan di mana? Sementara saat itu kamu masih kuliah. Apa salahnya kalau Mamamu menjalankan usahanya?"

"Aku bisa berhenti kuliah, Sam, dan Mama tidak perlu lagi bekerja. Biar aku saja yang bekerja. Itu jauh lebih baik daripada Mama bekerja tapi justru menghancurkan keluarganya. Apa kamu meragukan kemampuanku? Kenapa kamu terus saja membela Mama?"

"Aku membela yang benar," sergah Samuel. "Ari, tidak ada satu pun orang tua membiarkan anaknya menanggung penderitaannya. Selama orang tua masih mampu bekerja, mereka akan melakukannya. Mereka tidak mau anaknya menanggung beban keluarga."

"Sam!" Aku semakin berang.

Apa yang dia tahu tentang keluargaku? Apa yang sudah dilakukan Mama padanya sampai-sampai Samuel bisa berkata seperti itu? Tetapi apa yang dikatakan Samuel semuanya benar tanpa cacat. Kali ini dia selalu benar. Bahkan, aku tak bisa mencari kesalahannya. Sial! Semakin aku menanggapi ocehannya aku semakin terpojok.

"Ari, Mamamu sangat sedih atas keadaan Papamu. Beliau merasa menjadi istri yang tidak berguna kalau hanya berpangku tangan sementara beliau sehat, punya usaha. Dan dengan usahanya itu, beliau ingin memperbaiki ekonomi keluarga yang sedang tidak baik-baik saja. Biar bagaimanapun, beliau masih istri sah Papamu. Lalu, mengapa kamu tetap membencinya?" Samuel terus saja mengoceh.

Aku diam. Dalam hati, aku masih belum bisa menerima kenyataan itu. Sakit sekali kalau kembali mengingatnya. Kalau memang Mama melakukan semua itu demi keluarga, mengapa justru yang dilakukannya malah menghancurkan keluarganya?

"Kalau kamu dan Papamu mengerti kondisinya, kalian pasti bangga terhadap Mamamu. Kenyataannya, justru kalian menganggap beliau sudah berubah. Mungkin, Papamu merasa gengsi. Sebagai kepala keluarga, beliau sudah tidak mampu lagi menjalankan perannya. Papamu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya lagi. Itu sebabnya beliau tak bisa mengendalikan emosinya. Mamamu juga salah, karena biar bagaimanapun keadaannya, beliau juga harus tetap memperhatikan keluarga. Beliau juga harus mampu membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan supaya hal semacam itu tidak sampai terjadi."

Aku menoleh ke arah Samuel dengan tatapan tajam. Di satu pihak, dia membela Mama. Di lain pihak, dia tidak hanya menyalahkan Mama tapi juga Papa? Mungkin aku salah menilai Mama. Kebencianku terhadapnya membutakan mata hatiku. Tapi, aku tidak terima jika Samuel menyalahkan Papa.

"Ada apa denganmu, Sam. Sebenarnya kamu membela siapa?"

"sudah kutegaskan aku tidak membela atau menyalahkan siapa-siapa. Aku membela yang benar. Ari, Mamamu tertekan. Setiap pulang kerja, beliau selalu dicurigai oleh Papamu. Kenapa kamu tidak bisa memahami perasaan Mamamu sendiri?"

Ini bukan sebuah jawaban yang aku inginkan. Berulang-ulang Samuel melempar pertanyaan yang membingungkan.

"Maksud kamu apa?" Aku mulai tidak mengerti dengan arah pembicaraan Samuel.

"Ri, kamu harus tahu, Mamamu itu tidak seburuk yang kamu pikirkan. Beliau adalah seorang ibu yang punya perasaan...."

"To the point saja, Sam." Aku memotong kata-kata Samuel yang makin membingungkan.

"Kamu sadar tidak, Mama kamu tidak kuat dengan sikap Papa kamu! Papamu mengusirnya dari rumah. Apa kamu tahu soal itu? Aku yakin kamu tidak tahu. Ari, satu hal yang pasti. Demi kamu, beliau bertahan walaupun harus bertengkar dengan Papamu setiap hari!" ucapan Samuel yang keras membuat nyaliku menciut. Aku belum pernah melihat Samuel berbicara setegas itu.

"Papa mengusir Mama dari rumah? Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu? Apa jangan-jangan Mama yang sudah mempengaruhimu, Sam? Aku tahu, sikap Papa yang terlalu keras terhadap Mama memang salah, tapi tidak seharusnya Mama menjelek-jelekan Papa seperti itu!"

"Berarti benar kamu belum tahu soal itu? Ari, saat kamu kabur dari rumah, orang tuamu bertengkar hebat. Papamu menyalahkan Mamamu atas kepergianmu, lalu beliau mengusirnya. Sekali lagi aku tegaskan, Mamamu menyayangimu melebihi dirinya sendiri."

Sekali lagi, Samuel membuatku mati kutu.

"Ri, kamu tidak apa-apa?" suara Samuel menyadarkan aku. Refleks, tubuhku sedikit terangkat. Aku menoleh ke arah Samuel yang sedang memperhatikanku.

"Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu," katanya lagi sambil menarik kembali tangannya yang menggelantung di pundakku.

"Aku baik-baik saja. Ya sudah, kita masuk saja ke kantor," ajakku.

Samuel mengangguk. Kemudian mengambil tasnya di jok belakang. Kami sama-sama keluar dari mobil dan berjalan menuju kantor.

*****

Sejak saat itu, aku dan Samuel tak lagi membahas soal Mama. Bahkan, anehnya kebencianku terhadap Mama sedikit berkurang. Hanya saja, aku belum bisa memaafkan Mama sepenuhnya. Samuel mengerti akan hal itu. Justru sekarang dia mulai terbuka dengan kehidupan pribadinya.

Samuel anak tunggal sama sepertiku. Bedanya, kedua orang tuanya telah lama meninggal. Dia keturunan dari keluarga konglomerat. Kedua orang tuanya sama-sama pengusaha. Perusahannya banyak. Sayang, keadaan yang seperti itu tak lantas membuatnya bahagia. Justru dia menderita karena kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Yang paling menyedihkan, di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, kedua orang tuanya bercerai. Hak asuh anak pun diperebutkan.

Belum selesai permasalahan hak asuh, ketika Samuel duduk di bangku kelas dua SMA, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan mobil.

Sungguh ironis. Ketika seorang anak masih membutuhkan kasih sayang dan bimbingan orang tua, mereka justru bertikai hingga berujung pada perceraian. Sang anaklah yang akhirnya menjadi korban.

"Ri, aku besok ke Australia," kata Samuel ketika menghampiriku di ruang santai.

"Australia?" tanyaku tanpa menoleh. Mataku terfokus pada layar televisi.

"Iya. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan." Samuel menjelaskan sembari menjatuhkan diri di sebelahku lalu mencomot popcorn yang kumakan.

"Pekerjaan apa? Apa soal klien dari Australia kemarin itu?" tebakku. Minggu lalu, kantor kedatangan klien dari Australia. Mereka mengajak kerjasama dengan perusahaan kita. Mereka tertarik dengan konsep desain bangunan yang perusahaan kami. Tapi, aku tidak tahu pasti kapan proyek itu akan dilaksanakan.

"Itu tahu. Iya, Pak John yang waktu itu. Dia mengundangku ke perusahaannya untuk membahas lebih lanjut kerjasama dengan perusahaan kita. Sekalian aku mau membuka bisnis di sana."

"Bisnis apa lagi?" Aku mulai tertarik dengan arah pembicaraan kami. Apalagi menyangkut bisnis. Aku ingi belajar dari Samuel.

Jika aku punya rencana ide usaha, aku akan bangun, jalankan dan fokus. That's it. Tapi Samuel tidak. Prinsipnya adalah bangun, jalan, fokus, sukses, buka usaha baru. Artinya ketika dia sukses dengan bisnisnya maka dia akan membuka bisnis lainnya yang dapat mendatangkan profit. Makanya, usahanya banyak dan sampai saat ini, berjalan dengan baik sesuai dengan harapan. Satu hal yang membuatku salut adalah dia membangun sebuah bisnis karena memikirkan bagaimana dia bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain. Luar biasa.

"Ada pokoknya," kata Samuel mengambang.

"Sama aku saja pakai rahasia segala," kataku sedikit kecewa. Kemudian aku memalingkan wajah ke arah televisi. Pura-pura ngambek. Tapi Samuel justru tertawa melihat ekpresiku. Dasar!

"Ya ngambek." Samuel tertawa lepas. Kemudian berhenti, lalu melanjutkan. "Belum saatnya untuk bercerita. Nanti juga kalau sudah waktunya aku pasti akan menceritakannya padamu. Janji." Kali ini Samuel serius dengan ucapannya. Kelihatannya bisnis barunya itu, lain dari pada yang lain. Pasti sangat menguntungkan.

"Iya, iya. Tapi berapa lama kamu di sana?" Aku bertanya lagi tanpa menoleh.

"Paling lama dua minggu."

"Dua minggu? Lama sekali," kataku sembari menatap Samuel.

"Aku tadi sudah menjelaskan kalau ada pertemuan sekaligus mau membangun bisnis di sana."

"Tapi kenapa lama?" Tiba-tiba aku merasa sedih harus ditinggal Samuel selama itu. Tidak seru kalau tidak ada dia. Biasanya kita sering becanda. Main game bareng dan ngegym bareng.

"Ada apa? Mau ikut? Sepertinya kamu sedih banget kalau kutinggal."

"Siapa juga yang sedih. Kalau mau pergi, pergi saja. Nanti kalau aku ikut justru bikin kacau. Sudah tahu aku orangnya gampang bosan, apalagi menyangkut pekerjaan. Pokoknya jatah jam kerjaku hanya delapan jam per hari. Selebihnya jalan-jalan. Titik! Aku tidak mau terlalu sibuk. Capek."

"Kamu saja yang malas makanya hidupmu tidak ada perubahan yang berarti. Kurang bermakna. Kalau kamu seperti itu terus, kapan kamu bisa maju? Kesuksesan itu tidak semudah seperti memetik buah di pohon. Kita juga harus menanam pohon itu, memupuk, merawatnya sampai tumbuh besar dan menghasilkan buah lalu kita bisa menikmati hasilnya." Samuel berceramah.

"Tapi kamu sudah sukses dengan pekerjaanmu. Kamu juga punya usaha sendiri. Lalu apa yang kamu cari?"

"Aku belum puas dengan semua itu. Aku merasa belum sukses," kata Samuel. Sejenak dia terdiam sambil mencomot popcorn yang kumakan lalu melanjutkan, "Kesuksesan itu adalah ketika kita bisa mencapai tujuan kita. Orang bisa dikatakan sukses apabila dia berhasil dengan kemampuan dan usahanya sendiri. Sementara aku? Apa yang kumiliki sekarang adalah milik orang tuaku. Makanya, aku ingin membangun usaha sendiri. Walaupun untungnya kecil, tapi setidaknya itu usaha sendiri, hasil kerja kerasku bukan dari warisan orang tua. Paham?"

Aku melengos dengan tetap asyik mengemil popcorn sambil tetap fokus menonton acara televisi. Sudah menjadi kebiasaan Samuel mengoceh seperti itu. Saat kami membahas sesuatu, ujung-ujungnya dia menasehatiku. Usianya memang lebih tua dariku dan pengalaman hidupnya lebih banyak, membuatnya jauh lebih dewasa.

Dasarnya saja aku menanggapinya dengan santai. Apabila diceramahi sampai kuping panas, sudah pasti aku melengos. Alhasil, Samuel gregetan lalu menjitak kepalaku.

"Aduh, sakit Sam," kataku sambil menggosok-gosok kepalaku.

"Makanya kalau diajak bicara, dengarkan baik-baik."

"Aku dengar," kataku sambil meringis.

"Coba diulang aku ngomong apa tadi?"

"Nasi goreng rasanya enak. Pis!" Aku mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbol perdamaian.

Samuel menghela napas panjang. Pasrah menghadapiku yang tidak pernah serius.

"Kamu mau ikut ke Australia, tidak? Selalu saja kalau diajak ngomong tidak pernah mau mendengarkan." Samuel memprotes sambil merebut popcorn di tanganku dengan paksa. Kemudian memakannya dengan gemas.

"Maaf Bapak Samuel yang terhormat," ujarku menggodanya. "Sebenarnya aku mau ikut, tapi siapa yang akan mengurus kantor kalau kita berdua tidak ada? Besok ada rapat penting dengan klien dari Jakarta dan aku harus hadir," kilahku sambil pura-pura memalingkan muka.

Memang, aku sedih kalau ditinggal lama. Tapi, mau bagaimana lagi? Samuel ke Australia dalam rangka pekerjaan bukan liburan.

Popcorn yang direbut Samuel tadi, kurenggut kembali. Ah, menyebalkan. Seenaknya Samuel menghabiskan makananku. Tiba-tiba otak jailku bekerja. Kulempari Samuel dengan popcorn yang masih tersisa sembari menggerutu. Tidak terima dengan aksi jailku, Samuel membalasnya dengan melempar popcorn yang berhamburan di lantai.