webnovel

Pemburu Sihir – 8

Aku amati pemandangan sungai yang cukup jernih di sebelah kiri. Kami duduk dekat jendela, langsung menampilkan pemandangan sungai. Ditambah dengan beberapa orang yang ikut mengamati entah apa dicari.

Kubiarkan Ezekiel sibuk mengobrol dengan beberapa orang yang jaraknya sekitar tiga meja dariku. Pelindungku ini begitu antusias menceritakan sesuatu dilihat dari gerakan tangan dan barangkali dia melotot saking semangatnya bercerita. Para penonton pun tampak tertarik dengan kisahnya. Bahkan kulihat ada yang ternganga.

Aku pun memasang telinga daripada bosan menunggu makanan. Sepertinya obrolan mereka tampak menarik.

"Biasanya kalau menangkap monster berapa kali sekali?" tanya seseorang.

"Enggak setiap hari, lah," jawab Ezekiel. "Kadang beberapa minggu sekali. Tergantung segawat apa situasi."

"Berapa bayar buat nyewa lo?" tanya seseorang lagi.

Ah, sepertinya begitu cara orang Arosia bicara. Jadi, tidak lagi aneh kalau Ezekiel bicara seperti itu. Bagaimana dengan abangnya? Mungkin nanti setelah kami sedikit lebih dekat.

"Seikhlasnya, yang penting banyak."

Jawaban Ezekiel disambut dengan decak kagum para penonton. Kukira mereka akan menertawakan karena dari nada bicara dia terdengar ingin melawak.

"Apa syarat jadi Pemburu Sihir? Mereka ngapain aja?"

"Pemburu Sihir mah terserah lo mau apa enggak, asal jangan mati konyol," jawab Ezekiel dengan nada sedikit serius. "Kadangkala kami juga mengoleksi benda sihir buat pajangan."

Aku melihat salah satu dari mereka hendak bicara, tapi dipotong oleh orang di sebelahnya.

"Bung, buatkan aku patung dari es!"

"Patung apa?" balas Ezekiel.

"Patung diriku!" Pemuda itu menunjuk diri dengan bangga.

Ezekiel tersenyum. Hanya dengan mengayunkan jemari, terbentuk sebuah patung dari es persis bentuknya seperti pemuda itu. Semua mata tertuju pada benda itu.

"Gue juga bisa bikin dia bergerak!" Ezekiel menyentuh pelan bagian kepala patung ciptaannya.

Patung yang tadi berdiri tegak dengan diam langsung menggerakkan tangan dan kaki hingga akhirnya duduk diam di meja.

"Wah ...!"

Tentu saja mereka heboh melihat kehebatan benda ini. Untungnya Ezekiel tidak dibakar seperti beberapa penyihir malang di zaman ini. Itu untuk bagian jauh di dunia sana.

"Kekuatan yang luar biasa!"

"Benar-benar eksotis!"

"Makhkuk langka, pasti penyihir sakti!"

"Dari mana dapat kekuatan, sih?"

Ezekiel tersenyum, jelas puas dengan pujian yang diterima. "Kekuatan ini berasal dari leluhur."

Seorang pelayan meletakkan pesanan kami. Aku lantas berterima kasih dan mencoba mendekati Ezekiel.

Di antara kerumunan yang mendesak membuatku sedikit sesak. Namun, aku berhasil memanjangkan tangan untuk meraih Ezekiel.

Aku berhasil mendekat dan mencolek Ezekiel, tentu membutuhkan keberanian apalagi jika ditatap seperti itu. Sebagian memang tampak biasa saja bahkan bingung, tapi aku yakin ada yang risi melihat ini.

"Billy," panggilku. "Tuh, makan."

"Oke." Ezekiel tersenyum lagi ke arah penontonya. "Gue makan dulu, ya. Nanti bakal gue jelasin gimana cara menyewa gue buat menangkap sihir jahat di rumah kalian."

Jadi, ini alasan dia suka di sini.

Sejauh ini, aku belum pernah melihat Guardian secara terang-terangan menyebut kalau mereka adalah Pemburu Sihir apalagi sampai menawarkan jasa secara publik. Tentu saja aku ragu kalau mereka berani dan tampak antusias seperti Ezekiel. Barangkali karena belum pernah kulihat selain itu.

"Berapa lama kamu bekerja sebagai Pemburu Sihir?" tanyaku kepada Ezekiel di sela mengunyah sepotong daging bakar.

"Lima dekade? Eh, lebih kayaknya." Ezekiel tampak mencoba mengingat. "Intinya sejak gue remaja, sudah langsung kerja."

"Lantas, kenapa mereka tampak kagum melihat kekuatanmu?" tanyaku. "Bukannya kamu diam di sini sejak lama?"

"Yah, beda hari beda orang, bisa juga generasi demi generasi," ujar Ezekiel. "Bahkan ada cucunya kutengok. Ada juga yang sudah lama meninggal."

"Tampak aneh kalau mereka tidak hidup selama itu," komentarku.

"Biasalah," ujar Ezekiel enteng. "Kalau lo lemah atau bego, ya cepat mati."

Entah kenapa aku tersindir.

"Bukannya itu tugas Pemburu Sihir?" balasku, aku mulai berbisik. "Kalian tidak melindungi negeri selayaknya melindingi aku dan adikku?"

"Lo dan mereka 'kan, beda," sahut Ezekiel. Dia menatap beberapa penontonnya tadi yang kini sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meski sebagian besar masih menatap kagum patung es itu. "Yang lain mah apa? Tidak kasih keuntungan, kenapa harus peduli?"

Aku terdiam. Memang tidak aneh jika seorang Guardian hanya berdedikasi melindungi satu atau dua orang alih-alih alam semesta seperti kisah heroik yang biasa kudengar. Apa aku terlalu banyak mendengar kisah pahlawan yang rela melindungi alam semesta dengan seorang diri?

Mariam tidak pernah bilang akan melindungi orang lain. Selama ini kulihat dia lebih sering menjagaku. Tentu saja, hanya itu yang bisa aku lihat. Belum kutanya apa dia melindungi orang lain yang bahkan tidak dikenal.

Beberapa pelindungku apalagi. Tapi, aku maklum karena aku hanya bisa menilai lewat sudut pandangku sendiri. Mau bertanya tapi situasi tidak memadai.

Lantas ...

Pikiranku kembali ke Ascella.

Ezekiel bahkan tidak tampak memedulikanya. Padahal lelaki itu yang selama ini mendekatiku. Hendak aku protes, tapi ini bukan saat yang tepat. Apalagi di tengah keramaian seperti ini.

Mungkin saat pulang nanti.

Aku mengangkat kepala, berniat melihat Ezekiel.

Jauh di depan sana, dia kembali menjadi sorotan.

***

"Nih!" Safir menyerahkan selembar surat dengan amplop cokelat padaku.

"Apa tuh?" Ezekiel serta merta mendekat dan membacanya. "Untuk Thalia dari Ascella. Cih!" Dia berdecak.

Sudah kuduga akan begitu reaksinya. Aku pun menatap Safir. "Dari mana kaudapat?"

"Dia menyerahkannya langsung padaku," jawab Safir. "Sambil memberiku upah yang lumayan."

Safir yang biasa.

"Kenapa diterima, sih?" protes Ezekiel.

"Tidak suka? Bakar saja," balas Safir. Dia berkacak pinggang, tanda tidak memedulikan reaksi lawan bicara.

Selama keduanya berdebat, aku pun membaca surat itu dalam hati.

Untuk Thalia,

Saat membaca surat ini, mungkin aku tidak lagi di Adrus bersama Helia. Kami sedang berada di tempat yang tersembunyi. Meski demikian, aku ingin sekali kamu tahu kabarku sebelum benar-benar berpisah.

Ada beberapa hal yang terjadi setelah pertemuan kita dan aku mau menceritakannya padamu. Salah satunya perihal kami.

Sama sepertimu, aku dibesarkan oleh waliku, yaitu kakakku. Dia sudah lama menjagaku layaknya Thalia dijaga para Guardian. Mendengar kabar buruk tentang dia membuatku sedih, tapi sikap apatis kekasihmu itu justru membuatku merasa dia pria yang kurang ajar.

Aku tidak senang melihatnya berada di dekatmu. Percayalah, dia bukan lelaki yang tepat untuk dipertahankan. Dia hanya ingin kamu menyerahkan diri sebelum akhirnya dibuang layaknya permen karet. Aku tidak ingin Thalia sakit hati karenanya. Tidak ingin kamu hanya dimanfaatkan oleh si hidung belang apalagi kalau dia ternyata sosok yang manipulatif.

Kamu dalam bahaya dan aku harus segera menyelamatkanmu dari jaring laba-laba ini. Maka dari itu, aku hanya ingin menyampaikan satu saja permintaan.

Aku hendak kamu ikut pergi bersamaku.

Aku tidak ingin kamu menderita lebih lama. Tidak perlu takut karena aku akan selalu menjaga dan melindungimu.

Tertanda,

Ascella