webnovel

Penyihir Hijau – 10

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Ketika berjalan ke kamar, aku menemukan sebuah ruangan yang menarik. Rupanya ada ruangan lain dalam kapal. Berupa tempat disebut 'planetarium' yang dipenuhi beragam tanaman indah disertai bau segar.

Tanpa disadari, aku malah berjalan ria mengelilingi tempat indah ini. Tanaman anggrek merambat di atasku, bunga mawar menyapa, bahkan tanaman yang tidak kukenal tidak mau kalah dan membuatku kian betah.

Semakin yakin aku kalau kapal ini memang diperuntukan bagi ketiga pelindungku dan sudah layak menjadi tempat menongkrong mereka nanti di hari tua.

Aku pun kembali mencari Khidir untuk menjelaskan soal planetarium itu. Tanpa sadar, hampir menyeretnya.

Kutunjuk plantetarium itu.

"Kamu suka?" tanya Khidir yang berdiri membelakangiku. "Jangan sentuh semuanya, ya."

Aku mengangguk. "Kamu dan Idris punya hobi yang sama."

"Lebih tepatnya, aku yang menyuruh Idris merawat tanaman langka agar tidak lekas punah akibat makhluk berakal." Jelas ucapannya tidak hanya merujuk pada manusia sepertiku.

Aku jadi iba. Apa kami, makhluk berakal, hanya bisa memakan dan merusak? Kadang, aku merasa bodoh karena melupakan fakta memilukan ini. Dengan jumlah sebanyak ini kami seharusnya bisa menjaga bumi. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

"Ada beberapa yang beracun." Khidir mengingatkan. "Jangan sentuh!"

Aku mengangguk patuh. Kembali menikmati keindahan tumbuhan itu tanpa menyentuhnya.

Khidir menggerakkan jemari. Tumbuh tanaman baru. Ia menciptakan mahkota bunga lalu memasangnya kepadaku.

Sambil memasang mahkota bunga, Khidir berkata. "Jika suatu saat kutemukan tanaman baru, kuberi nama 'Kyara.'"

Aku tersenyum. "Kenapa tidak nama kalian?"

"Namaku sudah banyak dipakai di negeri ini. Lagi pula, namaku mencakup seluruh tumbuhan."

Setelah memasangnya, aku berjalan menyusuri planetarium itu. Penampilanku yang serba hijau membuatku tampak menyatu dengan alam. Sama halnya dengan mata Khidir yang senantiasa menjagaku. Ia dengan sabar menjawab setiap pertanyaan dariku. Terutama tentang bunga yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Kini, aku penasaran bagaimana bentuk tanaman yang akan diberi nama yang sama sepertiku. Aku jadi tidak sabar melihatnya.

***

Di malam hari, aku ditinggalkan seorang diri di dalam kamar. Diam-diam mencoba mendengarkan suara dari mereka yang tampaknya mencoba berbisik selagi kapal ini masih berlayar menuju tempat asing itu.

Tidak sengaja, kudengar percakapan antara mereka bertiga dari seberang sana.

"Setelah kita berkumpul, lalu apa?" tanya Mariam. "Apa hanya sekadar membangkitkan Shan kembali? Masa iya kita kembali ke awal yang jelas akan mengulang sejarah lagi. Lalu, siapa yang akan mendidik Putri dan Pangeran menjadi pemimpin Shan kelak? Keduanya telanjur memiliki pola pikir rakyat jelata."

Ucapan Mariam menusuk tapi ada benarnya. Aku bahkan tidak mengerti tata cara makan layaknya para bangsawan kalau tidak melihatnya dari bangsawan murni pula. Tapi, perkataan Mariam membuatku penasaran. Dari mana dia tahu soal Pangeran? Siapa gerangan dia? Apa hubungannya denganku?

"Mereka bisa belajar," balas Idris. "Kita akan mengajari dengan perlahan. Keduanya hanya perlu tahu siapa kita dan tujuan kelahiran kembali itu. Kita tidak bisa mengulur waktu apalagi memutar kembali."

"Kalau begitu, sebaiknya diberitahu sekarang," balas Mariam. "Hei, kalian walinya, bukan? Katakan semuanya!"

"Nanti, Mariam, nanti." Kudengar suara Khidir, tidak ada perubahan nada seakan dia tidak menanggapinya dengan serius. Tapi di sisi lain terderngar lebih sensitif dibandingkan respons dari sahabatnya tadi. "Kalau mereka bertanya, jawab saja. Toh, mereka anak yang penasaran, pasti akan banyak tanya kalau lihat apa-apa."

Entah kenapa, ucapan tadi membuatku sedikit tersinggung. Aku memang tidak tahu menahu, tapi tidak juga banyak tanya. Aku tidak secerdas yang mungkin mereka bayangkan. Akan tetapi lagi, aku kurang bisa membedakan apakah Khidir tadi mengejek atau tidak.

"Sebaiknya kita jelaskan tentang Shan terlebih dahulu," ujar Idris. "Lalu tentang Guardians. Sampai di situ saja sudah cukup."

"Oh, jangan lupakan kenapa kita harus berkumpul kembali, bagaimanapun caranya," timpal Khidir. "Kita sudah tahu siapa dan siapa. Tinggal menunggu. Mariam, sudah siap?"

"Sudah," kata Mariam. "Tambahan dariku, Kyara jelas paham konsep kerajaannya. Sekarang, dia mungkin ingin lebih tahu tentang kalian, para walinya."

"Khidir." Hanya itu yang kudengar dari Idris. Sepertinya dia tidak menemukan rangkaian kata yang tepat.

"Beritahu dia kekuatan atau nama kalian di Shan," kata Khidir. "Misalnya, aku sebagai Libra dan Idris sebagai Leo. Sementara kamu, Mariam, menjadi ..."

"Virgo." Mariam menjawab untuknya.

"Ya, Virgo." Khidir mengulang.

Aku terdiam, memikirkan kenapa mereka menggunakan konsep zodiak sebagai nama di Shan. Apa benar semua ini direncakan? Atau nama-nama itu hanyalah kode seperti nama samaran? Ya, aku yakin tebakan kedua lebih masuk akal.

"Jumlah kita sekarang ada tiga belas," kata Khidir lagi. "Mariam yang sebenarnya terpilih, bukan Hiwaga. Benar?"

"Kurasa begitu," kata Mariam.

"Apa itu artinya ..." Idris terdengar ragu. "Aku dinikahkan dengan seseorang sebelumnya, dia juga hendak bergabung."

Kudengar tawa kecil dari Khidir. "Wah, wah, sepertinya sudah jelas."

Kudengar Idris membisikan nama Mariam dengan lirih.

Mariam hanya membalas dengan singkat. "Ya. Sudah, begitu saja."

Hanya dengan itu, suasana kembali hening.

***

Pemandangan pertama yang kulihat keesokan paginya tidak lain dan tidak bukan adalah Mariam yang terlelap dengan dengkuran seperti biasa. Dia tampak begitu damai dalam lelapnya. Aku kembali teringat dengan Ibu yang biasa mendengkur. Perasaan aneh muncul di kalbu mengingatnya.

"Bocah, sudah bangun?" tanya Mariam tiba-tiba. Dia masih terlihat mengantuk meski jelas mulutnya menunjukkan kebalikan.

"Sudah," jawabku sedikit malas. "Pagi."

"Pagi." Mariam langsung duduk dan memandangiku dengan wajah yang tampak mengantuk. "Kamu menguping?"

Jantungku terasa berhenti berdetak kala mendengar ucapan itu.

"Tidak sengaja," jawabku, sedikit takut. "Habis, suara kalian menarik perhatian."

Mariam menatapku, hanya bersuara sekali dan itu pun terdengar curiga alih-alih percaya.

"Kyara sudah belajar memata-matai," ujar Mariam dengan wajah juteknya. "Tapi untungnya masih menghargai kejujuran."

"Tidak ada gunanya berbohong dengan kalian," sahutku. "Kalian sendiri juga jarang bercerita tentang siapa aku dan hubungan kita sesunguhnya."

Mariam termenung. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu. "Ayo, sarapan."

Aku tidak mau ambil pusing, lantas bergegas mengekorinya.

Kulihat kedua pria itu sudah duduk dan menyantap sarapan mereka berupa ikan yang dibakar, entah dari mana apinya.

Khidir yang pertama kali menyapaku, barulah sahabatnya.

Aku tentu saja balas sapaan mereka lalu duduk dam mencoba menikmati sarapanku.

"Kyara benar menguping kita semalam," lapor Mariam yang sontak membuat acara makanku terganggu. Aku tidak bisa protes pula karena tidak punya cukup alasan untuk melawan.

"Anak ini sudah berkembang di luar dugaanku," ujar Mariam meski nada bicaranya terdengar sarkastik. "Sekarang tugas kalian memberitahunya sebelum dia mulai ragu."

Ragu? Untuk apa aku meragukan mereka?

Kutatap mereka bertiga. Entah kenapa, bibirku bergerak mengucapkan ini.

"Kenapa Shan harus dibangun kembali?"

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵