webnovel

Misteri Negeri Awan – 1

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

"Ah, sepertinya pertanyaanmu terlalu jauh," ujar Mariam.

"Oh, tidak, tidak," sanggah Khidir. "Biar kucoba jelaskan sesuai nalarnya."

"Silakan." Mariam kembali menyantap sarapannya.

Khidir menatapku. "Begini, Shan dibangun atas dasar ikatan kuat antara kami dan keluargamu dulu."

"Maksudmu persahabatan?" tanyaku polos.

"Anggap saja begitu," jawab Khidir. "Alasan Shan akan dibangun kembali juga tidak begitu rumit dan setelahnya, kita akan hidup damai bersama selamanya."

"Maksudmu kita akan membangun kembali Shan agar bisa bermain bersama lagi?" tanyaku.

Tidak ada balasan darinya melainkan senyuman.

Aku menggaruk rambutku yang hijau. "Terdengar seru. Baiklah."

Kulihat Khidir tersenyum penuh kemenangan ke arah kedua temannya, reaksi mereka tampak antara tidak percaya dengan kebingungan.

Tidak mau ambil pusing, aku kembali menyantap sarapanku.

***

Beberapa waktu berlalu, akhirnya kapal ini berlabuh setelah empat hari berlayar.

Tempat yang dimaksud tidak tampak seseram yang kubayangkan. Kami hanya berhenti di tengah lautan.

"Ini Nedai?" tanyaku.

"Belum," jawab Idris. "Kita tunggu kedatangannya dulu untuk ke sana."

"Siapa?"

Tepat ketika kutanyakan, lautan perlahan menampakan gelembung besar menyeruak dari dasar laut, tampak seakan mendidih. Begitu berhenti, muncul seorang pria berambut hitam berkulit sawo matang muncul ke permukaan.

Pakaiannya terdiri dari baju zirah berwarna keperakan serta matanya yang sebiru lautan menambah kesan gagah darinya.

Pria itu menghentakkan kaki hingga air semakin meninggi, membantunya naik ke kapal.

"Pagi, Damar!" sapa Khidir seakan telah lama tidak berjumpa dengan teman lama.

"Pagi," jawab pria yang dipanggil Damar itu. Dia menatapku. "Ini dia?"

"Ya." Khidir merangkulku. "Sedikit lebih cepat dari rencana, tapi ini bagus, bukan?"

Damar mengiakan. "Dia belum siap menunjukkan diri."

"Maksud?" tanya Mariam.

"Kakek belum siap?" beo Idris. "Ada apa?"

Damar kemudian melangkah lalu duduk di kursi yang disediakan. "Begitu dia bangun, banyak hal yang tampak mengejutkan baginya. Kami harus terus merawatnya hingga waktu itu tiba."

"Sayang sekali," komentar Khidir. "Sampaikan saja salam kami kepada Kakek."

"Tentu," balas Damar. "Dia pasti merindukan kalian. Tapi, dia sendiri belum siap dengan semua ini."

Aku mengerutkan kening. Semua terdengar janggal sekarang.

"Kalau begitu, kalian pulanglah," ujar Damar yang serta merta berdiri dan pergi. "Aku meminta maaf sudah merepotkan meski kalian sendiri tidak memberi kabar terlebih dahulu."

"Terserah," balas Mariam ketus. "Secepatnya kasih kabar kalau ada yang baru."

"Ya."

Hanya dengan begitu, Damar melompat kembali ke laut. Dari situ saja terakhir aku menemuinya sebelum takdir mempertemukan jika waktu yang ditentukan telah tiba.

"Yah, tidak jadi, deh." Khidir berpaling dan menjauh, tampak hendak menyendiri. "Kita pulang atau kalian ada rencana liburan di lain tempat?"

"Aku ingin kembali," ujar Mariam sambil bersedekap.

Khidir menatap Idris. "Kalau kamu?"

"Aku akan memulangkan kedua anakku kembali ke Kikiro," jawab Idris. "Selagi kamu urus Putri, aku akan kembali ke tempatku."

"Mariam?" tanyaku.

"Sudah kubilang, aku akan pulang," jawab Mariam.

"Ke mana?" tanyaku.

"Ke rumah."

***

Hanya sedang itu, percakapan mereka berhasil dan di sinilah aku, berdiri dalam diam memandangi taman istana yang dienuhi tumbuhan indah.

Mariam dan Idris pamit begitu saja. Sebatas mengucapkan kata perpisahan biasa sebelum akhirnya pergi meninggalkanku di sini. Padahal aku ingin mereka tinggal lebih lama. Karena belum terbiasa menetap di istana, apalagi bersama orang-orang yang baru dijumpai beberapa hari lamanya.

Aku ingat beberapa jam lalu ketika mereka hendak pamit.

Idris berdiri di depan, menepuk bahuku dan tersenyum. "Jaga diri."

Aku mendengar dan patuh.

Khidir menyerahkan sebuah pot kecil berisi pucuk berwarna kebiruan kepada sahabatnya. "Tanaman baru. Jaga, ya."

Idris menerima dan hanya mengiakan tanpa berucap banyak.

"Kyara jaga diri." Mariam ikut menepuk bahuku dan pergi tanpa menunggu respons.

"Mariam!" seruku sambil melambaikan tangan, berusaha agar dia menatapku sekali ini saja. "Dadah! Hati-hati!"

Namun, Mariam terus melangkah hingga bayangannya lenyap di antara rakyat Aibarab yang sibuk.

Idris mengelus rambutku yang masih berwarna hitam. Hanya dengan itu, dia juga pergi beserta pot kecil dengan nama tanaman yang belum kutahu namanya.

Setelahnya, aku tidak ingat banyak selain seorang pelayan langsung membawaku ke taman istana dan berpesan kalau ada yang aku inginkan, cukup menyeru kata "pelayan" saja.

Dan di sinilah aku, tidak tahu harus berbuat apa selain merenung.

Membayangkan hari-hari sebelum waktuku tiba di Aibarab sebagai Putri Shan yang terakhir. Ketika masih dilanda kebingungan dan takut. Saat itulah Mariam berjuang melindungi hingga aku tiba di Kikiro dan bertemu dengan Idris.

Mengingat itu semua, terasa sangat singkat seakan baru saja terjadi kemarin. Sekarang, aku bingung apa yang harus kulakukan.

Aku seorang putri dari kerajaan Shan yang telah runtuh. Lantas, apa yang kupimpin dari negeri kosong?

Ketika hendak bertanya banyak pada Khidir, aku tidak menemukannya bahkan di ruang takhta sekalipun. Barangkali dia sibuk, tapi ke mana sebenarnya?

Saat kurenungkan kembali Shan, aku tidak sepenuhnya menginggat semua itu. Bagaimana caranya agar aku bisa ingat? Ini yang ingin kutanyakan sejak tadi tapi entah apa yang membuatku seketika lupa saat berhadapan langsung dengan satu di antara mereka.

Aku amati kalungku yang kini menjadi kalung biru biasa dengan nilai jual lumayan. Tidak ada sinar yang terpancar kecuali jika para Guardians mendekat. Lantas, jika kalungnya terlepas dan jatuh ke tangan orang lain, apa pelindungku yang belum tahu bisa tertipu?

Ini pertanyaan mendasar tapi aku menjadi pening karenanya.

Kembali aku menyusuri taman istana kembali. Siapa tahu bisa menemukan inspirasi. Meski sudah menjelajah selama beberapa kali, tidak juga menemukan ide sama sekali.

Bunga-bunga di taman istana memang sebagian sudah kulihat sebelumnya. Tapi, sayangnya belum kutemukan tumbuhan yang cukup aneh. Kukira pihak kerajaan menyimpan tanaman langka entah untuk diteliti atau sekadar menjadi hiasan. Apa taman ini sebenarnya sebagian dari kebun Idris alias Takeshi? Mungkin saja.

Lantas, untuk apa semua tanaman ini?

Saat itulah, kudengar bunyi gemerisik dari balik semak.

Begitu aku intip, terlihat sosok berbulu lebay melotot ke arahku.

"Kyaaa!" Aku tersentak hingga terjengkang.

Makhluk itu refleks menarik tanganku agar tidak jatuh.

Tunggu, dia tidak berbulu.

Yang kulihat itu hanya rambutnya yang memang diurai saat ini. Warnanya biru safir dan memiliki kulit sawo matang serta mata kuning.

"Safir?" heranku. "Kenapa di sini?"

"Harusnya aku yang bertanya." Dengan enteng dia melepasku dan tampak mencari sesuatu di taman ini. "Duh, mana barangnya?"

"Apa yang kaucari?" tanyaku.

"Tanamannya, Khidir lupa memberi satu lagi untuk Idris," ujar Safir sambil mengamati sekitar. Tidak tanggung, dia bahkan menengok ke sela semak hingga akhirnya ... "Ya! Ketemu!"

Kali ini dia menggenggam sebuah pot kecil seukuran kepalan tangan. Belum lagi hanya terdiri dari pucuk kecil berwarna putih layaknya melati.

"Tanaman apa itu?" tanyaku. Dari warna hingga batang semua putih dan bentuknya laksana ekor binatang.

"Mana kutahu," sahut Safir. "Oi, jangan injak sembarangan!"

"Eh?" Aku refleks mengangkat kaki dan menatap ke bawah. Hanya ada rumput. "Apanya?"

"Hampir saja kamu menginjak tanaman langka," tegur Safir.

"Apa bedanya dengan tanaman lain? Semua yang di sini tampak biasa saja," keluhku. Jujur saja, aku bahkan tidak bisa membedakan atau setidaknya tahu nama jenis tumbuhan di sini.

Safir mendengkus. "Sudahlah. Nanti aku telat."

Aku hendak bertanya padanya tentang semua ini. Bagaimana caranya masuk ke sini? Kenapa dari sekian banyak orang, harus Safir yang disuruh?

Begitu hendak kutanya, dia telah pergi.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵