webnovel

Penyihir Hijau – 8

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku terbangun di sebuah kasur sambil diselimuti.

Menghela napas, aku pun duduk.

Terdengar bunyi orang berdecak.

Ketika menoleh, aku sudah menebak.

"Mariam?"

Dia mengurai rambut, sedang duduk di sisi kasur dan membelakangiku. "Bagaimana pengalamanmu di harem?"

"Seru!"

Mariam menatapku, entah kenapa ekspresinya tampak aneh. "Kamu tahu harem itu apa?"

"Tempat istirahat?" tebakku.

Mariam menatapku tajam, bibirnya bergetar seakan mencoba mengatakan sesuatu. Dia seolah bimbang hendak memberitahu atau tidak.

"Kamu kenapa?" tanyaku.

Mariam mendengkus. "Sudahlah. Khidir terkejut melihatmu tertidur di sana. Kamu kira itu tempat untuk anak-anak?"

"Mereka tidak menegurku." Aku membela diri. "Memangnya ada apa? Kami cuma bermain dan makan."

"Untung mereka tidak memberimu minuman beracun itu!" Terdengar gumaman Mariam.

"Racun?" Aku jelas heran. "Benarkah? Memangnya ada yang jahat di istana ini?"

"Duh, kamu ini!" Mariam menggeram pelan, seolah tidak tahan denganku. "Bukan begitu maksudku!"

"Lalu apa?" Aku benar-benar bingung. Ada apa sebenarnya?

"Sudahlah." Mariam berdiri lalu mengikat rambutnya. "Ayo, sarapan."

Aku pun mengekori Mariam menuju tempat makan.

Bertahun-tahun berlalu, akhirnya aku paham kalau yang Mariam maksud "minuman beracun" itu tidak lain adalah minuman yang memabukkan.

Kami tiba lagi di ruang makan khusus. Aku menyebutnya demikian karena jelas hanya ada kami berempat yang tampak masuk ke sini sementara di saat lain tempat ini menjadi kosong melopong.

Kulihat dua pria sedang duduk berhadapan di meja yang sama sementara aku tampaknya akan duduk menghadap Mariam. Aneh, sekarang konsep duduknya terpisah padahal sebelumnya berupa meja bundar besar.

Aku tatap kedua pria tadi.

Khidir menghentikan obrolannya lalu menoleh padaku, tersenyum. "Bagaimana pengalamanmu di harem?"

"Sudah, jangan dibahas!" Idris tampak hendak menegur tapi kehabisan kata-kata. Dia tampak tidak berdaya melawan temannya itu, atau barangkali sudah tapi tidak digubris.

"Kukira kepergian kita tidak bakal lama sampai-sampai membuatnya bosan," ujar Khidir. Dia menatap Idris, kembali dengan senyum khasnya. "Bagaimana kalau kita habiskan hari ini saja bermain dengannya?"

Mariam bersedekap. "Tentu saja tidak masalah. Toh, bocah ini saking mudahnya bosan sampai berani masuk ke ruang manapun. Takutnya hilang di antara portal."

"Itu tidak akan terjadi," balas Khidir. "Karena, tentu saja, semua butuh mantra."

Aku yakin tempat yang dimaksud menyimpan portal itu tidak lain adalah perpustakaan.

Akhirnya, aku memberanikan diri menyampaikan kehendak.

"Aku ingin tahu maksud Pemburu Sihir ini," ujarku. "Apa cuma kalian? Atau ini pekerjaan umum?"

"Kami adalah Guardian Shan, tugas kami menjaga keluarga kerajaan Shan," jelas Khidir. "Tidak kurang, tidak lebih."

"Lalu, ada apa dengan Pemburu Sihir?" tanyaku.

"Duduk dulu!" Mariam menuntunku ke kursi lalu duduk menghadapku. "Kami memburu sihir yang mengancam bagimu. Itu sebutan lain bagi kami."

"Kami?" Aku membeo. Tidak sengaja, kalimat itu keluar dari mulutku. "Kenapa kalungku tidak bercahaya padamu, Mariam?"

Hening sejenak.

Kulirik mereka satu per satu. Tidak ada yang menunjukkan ekspresi marah atau tersinggung. Mereka hanya menatapku.

Beberapa saat berlalu, Mariam lagi yang menjawab.

"Ibuku termasuk bagian dari Guardian Shan, tetapi kalungmu tidak mengakuinya," ujar Mariam.

"Sungguh?" Aku yang tidak tahu menahu jelas bingung. "Lalu, apa syarat agar kalungku bercahaya?"

Mariam menatap kalungku yang bersinar. "Menunggu."

Meski tidak paham sepenuhnya, aku tetap mengiakan.

Tak lama, seorang pelayan datang membawakan beragam makanan meski untuk meja sekecil ini.

Aku makan dengan lahap, tapi tidak sampai kekeyangan. Sepanjang hidangan, tidak ada yang bicara karena itu adab yang diajarkan.

Ketika kami selesai makan, aku melihat kembali ketiga orang dewasa di depanku, tampak polos dan menunggu keputusan berikutnya. Tidak lupa memasang wajah tidak tahu menahu.

"Kalian tidak mau jalan-jalan hari ini?" tanya Khidir kepada dua temannya.

"Terserah darimu," balas Mariam. "Asal kamu traktir kami."

Khidir terkekeh. "Aku ingin mengajak kalian berkunjung ke Laut Nedai tempat Kakek tinggal."

"Kamu yakin dia masih di sana?"

Pertanyaan dari Idris membuatku heran. Apa yang terjadi padanya? Kenapa kakek mereka tinggal di laut? Jangan-jangan ...

"Kuharap Kakek sudah kembali," ujar Khidir. "Karena sungguh kita membutuhkannya."

"Apa pesannya sebelum pergi?" tanya Mariam. "Siapa tahu cukup membantu."

"Seperti biasa," jawab Khidir. "Ia berpesan agar kita saling menjaga diri."

"Hanya itu?" tanya Mariam.

Khidir membalas, "Hanya itu."

Aku amati kalungku. Meski terangnya tidak menganggu saat di ruangan seperti ini, tetap saja aku ragu apakah aman memamerkannya daripada disembunyikan terus. Melihat ini jelas menghias leherku dengan cantik.

"Masih ada jalan menuju sana?" tanya Idris.

"Masih." Khidir kembali mengulang kalimatnya tadi. "Baik, berarti tujuan kita hari ini hanya sekadar berkunjung ke Nedai."

"Kalau perlu, cari bantuan di sana," saran Mariam. "Mereka kerabat kakek kalian, bukan?"

"Meski kerabat ..." Idris menggantung kalimatnya. Tampak hendak menyanggah tetapi tidak punya argumen atau barangkali punya tapi lebih memilih diam.

Khidir mengalihkan topik. "Mari ke sana!"

Tanganku langsung digenggam oleh Khidir dan dia menuntun kami ke perpustakaan yang belum pernah kusentuh sebelumnya.

Di antara buku-buku yang tersusun, dari yang tebal hingga tipis, semua tampak masih baru terlihat dari kertasnya. Jelas mereka menjaga kualitas bahan bacaan di sini sehingga enak dibaca sewaktu-waktu. Di antara rak yang berjejer pula, tampak tangga dan pintu menghias sehingga menambah kesan jika ini bisa jadi penginapan sekaligus jika memang benar.

"Masih ingat pintunya yang mana?" tanya Idris kepada Khidir.

"Masih," jawab temannya. "Nedai punya banyak akses bagi beberapa orang. Sayangnya, portal menuju Shan telah hancur bertahun-tahun yang lalu."

Mereka keluar masuk Shan lewat portal? Kukira turun perlahan dengan selendang layaknya para bidadari. Ah, mungkin beda bagi beberapa orang.

Kami berdiri depan pintu setinggi dua meter. Cukup dengan berdiri saja, pintu itu terbuka sendiri seakan hanya mengizinkan beberapa orang saja untuk memasukinya.

Di depan kami kini disambut angin berembus pelan, disertai pemandangan pasir putih dan lautan biru dengan bau segar penenang jiwa.

Sama seperti ketiga pelindungku, aku mengenakan sepatu selutut yang cukup berat tapi melindungi kaki dari pasir yang lengket.

Ketika melangkah, aku menggandeng Khidir karena dia yang posisinya paling dekat denganku sementara Mariam dan Idris menyusul di belakang.

"Di setiap akses menuju Nedai, pasti ada kapal yang bersedia menampung kita," ujar Khidir entah bicara pada siapa atau barangkali mencoba mengingatkan dirinya sendiri. "Tanpa pengemudi, tentunya. Aku pernah berlayar sebentar bersama Zahra beberapa tahun lalu. Kami belum pernah melihat nakhodanya."

"Kalian tidak memberinya makan atau apa?" tanya Mariam. Sama sepertiku, bingung dengan nakhodanya.

"Zahra bisa melihatnya, tapi kata putriku, dia tidak mau ditawari makan bersama," jawab Khidir. "Bisa dibilang, ia adalah jin. Barangkali punya kontrak dengan Kakek."

"Jadi, ada berapa jin yang berteman denganmu?" tanya Mariam. "Setelah perdamaian antara Aibarab dan Zabuz, harusnya semua jin juga tunduk padamu."

Khidir terus melangkah menuju sebelah barat pantai, tapi dia tetap menjawab pertanyaan dari Mariam. "Setiap jin berasal dari kerajaan berbeda. Aku hanya menjalin hubungan dengan satu kerajaan, yaitu Zabuz. Sementara kerajaan yang kamu maksud jauh lebih banyak dibandingkan seluruh kerajaan di Dunya yang luas ini."

Dunya itu nama dunia kami dan aku saja sampai sekarang tidak tahu persis sebanyak dan seluas apa setiap kerajaan di dunia tempatku berada.

"Tidak semua jin mau menampakkan diri, meski kamu punya mata batin sekalipun." Idris menambahkan. "Kakek pernah menjelaskan, tapi beliau bisa dibilang bisa melihat jin meski makhluk itu tidak mengizinkan."

"Apa dia juga sesama jin?" Pertanyaanku tidak juga dijawab meski sudah beberapa saat berlalu.

Khidir terus menggandengku, tapi tidak membalas. Lalu kedua orang di belakang juga. Mereka seperti tidak tahu atau malah tidak mau memberitahu.

Maka, aku memutuskan untuk tutup mulut meski penasaran.

Suatu saat, aku akan mengetahuinya.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵