webnovel

Penyihir Hijau – 9

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Kapal yang dimaksud ternyata sudah tersedia di sisi pantai dan tampak siap berlayar. Meski tidak terlihat begitu megah, namun cukup luas di mataku.

"Idris, ingat dulu kita sering naik kapal ini?" tanya Khidir yang serta merta menaikinya.

Idris terkekeh. "Tentu, hanya Kyara yang tampaknya tidak ingat."

Aku tercengang. "Setua apa kapal ini?"

"Tidak terlalu tua," jawab Khidir. "Benar, 'kan, Mariam?"

"Kenapa menanyaiku? Kalian yang bermain," balas Mariam.

Ketika masuk, tidak banyak barang yang bisa dilihat di sini. Hanya beberapa tong dan alat pembersih lantai. Tidak ada kru kapal. Tempat ini begitu kosong.

Khidir melepas genggaman lalu berjalan menuju bagian depan kapal. "Ke Nedai!"

Tepat ketika dia mengucapkan, kapal seketika berlayar. Terjadi guncangan kecil dan terdengar bunyi jangkar terangkat.

Aku yang terkejut nyaris oleng kalau saja tidak dipegang Idris. Belum pernah aku naik kapal, tapi ini telah menjadi pengalaman menarik selagi kami bersama di Aibarab.

Mariam lalu duduk di tempat yang disediakan. Aku, seperti biasa, langsung berjalan ke arahnya dan duduk di samping. Idris pun melakukan hal sama sehingga aku tampak terjepit di antara dua orang dewasa.

"Kalian tampak seperti keluarga kecil yang lucu!" Khidir tersenyum lalu kembali fokus memandang ke depan.

Aku melirik kedua orang di sampingku. Tidak ada yang bertatapan, tampak fokus memandang air laut.

Aku yakin, akulah yang membuat mereka diam.

Maka, aku berdiri lalu menyusul Khidir.

"Ke mana?" tanya Mariam.

"Jalan-jalan sebentar," jawabku, padahal niatmya hanya menjauh dan mencari tempat baru.

Ketika berdiri di sisi Khidir, aku dapat melihat pemandangan lautan lepas. Karena masih tidak terlalu jauh, kami melewati beberapa batu-batu besar menghias lautan.

Aku menatap gundukan batu besar di samping. Terlihat banyak gadis dengan punggung hingga kaki berupa ekor ikan menyapaku. Aku dengan canggung melambai, tidak tahu harus apa.

Kutatap Khidir. "Apa itu?"

"Itu putri duyung," jawab Khidir. "Mereka termasuk penjaga lautan."

"Apa ada lagi makhluk yang belum kutahu?" tanyaku.

"Sabar," balas Khidir. "Aku akan memberitahu jika kita melihat mereka."

Seketika, pertanyaan ini terlintas di kepalaku. "Kamu seorang raja, apa tidak masalah harus meninggalkan rakyatnya?"

Dia menjawab, "Zahra selalu siap setiap saat. Aku bisa berburu sementara dia memerintah. Ini sudah terjadi selama tujuh puluh tahun."

Tujuh puluh tahun? Jauh lebih lama dibandingkan yang kukira. Setahuku, para raja memerintah paling lama dua puluh tahun. Khidir bicara seakan ia sudah lebih lama memerintah. Aku mengamati wajah teduhnya. Ia tampak tenang sambil menikmati udara. Aku seakan melihat sisi Takeshi.

Terlintas di kepalaku, namanya. "Namamu Khidir, bukan?"

Dia membalas, "Ya. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku diberi nama seperti itu."

Aku tersipu. Dia sudah menebaknya.

"Khidir artinya hijau. Entah karena warna mata atau kekuatanku."

Aku jadi ingat dengan namaku. Kyara. Apa gerangan artinya? Aku bahkan tidak pernah memusingkan sebuah arti dibalik nama. Entah kenapa, dia yang membuatku penasaran setiap mendengar nama seseorang. Mariam, Hiwaga, Idris, Takeshi dan serangkaian nama yang bisa kuingat.

Menyadari banyak hal yang bisa kutanya padanya, aku langsung bertanya soal kalungku.

"Lalu, apa kalungku ini?" tanyaku.

Khidir mengamati kalungku. "Ini kalung dari Shan."

Aku jadi teringat dengan negeri di atas awan itu. "Shan? Tahu dari mana?"

"Aku dibesarkan di Shan," bisik Khidir. Entah bicara padaku, atau justru bicara sendiri. "Negeri itu runtuh ketika aku dan Idris menaklukkan sebuah negeri. Kami selamat, namun mayat yang berjatuhan menambah kesan kelam pasca perang."

Aku menunduk. Membayangkan Khidir yang menyaksikan mayat berjatuhan dari langit, bergabung dengan mayat prajurit perang.

Tak disangka, para putri duyung berduyun-duyun berenang di sisi kapal. Kudengar suara mereka bagaikan nyanyian indah. Khidir tersenyum saat mereka menyeru menyeru namanya. Mereka seperti penggemar pria itu.

Sisik mereka berkilau di bawah terpaan sinar mentari bagai permata, disertai warna yang memanjakan mata. Aku ikut terpana menyaksikan mereka berenang, meski tatapan mereka tertuju pada Khidir.

Khidir akhirnya biacara lagi, "Kyara, lihat pulau itu!" Dia menunjuk ke bayangan pulau di samping kiriku.

Entah kenapa, pulau itu tampak aneh. Tanahnya saja berwarna kecokelatan dan tampak licin. Bahkan pulaunya tampak bergoyang. Biasanya pulau akan tahan terhadap ombak.

"Tunggu." Khidir memegang bahuku, seakan menahanku untuk kabur.

Para putri duyung mendekati pulau itu. Seketika, muncul sosok makhluk berwajah menyeramkan memiliki punggung yang kukira pulau. Makhluk itu lalu berenang ke dasar lautan. Kini, pulau itu lenyap tanpa bekas. Anehnya, para putri duyung justru terkikik.

"Itu penyu raksasa," tuturnya. "Mereka memiliki tempurung yang bisa dijadikan sebagai pulau. Gunanya menjebak mangsa yang ceroboh. Padahal sudah jelas mana pulau asli dengan tempurung penyu"

Aku belum pernah melihat penyu. Namun, aku ingin itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami. Wajahnya sungguh mengerikan. Tidak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika kami beristirahat di sana lalu tenggelam di perut makhluk itu.

Khidir melanjutkan. "Ia keturunan terakhir dari jenisnya. Umurnya sudah lebih dari seribu tahun. Barangkali, akan mati beberapa tahun lagi."

Aku ngeri membayangkan wajah menyeramkan itu menerkamku ketika mandi.

Khidir tersenyum geli. "Kenapa takut?"

Aku menatap mata hijaunya. Entah kenapa, aku merasakan ketenangan. Seperti ketika menatap wajah Takeshi.

"Beberapa jam lagi, kita sampai," ujar Khidir. "Dan ingat, jangan jauh dari kami!"

Aku mendengar dan patuh.

Kulirik ke belakang, mencari Mariam dan Idris. Tapi, keduanya sudah menghilang entah ke mana.

"Ke mana Mariam? Mana Idris?" tanyaku spontan.

Kudengar Khidir tertawa kecil. "Barangkali berkencan, atau urusan orang dewasa."

Aku cemberut hingga pipi mengembung. Meski berusia dua belas, aku paham maksudnya. Tapi, daripada melanjutkan debat, akan kutanya lagi soal masa lalu mereka.

"Khidid, boleh ceritakan bagaimana kalian berteman?" tanyaku yang merujuk pada pertemuannya dengan Mariam dan Idris. Ketiganya tampak sudah lama mengenal. Buktinya, mereka dengan santai menyebut Khidir bahkan saat menceritakannya kepada orang lain.

Khidir memandang lautan lepas. "Aku dulu dibesarkan di Shan sebagai penyihir hutan. Tugasku tidak lain hanya menjaga agar hutan tetap asri, meski sedikit merepotkan.

"Idris dulunya pangeran dari Shan, nama aslinya tidak lain adalah Adam el-Khalifa. Ia memiliki saudara tiri yang kini kita kenal sebagai Count Wynter. Ketika hubungan keluarganya merenggang, dia mendatangiku sebagai pelarian.

"Kami berencana berkeliling di wilayah baru di bawah Shan nanti. Tetapi, seorang penyihir mendatangkan masalah dan meruntuhkan Shan."

"Kalian tidak ada waktu Shan runtuh?" tanyaku.

"Saat itu kami tengah menjelajahi wilayah baru," ujar Khidir. "Kukira pelakunya adalah Mariam. Nyatanya, itu ibunya, Hiwaga. Maksudku, bagaimana mungkin seorang anak berusia sepuluh tahun berpikir sejauh itu?"

Tunggu, jadi Hiwaga tidak sekadar nama samaran Mariam?

Khidir rupanya membaca wajahku. "Mariam memakai nama ibunya yang bertanggungjawab atas kehancuran Shan. Beberapa penyihir malah mengincarnya alih-alih ibunya yang telah tiada. Aku juga tidak tahu motifnya menggunakan nama itu."

"Tapi, Mariam bilang dia sekeluarga selamat," protesku yang pelupa.

"Tidak lama setelahnya, Hiwaga meninggal. Mariam lalu menyamar menjadi ibunya–penampilan mereka sangat mirip–dan berkelana untuk membunuh sihir jahat sesuai wasiat beliau segera setelah Hiwaga meninggal."

Jadi begitu? Mariam selama ini tidak bercerita tentang alasannya berkelana. Aku menahannya untuk nanti, itu pertanyaan rumit bagiku.

Khidir melanjutkan, "Mariam menemui kami dan menceritakan kemalangannya. Kami semua memiliki tujuan sama, memusnahkan sihir hitam yang menyebabkan runtuhnya Shan sebagai pembalasan."

Aku termenung mendengarnya. "Jadi, niat kalian juga ingin memusnahkan sihir?"

Dia tidak menjawab. Malah mengatakan sesuatu yang belum kupahami saat itu.

"Kamu sudah belajar dasarnya dari Mariam, menolong Idris dan aku melihat potensi darimu. Dari matamu, aku tahu suatu saat kauakan membawa kemenangan bagi kami."

Aku menjerit girang dalam hati. Berusaha menahan diri agar tidak mempermalukan diri di hadapannya. Meski harapanku melambung tinggi, batinku seakan menolak. Firasatku buruk, entah kenapa. Seakan ada sesuatu yang siap menerkamku suatu saat.

Khidir memandang lautan dengan mata hijaunya. Barulah aku sadar, ia memiliki ciri khas desaku, Desa Anba. Menyadari dirinya dipandang, ia melempar senyum padaku. Aku membalasnya lalu pamit ke kamar.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵