webnovel

Pemburu Sihir – 7

Darren berdiri di depanku. Tatapan mengarah padanya.

Aku menatap mereka satu per satu. Mereka saling kenal, tapi entah kenapa saat bertatapan mereka seakan malas berjumpa lagi.

Ezekiel menatap Darren tanpa reaksi, sama persis seperti satunya. Keduanya tampak saling menyamakan diri.

Aku lirik makhluk kurus yang kini membeku. Tatapan matanya yang kosong terasa menusuk badanku. Membuat bulu kuduk meremang, apalagi dengan kisah yang pernah disampaikan Nemesis beberapa waktu lalu. Ciri-ciri makhluk ini persis seperti yang dituturkan.

***

Waktu itu aku melihat bayangan serigala di balik jendelanya. Serigala itu berbulu putih, cukup besar, dan begitu tatapan kami bertemu dia lenyap beserta angin.

"Apa itu?" tanya Nemesis yang tadinya tampak khusyuk menatap perapian.

"Cuma serigala," jawabku.

"Kukira Wendigo."

"Apa itu Wendigo?" tanyaku.

"Wendigo itu pemangsa yang berbahaya. Ia memiliki badan yang kurus dan begitu pucat. Ia senang memangsa makhluk berdarah terutama manusia," jelas Nemesis.

Aku teringat sesuatu. "Apa bedanya dengan ... vampir?"

Aku takut membuatnya tersinggung. Mengingat Nemesis tidak makan apa yang kumakan. Meski kadang kulihat dia mau mencicipi beberapa makanan. Nemesis bilang dia vegetaris tapi aku heran kenapa dia mau makan daging ayam.

"Wendigo memangsa semua bagian tubuh mangsanya," jawab Nemesis, tetap tenang seakan tidak mempermasalahkan ucapanku tadi. "Mereka selalu lapar dan akan selalu mencari mangsa."

"Lalu, ada cara membunuhnya?" tanyaku.

"Kelemahan mereka terletak di jantung, seperti kebanyakan makhluk hidup," jawab Nemesis. "Mereka bisa mati dengan banyak cara. Tapi, paling sering dengan dihancurkan jantungnya."

Aku menelan ludah. Kukira serangan vampir liar di Ezilis sudah cukup jadi ancaman.

Aku kembali duduk menghadap Nemesis. Kepala menunduk, memikirkan cara agar dunia aman dari makhluk-makhluk mengerikan seperti ini. Seribu Pemburu Sihir tidaklah cukup, apalagi ketiga belas Guardians.

Perlahan, terdengar bunyi violin. Lantunannya begitu menenangkan hingga aku perlahan melupakan rasa takutku.

Terlihat Nemesis berdiri sambil memainkan violin. Mata merahnya menatapku lembut seakan bilang "tidak apa-apa, aku di sini."

Saat itu pula, aku membalas senyumnya.

***

Tapi bayangan senyuman Nemesis buncah ketika tatapanku bertemu dengan makhluk yang sejak kemarin nyaris memangsaku.

Inilah Wendigo yang kutakuti dulu. Kini membeku menyisakan tatapan mengerikan itu.

"Putri?" Ezekiel terdengar mencoba menyadarkanku.

Aku menoleh dan menanggapi. "Ya?"

"Lo enggak apa-apa?" tanya Ezekiel.

Aku mengiakan. "Maaf, aku belum menemukan apa yang dicari."

"Gue sudah ketemu," ujar Ezekiel. "Lo sekarang jangan lagi keluar rumah sebelum gue jemput."

"Maksud?" Aku menaikan alis.

"Begini." Ezekiel jeda, tampak berpikir. "Gue sudah tahu semuanya dan dari ucapan gue ini lo harusnya sudah menangkap maksudnya."

Apa ini ...

Tunggu, jangan bilang ...

"Abang! Sini!" seru Ezekiel.

Aku tersentak.

Rupanya Darren hendak pergi dengan enteng setelah lawan dibekukan. Dengan jaket itu, dia menutupi rambut birunya. Berjalan dengan sedikit membungkuk dan menunduk seolah tidak ada semangat hidup.

"Abang?" beoku, heran.

"Gue adiknya," ujar Ezekiel.

Darren berdiri di sana, menatap kami.

"Masa?" sahutku tidak percaya. "Kamu lebih tinggi."

"Memang," sahut Ezekiel. "Gue sama dia sempat terpisah dulu. Sekarang baru bertemu lagi."

Jadi, mereka dibesarkan dengan cara yang berbeda? Kulihat Ezekiel lebih tinggi lima senti yang mana sudah melebihi rata-rata. Berbeda dengan abangnya.

Darren diam saja, seakan malas membahas. Barangkali sudah terbiasa dikomentari begitu.

Entah kenapa, aku justru membayangkan Remi bakal jauh lebih tinggi dariku nanti. Sekarang dia mungkin tampak begitu kecil layaknya bayi, tapi tidak ada yang bisa menebak masa depan, kecuali Delisa Wynter.

"Kalian bersaudara?" Aku memastikan.

Ezekiel menunjuk ke belakang. "Mending kita lari."

"Hah?"

Aku berpaling. Kukira monster itu telah bebas dan siap menerkam. Tapi, tampaknya aku terlalu takut. Lawan kami saja masih membeku.

Kali ini, Ezekiel yang mengenggam tanganku. "Dar, bakar, ya. Gue jemput Putri, nih!"

"Eh!" Aku hendak protes tapi dia lari begitu cepat.

Ezekiel berlari sambil menggendongku layaknya sekarung beras. Aku berhasil menengok ke belakang untuk mengintip Darren.

Hanya tatapan dingin dari Darren yang kulihat sebelum akhirnya dia fokus dengan monster itu.

Monster itu masih diam di dalam es ciptaan Ezekiel, posisi seperti sedia kala, siap memangsa.

Tangan Darren perlahan mengeluarkan api biru.

***

"Kalian bersaudara?" Aku kembali bertanya begitu kami pulang. "Kenapa tidak cerita?"

"Gue kira lo tahu," balas Ezekiel yang kini berbaring di kasur sementara aku berdiri di depan pintu kamarnya.

"Aku sudah bilang dari awal," kataku. "Aku dan Remi tidak ingat apa-apa. Hanya kalung ini sebagai penanda."

Ezekiel merentangkan otot. Dia kemudian memejamkam mata. "Gue dan Darren sama-sama dari keluarga Stafford dan Lanchester."

Lanchester?

Ingatanku kembali ketika Safir membahas soal jasad Kyoki kepada Idris. Waktu itu kami di Aibarab dan aku masih berusia dua belas tahun.

"Jasad Sada Kyoki belum apa-apanya dibandingkan rahasia paling kelam sekali pun bagi kami. Satu organnya bisa dijual dengan harga satu pulau sekali pun. Barangkali harganya setara dengan Pulau Ziyi milik leluhur Lanchester dari Ezilis!"

Ah, itu!

"Apa benar leluhurmu, Lanchester, memiliki Pulau Ziyi?" tanyaku.

Kenapa aku bisa ingat? Karena aku biasa menulis dan membaca ulang kisahku sebelum akhirnya lenyap bersama Aibarab.

"Leluhur doang," sahut Ezekiel sambil mengubah posisi berbaring hingga membelakangiku. "Gue mah apa, kere."

Dengan rumah beserta isi dan wajah setampan itu? Kurasa Ezekiel sudah mapan, apalagi saat kebiasaannya beberapa hari lalu. Belum lagi beberapa hal membuatku ragu seberapa kerenya dia seperti diucapkan. Dia mungkin tidak sekaya Khidir atau Idris, tapi aku yakin dia tidak semiskin yang dia ucapkan. Maksudku, sejauh ini tidak ada Guardian miskin yang kutahu.

"Yang benar saja," sahutku. "Kamu tidak tampak kere."

Ezekiel tidak menyahut. Dia tampak terlelap.

Aku yang merasa dikhianati memutuskan menutup pintu dan pergi.

***

"Sudah gue bilang, jangan keluar tanpa gue temani!"

Ezekiel tentu saja, sedikit memaksaku untuk tetap bersamanya meski aku tidak mau mati bosan sendirian. Ya, mungkin ikut dengannya akan mengisi waktu luang, tapi keluar rumah lagi apalagi bersamanya membuatku sedikit risi.

Dia mengenakan pakaian seperti biasa, sedikit modis namun aneh si mataku. Tapi, baju seperti itulah yang biasa memikat kaum hawa. Meski aku sendiri tidak mengerti mengapa.

Baju putih dan memang tampak tertutup seperti baju biasa lainnya, lengkap dengan motif kebiruan membentuk layaknya ukiran es menambah kesan baru dari penampilannya. Ditambah lagi dengan rambut pirangnya yang disisir ke samping. Aura lelaki hidung belangnya semakin kuat.

Begini saja sudah dia sebut kere? Yang benar saja!

Sementara aku tidak banyak berubah sejak kemarin. Aku jadi sedikit minder berdiri di samping orang seperti dia. Tapi, di sinilah kami, lagi-lagi di tengah kota sambil menikmati acara jalan-jalan ini.

"Billy," panggilku dengan nama lainnya. "Kita cari apa di sini?"

"Cari yang bisa dicari," jawab Ezekiel enteng. "Putri mau bersantai dulu? Yuk, ke tempat bermain kesukaan gue!"