webnovel

Tentang Samuel

Hari ini ada rapat dewan direksi sekitar pukul sembilan. Beberapa pemegang saham turut hadir termasuk pemilik perusahaan. Siapa lagi kalau bukan Samuel. Kata sekretarisku, baru tadi pagi dia sampai setelah perjalanan bisnisnya ke Jepang. Dan, aku harus presentasi di depan dia. Sial! Kenapa juga dia harus pulang.

Dua jam kemudian, rapat selesai. Satu persatu dewan direksi meninggalkan ruang rapat. Sepi. Tinggal aku dan… Samuel. Laki-laki keparat ini masih di dalam ruangan.

Entah kenapa jantungku berdetak tak menentu. Berdua dengan Samuel di ruang rapat membuatku salah tingkah. Bukan apa-apa. Kupernah mendengar dari seseorang, kalau orang yang memiliki penyimpangan seksual bisa berbuat nekad.

Aku berpura-pura untuk tidak melihatnya. Menyibukkan diri dengan mengemasi barang-barangku. Berkas dan laptop. Sesekali mataku melirik ke arahnya yang duduk di ujung seberang meja.

Sial. Dia berjalan ke arahku. Mau apa dia? Apakah setelah kejadian malam itu, Samuel akan mengeluarkanku dari perusahaannya? Tidak masalah kalau dia mau memecatku. Silahkan saja, asal jangan menyentuhku secara fisik. Kalau sampai terjadi, awas saja. Akan aku hajar dia. Belum tahu apa kalau aku tukang berantem di sekolah sampai Papa memasukkanku ke padepokan pencak silat.

"Ari, aku minta maaf," ucap Samuel di luar dugaan.

Aku menoleh ke arahnya. Mentap wajah Samuel dengan serius seolah tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar.

"Aku minta maaf atas kejadian malam itu. Sungguh, aku kilaf. Jujur, aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu."

"Kau gila!" seruku dengan nada tinggi. Kalimat yang dilontarkan dari bibir Samuel benar-benar menjijikkan. Biarpun aku membenci Mama, membenci perempuan, tapi aku laki-laki normal.

"Aku serius. Kupikir kamu juga menyukaiku. Karena kita memiliki kesamaan. Sama-sama-sama tidak menyukai wanita."

"Jaga ucapanmu!" Aku menunjuk wajah Samuel dengan geram. Sungguh, kalau saja aku tidak mengingat kebaikannya, sudah kuhajar dia.

Samuel terkekeh seolah sedang menertawakan sesuatu. Tidak lucu!

"Ari… Ari… Semua orang juga sudah tahu kamu sama sepertiku tidak menyukai wanita. Buktinya banyak wanita yang mengejarmu tapi kamu selalu menghindar," Samuel menyeringai.

Tanganku mulai mengepal. Wajahku memanas. Sungguh, sekali lagi kalau dia ngomong jelek tentangku, akan kuhajar dia!

Mungkin karena aku membenci wanita, sehingga Samuel beranggapan aku tidak menyukai wanita. Padahal dia tahu alasanku membenci wanita karena Mama. Semua wanita itu sama. Sama seperti Mama. Hanya mau madu laki-laki, dan kalau sudah habis, wanita meninggalkannya. Namun, sebenci-bencinya aku terhadap wanita, aku tetap laki-laki normal.

Ah, sudahlah. Lama-lama jika aku masih di sini, bakal terjadi perang dunia ke sepuluh. Sebaiknya aku keluar saja dari ruangan ini daripada mendengar ocehan Samuel yang membuatku makin kesal.

Baru beberapa langkah sebuah sentuhan lembut menempel di pundakku, siapa lagi kalau bukan tangan Samuel yang menjijikkan ini. Seketika aku menepisnya dengan kasar.

"Sudah kubilang jangan sentuh aku! Kalau tidak…"

"Kalau tidak apa?" Samuel menantang.

Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Kucengkram kerah bajunya sembari mengarahkan bogem mentah ke arah wajah Samuel.

"Mau menghajarku? Lakukan saja…" Bukannya melawan, Samuel malah menyodorkan mukanya tepat beberapa centi dari kepalan tanganku. Sedikit saja, akan menyentuh kulitku.

"Dengar baik-baik, Samuel. Aku tidak sepertimu!"

Entah kenapa aku mulai alergi dengan Samuel. Daripada aku mengotori tanganku sebaiknya aku abaikan manusia laknat ini. Percuma. Tidak ada gunanya meladeni. Kulepaskan cengkramanku lalu pergi meninggalkan ruang rapat. Entah Samuel ngomong apa lagi aku tidak peduli.

****

Pekerjaanku jadi kacau gegara Samuel. Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan laki-laki biadap seperti dia? Sekian lama aku mengenal Samuel, kenapa aku baru tahu kalau dia tidak normal?

Sebenarnya sudah lama teman-teman dan rekan bisnisku suka menyindir kedekatanku dengan Samuel. Kita memang dekat tapi sebagai sahabat. Tidak lebih dari itu. Dan, aku menganggapnya seperti kakak karena dia lebih tua dariku.

Ya, memang benar. Aku pernah tinggal satu rumah dengannya. Waktu aku kabur dari rumah, kemudian over dosis karena narkoba, Samuel yang menolongku. Membiayai perawatanku di rumah sakit. Kemudian setelah sembuh dari rehabilitasi, aku tinggal di rumahnya. Lalu diberi pekerjaan.

Mula-mula menjadi karyawan biasa. Lalu diangkat menjadi manager. Kemudian karena kinerjaku bagus di perusahaan, aku naik jabatan menjadi direktur. Satu tahun kemudian, aku di tempatkan di salah satu perusahaannya yang hampir saja bangkrut.

Aku dipercaya untuk menghandle perusahaan tersebut. Bagaimana caranya supaya perusahaan yang bergerak di bidang retail bisa bangkit. Dan, kerja kerasku membuahkan hasil. Perusahaan yang aku kelola berkembang. Setelahnya, aku dipercaya sebagai CEO di perusahaan tersebut lantaran aku berhasil membuat perusahaannya berjaya kembali sampai sekarang.

Selama ini aku selalu berpikiran positif terhadapnya. Meski terkadang aku merasa janggal dengan sikapnya terhadapku. Tapi aku tidak pernah mengetahui kalau ternyata Samuel memiliki penyimpangan seksual sejak dulu. Padahal dari perawakannya saja, dia seperti laki-laki normal.

Kalau dari awal aku tahu Samuel seperti itu, aku akan memakluminya. Asal dia tahu batasannya. Lebih-lebih tidak melakukan tindakan yang seperti dia lakukan pada malam itu. Aku pasti akan menerimanya. Mau dia gay, biseksual, atau apalah namanya, aku tetap menganggapnya sebagai Sahabat. Sahabat terbaikku. Sahabat yang membuat seorang pecandu narkoba menjadi CEO sebuah perusahaan besar.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.30. sudah waktunya makan siang. Hari ini, Marsya masak apa ya? Aku jadi kangen masakannya. Ingin sekali pulang ke apartemen lalu makan siang bareng dia.

Cewek itu sukses membuat jantungku dag dig dug saat didekatnya. Belum pernah aku merasakan hal seperti ini sebelumnya. Aku jadi teringat akan kata-kata dokter Ridwan, ceweknya cantik. Awas jatuh cinta, selorohnya waktu itu.

Tunggu, kenapa sekarang aku kepikiran Marsya? Hai, Ari bangun. Sejak kapan seorang Ari yang dingin memikirkan wanita? Sejak kapan? Apa kau sedang jatuh cinta? Kemana Ari yang bersikap acuh terhadap wanita?

Sungguh, baru kali ini pesona dari seorang wanita bernama Marsya benar-benar membuatku tak berdaya. Aku harus pulang sekarang. Perutku sejak tadi bernyanyi. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena harus datang pagi-pagi ke kantor untuk menyiapkan bahan presentasi.

Kukenakan kembali jas yang kugantung di tiang gantungan. Lalu keluar dari ruang kerjaku.

"San… Saya keluar sebentar. Kalau ada yang nyariin saya, bilang lagi istirahat makan siang," kataku pada sekretaris yang bernama Santi.

"Baik, Pak. Oh ya, nanti jam dua, ada janji dengan Pak Subagyo dari PT Kusuma Jaya."

"Oke. Aku akan kembali ke kantor sebelum jam dua. Oh ya. Laptop dan berkas saya di ruang rapat, tolong diberesin ya bawa ke ruangan saya."

"Baik Pak."

Aku berjalan menuju lift yang berada di ujung. Saat melewati beberapa bilik ruang kerja para staf. Sempat aku mendengar beberapa staf bergunjing yang membuatku emosi. Pasti, kabar soal pertengkaranku dengan Samuel sudah menyebar seantero kantor dan saat ini menjadi topik hangat di kalangan pekerja kantor.

"Kerja yang benar. Jangan suka ngomongin orang. Kalau kerjaan kalian tidak beres, saya pecat kalian semua. Paham!" Ancamku dengan nada keras membuat seisi ruangan membisu.

Mendengar ultimatumku barusan, seketika staf yang bergunjing tadi, pura-pura sibuk dengan komputer dan berkas yang berada di hadapannya. Satu di antaranya meminta maaf sambil menunduk.

****

Mendadak selera makanku jadi hilang saat berpapasan dengan Samuel di lobi.

"Ari tunggu. Aku pingin ngomong sebentar," panggil Samuel saat melihatku keluar dari lift.

Aku pura-pura tidak mendengar sembari mempercepat langkahku menuju parkiran. Saat sampai di pelataran parkir, Samuel menghadangku.

"Mau kamu apa, Sam?" dengusku kesal.

"Boleh aku ziarah ke makam Om Sandiago? Beliau sudah seperti Papaku sendiri."

Deg.

Emosiku yang hampir saja meledak langsung mereda saat nama Papa disebut. "Dari siapa kau tahu kalau Papa sudah meninggal?"

"Mau dari siapapun, itu tak penting. Aku hanya ingin ziarah ke makam Om Sandiago. Aku mohon izinkan aku ke sana. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam."

"Apa ucapanmu bisa dipercaya?"

"Sejak kapan aku berbohong padamu?" Samuel bertanya balik hingga membuatku mati kutu.

Benar, sejauh aku mengenal Samuel, dia tidak pernah membohongiku. Sayangnya, gegara dia menjebakku, kepercayaanku kepadanya luntur seketika.

"Besok kita ketemu jam delapan di sini. Aku akan mengantarmu ke makam Papa," kataku lalu memencet tombol pembuka kunci mobil.

Mobil berkedip dua kali tandanya pintu mobil siap dibuka.

"Terima kasih, Ri."

"Dan ingat. Aku lakukan semua ini karena almarhum Papa," kuakhiri percakapanku dengan Samuel sebelum meninggalkan area parkiran.