webnovel

Pemburu Sihir – 6

Entah kerasukan apa dia, tetapi keesokan harinya Ezekiel bertingkah seperti biasa seakan tidak pernah mengucapkan kalimat tadi.

Pada pagi hari, aku berjalan seorang diri lagi melintasi kota Adrus sesuai dengan rencananya. Meski tidak lagi bersama Safir. Barangkali dia tidak ingin wanita itu melemparku tepat di kerumunan monster lagi.

Kota Adrus kali ini tampak lebih ramai dipenuhi beberapa pejalan kaki, apalagi tujuanku ke pusat perbelanjaan, bakal semakin banyak orang yang kulihat.

"Thalia!"

Aku dikejutkan dengan panggilan dari anak itu. Ya, memang suara khasnya kadang membuatku risi.

"Mau ke mana?" tanya Ascella, tentu saja dengan senyuman manis itu.

"Ke pasar," jawabku. Tidak mau berbasa-basi, aku lalu pamit. "Aku terburu-buru, nih. Dadah!"

"Thalia!" Ascella justru berdiri di sampingku. "Aku tahu sedikit tentang pasar di sini. Aku temani, ya."

Aduhai, ada apa dengannya?

Mau tidak mau, aku biarkan Ascella menemaniku melintasi pasar.

"Thalia."

Entah kenapa aku tidak nyaman ketika dia menyebut namaku lebih sering dibandingkan orang lain.

Aku pun menanggapi panggilannya. "Apa?"

"Kamu suka jalan-jalan?" tanya Ascella.

Jangan bilang karena dia melihatku ke jalanan sebanyak dua kali ini. "Tidak terlalu. Kamu?"

Aduh! Kata "kamu" tidak sengaja keluar karena kebiasaan. Sudahlah, telanjur.

"Sama," jawab Ascella. "Biasanya aku hanya berjalan kalau disuruh beli sesuatu."

Aku amati sekitar. Meski sedang di tengah keramaian, tidak bisa dipungkiri bahaya tengah mengintai dan aku harus waspada. Tapi, tentu tidak akan kubiarkan lelaki ini merasa diabaikan.

"Jadi, sekarang disuruh beli?" tanyaku soal jawabannya.

"Ya," jawab Ascella. "Sudah dibeli, sih. Urusan pulang nanti saja setelah ini."

Dia rela terlambat hanya untuk bicara padaku. Benar-benar ...

"Kamu tidak dicari kalau telat?" tanyaku lagi.

Ascella tertawa kecil. "Tidak, kok. Aku 'kan sudah besar, sama seperti Thalia. Tidak perlu dicari lagi kalau sudah dianggap dewasa."

Sayangnya, di umur segini aku masih saja dicari kalau pulang terlambat. Mungkin karena Ascella dianggap lebih bisa menjaga diri dibanding diriku. Aku memang tidak keberatan terus dijaga. Namun ...

"Thalia pernah tertarik jadi Pemburu Sihir?" Entah kena angin apa Ascella menanyakan itu.

"Maksudmu?" Itu jawaban refleks, aku sebenarnya tahu suatu saat akan menjadi seperti para Guardians terutama Mariam.

"Itu, memburu segala hal berbau sihir yang mengangu," ujar Ascella. "Seperti Billy, kekasihmu."

Aku tersenyum, menyadari betapa konyolnya penyamaran ini, tapi aku tidak bisa mengoreksi juga meski harus menahan malu.

Maksudku, Ezekiel itu waliku, terasa aneh jika dia kemudian menjadikanku sebagai kekasih. Apalagi perbandingan usia kami yang terlampau jauh. Aku masih enam belas tahun tapi menurut hukum tempat asalku, usia begitu sudah dibilang siap. Tapi, Mariam pernah berkata kepadaku dulu.

"Jangan menikah sampai kamu siap," ujar Mariam dahulu. "Meski sudah berusia enam puluh, jika belum siap, sebaiknya dimatangkan dulu."

Dia bicara begitu karena tidak suka mendengar masa lalu Zahra yang nyaris dinikahkan dengan Khidir. Untungnya Zahra diangkat sebagai anak alih-alih jadi permaisuri.

Aduh, melenceng dari bahasan awal.

Soal berburu sihir, aku mengerti caranya. Tapi, masih kurang dari segi fisik. Memang masih tidak sekuat para Guardians. Tapi, aku akan berusaha meski hanya dengan melempari lawan dengan batu.

Aku kembali sadar akan kenyataan. Ascella masih diam dan fokus berjalan. Aku kembali membalas ucapannya.

"Bisa dibilang begitu," ujarku. "Tapi, aku belum siap bertarung."

"Sama."

Lagi-lagi, Ascella menyamakan dirinya denganku. Bukan masalah, tapi aku entah kenapa mencurigai sesuatu. Dia seperti tidak pernah mengucapkan kebenaran.

"Thalia nanti ada kegiatan?" tanya Ascella.

Aku jadi awas. "Tidak juga, tergantung keadaan. Kenapa?"

"Hari ini saudariku berulang tahun, aku mau Thalia juga hadir dan berkenalan dengannya."

Terdengar manis tapi sadis. Aku tidak ingin percaya begitu saja. Tapi, bagaimana cara menolak dengan halus dan tepat?

"Siapa nama saudarimu?" tanyaku.

"Helia Malre," jawab Ascella. "Kami memang tidak semarga. Selisih umur hampir dua dekade, tapi aku tetap adiknya."

Ah, begitu.

Aku juga punya adik jiwa. Kami tidak semarga, tapi memang sejak awal aku tidak memiliki marga.

Karena obrolan itu, aku jadi semakin cemas dan ingin agar adikku selamat jauh di sana. Tidak tahu kabar dan takut membayangkan kejadian buruk menimpa. Aku kini hanyalah seorang kakak yang tidak tahu kabar.

"Thalia punya saudara?" tanya Ascella.

Aku tahu ini berbahaya. "Tidak. Aku hanya anak tunggal."

Aku tidak berbohong karena sebelum tahu Remi, aku memang dilahirkan tanpa kehadiran seorang ayah dan dibesarkan oleh ibuku. Di sisi lain, aku merasa sebaiknya berbohong soal adik jiwaku demi melindunginya entah dari apa.

"Begitu." Ascella kembali menatap sekitar. "Thalia mau jadi keluarga kami?"

Aku terenyak. "Hah? Yang benar saja!"

Dia gila.

Maaf, aku ketakutan sekarang.

"Thalia."

Suara yang lebih berat terdengar. Aku menoleh ke sumber suara.

Tepat di depan kami berdiri dia, mata biru itu menatap dingin tapi menusuk. Dia memandang kami tanpa ekspresi. Tapi, entah kenapa aku merasakan hawa yang tidak beres darinya.

"Siapa itu?" Sosok itu kembali bertanya.

Kalungku terasa hangat ketika memancarkan cahaya. Meski tahu ini pelindungku, aku kadang takut melihat mereka.

Ascella pun demikian, dia terus memandang Darren tapi di siai lain tampak berusaha menjaga jarak. Jelas terlihat tidak sopan.

Di tengah cuaca yang terang dan kerumunan yang ramai, suasana seketika terasa mencekam ketika Darren tiba-tiba muncul dan menatap kami seperti itu.

"Oh, ini temanku," ujarku menjawab pertanyaannya.

Harusnya "kenalan" tapi lidahku tidak mau diajak kerja sama.

Darren mengalihkan pandangan kembali ke Ascella. Dia masih menatapnya dengan dingin, tapi aku bisa merasakan aura intimidasi darinya.

"Pulang." Hanya dengan satu kata, dia mengenggam tanganku.

"Eh?" Aku terkejut tapi tidak bisa melawan meski genggamannya terasa biasa saja tanpa kekerasan.

Darren berpaling, terus menarikku menjauh dari Ascella.

"A ... Aku pulang, ya," ujarku pamit pada Ascella. "Dadah!"

Ascella tampak masih tegang, namun tidak bisa berbuat banyak. "Dah!" Itu pun dia jawab dengan canggung.

Aku membiarkan Darren terus menyeretku. Padahal tugas dari Ezekiel belum juga tuntas. Aduh, sebaiknya aku laporkan kepada si Pirang setelah ini.

Darren menyeretku ke sebuah belokan yang sempit lagi sunyi. Begitu kami masuk, dia lantas berdiri di sisiku, menatap sekitar.

"Ada apa?" tanyaku.

Dia tidak menatapku, terus memandang ke sebelah kiri, tepat di depan belokan itu.

Aku ikuti arah pandangnya.

Terlihat makhluk ceking berjalan dengan bungkuk. Cakar panjangnya melambai pelan di udara seakan ingin menarik perhatian mangsa.

Makhluk itu menyeringai, tapi tidak ke arah kami.

Tanpa berkata-kata, Darren masih di posisi yang sama tapi aku tahu dia mencoba menangkap makhluk sihir itu.

"Darren?" bisikku.

Dia tidak menanggapi.

Perlahan, muncul percikan api biru dari tanah. Makhluk itu menyadari bahaya baginya dan menjerit.

Seketika itulah suasana ricuh.

Jeritan memenuhi udara. Beberapa barang dan orang bertabrakan disertai erangan.

Makhluk itu mengamuk di pasar. Beberapa orang tercakar tapi berhasil kabur. Meski sebagian harus bertabrakan dengan sesama hingga nyaris dimangsa.

Darren masih di depanku, seolah menjadi perisai.

"Darren," panggilku lagi.

Darren tidak menanggapi, masih fokus memerhatikan makhluk yang kini tidak jelas keberadaanya.

"AAARGH!"

Aku terkesiap.

Makhluk itu masuk ke belokan ini dan menerjang ke depan. Tepat ke arah kami.

Darren mendekapku.

Krak!

Saat itulah aku menggigil. Terasa seperti suhu menurun drastis secara tiba-tiba.

Makhluk itu telah membeku.