webnovel

First Kiss

Siang itu, karena selera makanku hilang gara-gara bertemu Samuel lagi, akhirnya aku memutuskan ke apartemen saja. Ada seseorang di sana yang membuatku rindu ingin bertemu.

Ala, apa aku sudah mulai ada rasa dengan dia? Gila saja. Mana mungkin bisa secepat itu aku menyukai sosok yang bernama perempuan? Bukankah sejak dulu aku membenci yang namanya perempuan? Bukan tanpa sebab, aku membenci mereka karena Mama.

Bagiku, semua perempuan di dunia ini sama. Sama Seperti Mama yang hanya bisa menyakiti perasaan laki-laki. Tapi bukan berarti aku menyukai laki-laki. aku tidak sama seperti Samuel. Beda cerita. Aku laki-laki normal yang jika dihadapkan dengan lawan jenis tanpa busana, bisa dipastikan bakal tergoda untuk menyentuhnya. Buktinya, saat aku menyentuh pipi Marsya, jiwa dan ragaku seolah bergetar. Seperti ada sengatan listrik.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu. Tak berapa lama pintu terbuka. Kulihat sosok perempuan berlesung pipi muncul dari balik pintu.

"Kamu sedang apa? Kok mukamu belepotan begitu."

"Aku lagi bikin kue. Hm… Tapi kayaknya gagal…" keluh Marsya.

"Mana coba lihat. Jadi penasaran." Aku langsung menerobos masuk.

"Ih, jangan, Sandi. Malu aku rasanya pasti tidak enak," Marsya menyusulku berusaha mencegah. Namun, dengan gesit aku sudah berada di dapur.

Buset, dapurnya berantakan sekali. Apa-apa ini? Aku memandang Marsya yang tengah berdiri di belakangku. Ia meringis.

"Maaf ya, aku bikin dapurmu berantakan," ujarnya sembari nyengir.

Melihat ekpresi memelas Marsya seperti itu bikin aku gemas ingin mencubit pipinya. Tiba-tiba aku mencium aroma…

"Alamak kuenya…" teriak Marsya histeris. Ia kemudian melesat menuju oven toaster. Lalu membukanya. Asap mengepul membuatnya terbatuk-batuk.

Spontan aku langsung ngakak. Ini lucu sekali. Sumpah. Tingkah Marsya benar-benar membuatku terhibur. Lantas aku menghampirinya.

"Hm… sedapnya…" aku menghirup aroma kue yang baru saja dikeluarkan Marsya dari oven.

"Jangan meledek deh," Marsya melirikku dengan sinis. Namun, justru aku semakin ngakak melihatnya seperti itu.

"Tuh kan, beneran gagal. Kenapa sih aku tidak bisa bikin kue seperti Mama." Marsya menggerutu sendiri.

Aku coba mendekatinya. Lalu diam-diam mencomot kue yang sudah diletakkan Marsya di meja pantry.

"Aww panas," aku meringis. Jemariku terasa melepuh begitu memegang kue yang kemudian aku lepas lagi.

"Sudah tahu kuenya masih panas, main comot saja,"Marsya meraih tanganku. Ia meniup-niup bagian jemariku.

Ketika Marsya menyentuh tanganku, degup jantungku berdetak tak menentu.

"Masih sakit?" tanyanya sambil sesekali meniup jemariku.

"Masih,"

"Oh ya. Kata Mama, kalau kulit kita terkena panas, sebaiknya disirap dengan air mengalir biar tidak melepuh. "Sini ikut aku."

Tanpa menunggu jawaban, Marsya menyeretku ke wastafel. Kemudian menyalakan keran air lalu meletakkan tanganku supaya kena aliran air. Aku hanya menurut saja seperti anak kecil.

Sesaat kami saling bersitatap. Deg.. kenapa aku jadi salah tingkah saat bertatapan dengan Marsya. Sial, tanganku mulai gatal ingin menyentuh kulitnya.

Tiba-tiba, entah keberanian dari mana, aku mengusap pipi Marsya dengan lembut. Di luar dugaan, Marsya justru menikmatinya. Lantas ia memejapkan mata. Aku semakin berani. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dan, hal yang belum pernah aku lakukan akhirnya aku lakukan.

Aku mencium bibir Marsya. Bibir tipis yang memesona. Tak disangka, Marsya membalas ciumanku. Agak lama aku melumat bibir Marsya.

Astaga, aku tersadar dan langsung menghentikan adegan sensual itu. Marsya terlihat kikuk begitu aku melepas ciumanku. Kami jadi salah tingkah.

"Hm.. Maaf…." Aku merasa malu. Lantas meninggalkan Marsya di dapur dengan sejuta rasa.

Dari apartemen, aku kembali ke kantor.

****

Esok harinya, sesuai janji aku mengantar Samuel ke makam Papa di Blitar. Sebelumnya, aku sudah pamit pada Marsya akan pergi ke luar kota. Segala keperluan sudah aku penuhi. Terserah dia mau apa.

Sepanjang perjalanan, kami tidak tegur sapa. Kemungkinan Samuel merasa canggung atau tidak enak hati melihat sikapku yang cuek terhadapnya.

Aku tidak dendam padanya, tetapi jika aku mengingat akan kejadian waktu itu, sungguh, kalau tidak ingat akan kebaikannya selama ini padaku, sungguh, sudah aku hajar habis-habisan ini orang. Lagi pula, aku bukanlahh tipikal pendendam semarah apapun aku pada seseorang.

Sebenarnya, aku kasihan sama Samuel. Dulu waktu kali pertama aku bertemu dengan Samuel, dia terlihat biasa aja seperti laki-laki pada umumnya. Tak tampak di dirinya kelainan apapun atau mungkin, Samuel pintar menyembunyikan sesuatu dariku, aku pun tak tahu. Yang jelas, kami bisa akrab karena kami cocok. Dia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri.

"Sekali lagi aku minta maaf atass kejadian malam itu, Ri. Aku khilaf karena pengaruh alkohol," ucap Samuel sembari menyetir.

"Sejak kapan kamu memiliki kelainan seksual?" tanpa basa basi aku langsung bertanya pada intinya.

Samuel menghela.sesekali ia melirikku, "Kamu tahu, saat bersamamu aku merasa nyaman begitu saja."

"Jawab dulu pertanyaanku!" tegasku.

"Aku sering dikhianati oleh orang yang kucintai." Samuel terdiap beberapa saat. "Aku juga sempat menikah. Tapi, beberapa bulan kemudian istriku kabur bersama selingkuhannya. Wanita keparat itu tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya mengincar hartaku."

"Lalu?"

"Saat aku sudah melupakannya dan mencoba untuk bangkit lalu. memulai lembaran baru dengan membuka hati." Samuel melanjutkan ceritanya sembari tetap fokus menyetir. Sesaat mobil berhenti ketika lampu merah menyala di perempatan jalan.

"Aku bertemu dengan seseorang yang membuatku jatuh cinta. Singkat cerita, aku hampir menikah dengan dia."

Lampu hijau kembali menyala. Di atas tiang rambu-rambu lalu lintas terdapat plakat penunjuk jalan. Blitar belok kanan. Samuel kemudian mengikuti arahakan. Ia membanting setir ke kanan. Mobil kembali melaju kencang.

"Kamu pasti bisa menebak endingnya seperti apa?"

"Calon istriku kabur bersama laki-laki lain, begitu?' tebakku.

"Ya, benar sekali." Samuel mendengus. "Wanita keparat itu kabur bersama pacarnya di saat pemberkatan."

"Apa? Jadi calon istrimu itu sudah punya pacar sebelum menjalin hubungan denganmu."

"Ya. Dan mereka kawin lari karena wanita itu tengah hamil."

Kulihat ekpreksi Samuel berubah. Ia tampak menahan emosi. Miris. Ternyat kisah hidupnya lebih tragis dibanding kisah hidupku. Tidak memiliki orangtua dan dikhianati orang yang dicintainya.

"Itulah alasan kenapa aku tidak menjalin hubungan dengan wanita. Karena wanita itu sama saja. Hanya bisa jadi benalu."

Aku menarik napas dalam-dalam. Mencoba memahami keadaan Samuel.

"Sekarang kamu tahu, kan, kenapa aku jadi seperti ini?"

Aku membisu. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Miris, kenapa kita memiliki nasib yang sama, disakiti oleh wanita yang kita cintai?

Aku jadi berpikir ulang mengenai perasaanku terhadap Marsya. Apa benar aku jatuh cinta padanya? Lalu cinta yang bagaimana? Ah, semua ini membuatku dilema. Aku tidak bisa mendeskripsikan arti cinta.

"Kita makan dulu, yuk. Aku lapar," ajak Samuel.

"Boleh."

Sekitar seratus meter di sisi kiri jalan raya, terdapat plakat bertuliskan 'rest area'.

Ketika sudah sampai di lokasi, Samuel memarkirkan mobilnya setelah itu aku dan Samuel turun dari mobil kemudian menuju tempat makan. Kami memilih nasi pecel.

****

Dua jam kemudian, kami sudah sampai di Blitar. Ketika sampai di rumah, kulihat Paman Santoso tengah memotong rumput di halaman rumah. Sementara Bi Ina menjemur pakaian.

"Den, Ari…" sambut Bi Ina menghampiriku saat keluar dari mobil. "loh, ada Cah Bagus juga."

Paman Santoso juga ikut menyambut kedatangan kita berdua. Satu persatu aku salami begitu.

"Bi Ina dan Paman Santoso, apa kabar? Lama ya tidak ketemu?" tegur Samuel.

"Iya Cah Bagus. Sudah lama tidak ketemu. Ayo, ayo silahkan masuk." Paman Santoso mempersilahkan untuk masuk ke rumah.

Paman santoso berjalan di depan menuju pintu utama. Aku, Samuel dan Bi Ina mengekor di belakang.

"Mama mana, Bi?" tanyaku.

"Nyonya baru saja pergi, Den."

"Kemana?"

"Katanya sih, mau ke Medan."

Pasti Mama sibuk dengan pekerjaannya. Aku mendengus kesal. Sudahlah, lupakan Mama. Tujuanku pulang bukan menemuinya melainkan mengantar Samuel untuk ziarah ke makam Papa. Hanya itu.

Aku, Marsya, dan Kejujuran

Suara nada dering ponsel membuatku terjaga. Kulihat di layar ponsel, tertera nomor dari apartemenku. Marsya?

"Halo," tegurku pelan.

"Kamu di mana? Semalam kenapa tidak pulang? Aku hubungi nomormu berkali-kali tapi tidak tidak aktif. Aku khawatir terjadi apa-apa," Marsya menyahut dari seberang sana.

"Aku ketiduran di kantor. Semalam lembur. Maaf, ponselku low bat dan aku lupa mengabarimu." Aku terpaksa berbohong kepada Marsya.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti pulang pukul berapa?"

"Jam makan siang aku usahakan pulang." Aku lalu mematikan telepon.

Setelah menerima telepon dari Marsya, aku membuka pintu mobil. Ternyata sudah pagi. Sepertinya semalam aku mabuk cukup parah hingga tak sadarkan diri dan tertidur di dalam mobil di tepian pantai. Aku keluar dari mobil menuju sebuah warung untuk memesan kopi, tetapi sebelumnya aku menumpang ke kamar mandi untuk mencuci muka. Marsya pasti mencemaskanku.

Aku merasa bersalah kepada Marsya karena membuatnya khawatir. Ah, ini semua gara-gara si Samuel berengsek itu.

Usai ngopi sekadar menyegarkan badan, aku segera pulang. Aku tak ingin membiarkan Marsya terus cemas dan berpikir semakin negatif tentangku. Aku memutuskan bahwa harus segera jujur tentang kondisi hidupku sesungguhnya.

***

"Sandi?" Marsya menyambutku hangat ketika berada di depan pintu. "Katanya pulang pas jam makan siang? Aku belum menyiapkan makanan buat kamu," lanjutnya.

Aku memeluknya. Entah kenapa itu harus aku lakukan. Padahal selama ini aku selalu menjaga sikap terhadapnya.

Saat melihat Marsya, hasratku terdorong untuk memeluknya. Tanpa sadar, mataku mulai berkaca-kaca. "Maaf karena aku sudah membuatmu khawatir. Pasti kamu menungguku semalaman."

"Tidak usah dipikirkan. Aku tidak apa-apa." Marsya melepaskan pelukanku.

Dia menatapku. Dia melihat air mataku terjatuh, lalu mengusapnya. "Kamu menangis?" tanyanya bingung.

"Sya ...." Aku menyentuh pipi Marsya yang halus dan terawat. "Ada sesuatu yang harus kamu tahu tentangku."

Entah mengapa suaraku tertahan di tenggorokan. Sulit sekali untuk mengatakan bahwa aku sayang kepadanya, sedangkan Marsya masih menungguku berbicara.

"Iya. Ada apa?" Marsya semakin dalam menatapku.

Aku melangkah menuju sofa. Marsya segera mengikuti. Kami duduk. Aku menyandarkan punggung pada kursi dan berpikir, apa benar semua harus aku ceritakan?

"Kamu sedang ada masalah apa, San?" tanya Marsya sungguh-sungguh.

Aku menatapnya. "Aku harap kamu tidak membenciku setelah tahu bagaimana aku sesungguhnya?"

"Tentang kamu pengguna narkoba?"

Aku terkejut. "Jadi, kamu sudah tahu kalau aku pengguna narkoba?"

Marsya mengangguk dan tersenyum."Itulah yang membuatku sering mencemaskanmu, San. Aku takut kamu celaka di jalan atau tertangkap polisi."

Aku memutar tubuh, menghadap Marsya sepenuhnya."Kenapa kamu tidak membenciku?"

"Tidak ada alasan untuk membenci orang yang telah menyelamatkan nyawaku," jelas Marsya.

Aku menarik napas sedikit lega. "Terima kasih, Marsya. Namun, ada satu lagi tentangku yang mungkin akan membuatmu benci terhadapku."

"Apa itu?"

"Aku dituduh sebagai gay. Dan, semua itu gara-gara si Samuel, pria yang tempo hari datang ke apartemen ini."

"Hanya dituduh atau memang kenyataannya kamu gay?" Marsya tetap menjawab tenang.

"Hanya tuduhan, Sya. Sumpah. Aku laki-laki normal yang setiap kali dekat denganmu berahiku naik. Hanya, aku selalu berhasil menahannya."

Marsya tersenyum. "Kenapa ditahan? Toh, aku juga belum tentu menolak. Kalaupun aku menolak, toh kamu pasti berhasil memaksaku."

Sial. Marsya justru menantangku. "Tidak, Sya."

Aku pun menceritakan semuanya. Tentang Samuel. Dari pertama kenal hingga terjadi peristiwa yang membuatku membencinya. Juga tentang fitnah dari Samuel yang tersebar di perusahaan. Andai di kantor aku tidak mempunyai jabatan, sudah pasti orang satu kantor mem-bully-ku.

Marsya mendengarkan dengan saksama. Tiba tiba tangannya menggenggam tanganku. Ada getaran halus mengalir dalam aliran tubuhku.

"Aku percaya kamu, San. Sebenarnya kamu orang baik, kamu orang yang mampu menjaga kehormatan wanita dan kehormatan diri sendiri."

"Terima kasih, Sya." Aku menatapnya dalam.

"Masih ada lagi yang ingin kamu ceritakan?" tanya Marsya.

Aku menarik napas dalam. Wajah Papa terbayang. Entah kenapa juga aku harus begitu terbuka kepada Marsya. Aku ceritakan semua tentang diriku. Tentang Mama, Papa dan tentang diriku yang pernah merasa benci kepada wanita. Berpikir bahwa wanita hanyalah benalu bagi laki-laki.

"Hingga aku bertemu denganmu dan pandanganku kepada perempuan berubah. Kamu benar-benar bisa mengubah pola pikirku."

Marsya meremas tanganku. Tiba-tiba dia memelukku. Hangat dan tenteram. "Lupakan semua. Jika kamu inginkan, aku akan selalu ada buatmu. Aku ..." ucapnya pelan.

"Aku apa?" tanyaku sambil mengusap-usap punggungnya.

"Nanti kamu akan tahu dan merasakannya," jawab Marsya sambil melepaskan pelukannya.

"Sebaiknya kamu makan dulu, terus istirahat. Pasti capek, 'kan?"

Aku tersenyum. Bahagia sekali hidup ini mendapatkan perhatian tulus dari seorang wanita.

Sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Marsya kalau aku butuh dia. Ah, sudahlah. Mungkin belum saatnya untuk mengatakannya. Marsya lalu mengajakku ke dalam.

"Kamu duduk saja di sini. Aku akan memasakkan makanan spesial buat kamu." Marsya mendorongku untuk duduk di sofa, tetapi aku tidak bisa diam saja.

"Makanan semalam bagaimana? Maafkan aku ya, kamu sudah capek-capek masak buat malkan malam kita tapi aku malah pergi."

"Sudahlah lupakan saja. Sekarang aku mau masak dulu ya. Kamu duduk duduk manis saja di situ."

"Mau aku bantu?"

"Memang kamu bisa masak?"

"Bisa, dong." Aku beranjak dari tempat duduk.

"Masak apa coba."

Aku menghampiri Marsya. Kudekatkan mulut di telinganya.

"Masak air," candaku setengah berbisik.

"Ah, kamu. Ya sudah, ayo kita ke dapur."

Sadar atau tidak, Marsya menyeretku dengan menggandeng lenganku menuju dapur.