webnovel

Pemburu Sihir – 5

"Ini rumahmu?" tanyaku dengan pelan setibanya kami di sebuah tempat. Tanganku masih mengenggam tangannya, dan itu terasa dingin.

Darren mengiakan. Kuharap dia tidak menyadari betapa dinginnya tanganku.

Perburuan monster pertamaku sukses membuatku gugup bahkan setelah selamat sekali pun. Sedikit memalukan memang, pergi sendiri lalu diselamatkan. Rasanya lebih baik aku bersama mereka sedari awal, bukan memencar. Ah, Safir ini, main pergi saja.

Darren melanjutkan langkah, sepertinya dia tidak menyadari gelagatku. Atau barangkali berpura-pura tidak menyadari.

Duh, malunya.

Seperti kebanyakan rumah di sini, rumah Darren terbuat dari batu bata dan sedikit menjorok ke tanah lengkap dengan pagar kawat berduri mengelilingi. Aku tahu betul fungsi utamanya untuk melindungi diri dari terkaman monster sekitar. Menyadari bahwa seluruh penduduk setiap daerah di dunia ini tidak ada amannya. Yang punya rumah saja dihantui, apalagi yang tidak punya sama sekali.

Aku juga tidak tahu persis status keuangan para Guardian sejauh ini. Tapi, melihat masing-masing masih punya rumah untuk dihuni dengan layak sudah cukup membuatku lega. Mereka memang sepertinya sangat menjaga diri dan lingkungan. Atau sekadar bersembunyi dari marabahaya.

Darren membuka pintu menggunakan kunci biasa. Dia membiarkanku masuk terlebih dahulu tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku pun mendahuluinya dan mengamati rumah ini.

Dalamnya pun tampak sederhana, barangkali lebih sedehana dibandingkan rumah Ezekiel yang tampak dipenuhi benda-benda aneh entah dari mana dapatnya. Sejauh pengalamanku menjumpai para Guardian, memang setiap rumah dari mereka memiliki sejumlah barang pribadi yang tidak jelas asal-usulnya melainkan berfungsi sebagai alat sihir untuk mempermudah mereka dalam bertarung.

Melihat kondisi rumah Darren yang sederhana dan tampak tidak menyembunyikan sesuatu, membuatku yakin jika dia lebih samar dalam memperkenalkan diri ketimbang Ezekiel. Tapi, apa mereka saling kenal? Mungkin saja senasib karena beberapa hal, atau justru dekat sejak lama. Lantas, apa yang membuat kondisi hidup mereka berbeda?

Aku belum yakin hidup di Arosia itu keras atau biasa saja. Sejauh pengamatanku, tidak begitu berat hidup di sini selama punya profesi. Terlebih jika monster dan sihir merupakan masalah utama setiap hari, sehingga upah pun tidak perlu dipusingkan.

"Ah ya, kamu kenal Ezekiel?" tanyaku sekadsr memastikan.

Darren lagi-lagi mengiakan, tapi tidak menambahkan informasi baru.

Aku jelas bingung. Kenapa dia begitu irit bicara? Apa aku membosankan? Atau pertanyaanku tabu? Apa dia tidak menyukaiku?

Kulihat dia kemudian duduk lalu berbaring di tempat duduk yang tampak tidak lagi empuk. Sepertinya kedua makhluk ini, Ezekiel maupun Darren, memiliki suatu kesamaan.

Lantas terlintas kembali dalam benakku akan asal-usul para Guardians, terlebih mereka semua berasal dari bintang yang berbeda.

Mariam adalah Virgo, Idris itu Leo, sementara Khidir tentu saja Libra, Gill pernah bercerita kalau dia Pisces sementara Nemesis itu Taurus.

Sementara yang lain belum kutanyakan, tapi aku menyakini beberapa hal. Ah, mungkin akan kutanyakan nanti, segera setelah bicara langsung pada Ezekiel.

"Darren, kamu yang mana?" tanyaku tiba-tiba.

Dia menatapku, tampak bingung.

"Um, maksudku apa kekuatanmu–maksudnya rasi bintang! Ya, itu." Aku mencoba merangkai kata. "Kamu tahu kode nama Ezekiel? Seperti bintang mana? Andromeda? Atau ... Lainnya? Aku punya banyak pertanyaan untuk kalian."

Darren diam saja, dia terus menatapku tanpa ekspresi. Beberapa saat hening, akhirnya dia membuka mulut sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ophiuchus."

"Eh?" Aku mendengarkan tapi tidak bisa mencerna. "Apa itu baru?"

Darren diam saja. Mungkin baru dalam artian setelah dia bergabung, tapi aku sendiri ragu memperpanjang masalah.

Aku menggaruk tengkuk. "Begitu, ya. Ngomong-ngomong, kita sebaiknya segera berkumpul. Ada temanku menunggu di luar sana dan Ezekiel mungkin mencari."

"Jangan." Darren menolak, dari suara saja tanpa benar-benar menjelaskan.

"Kenapa?" heranku.

Darren tidak menjawab, tetap diam tanpa menunjukan ekspresi yang kentara.

Pikiranku langsung tertuju pada satu teori ala kadarku. Apa karena kekuatannya berkaitan dengan itu? Saat pertama kali melihatnya saja sudah membuatku yakin jika ada sesuatu darinya.

"Baiklah, kalau begitu." Aku lantas duduk di tempat yang sudah disediakan.

Darren memalingkan pandangan, sepertinya dia merasa tidak nyaman terlalu lama menatapku.

"Darren, kapan kita keluar lagi?" tanyaku.

Dia tidak menjawab.

Aku menghela napas.

Tepat ketika dilanda kebosanan, kudengar bunyi ketukan pintu.

"Oi! Oi! Di sini kalian rupanya!"

Safir!

Aku langsung bangkit dan berlari ke arah pintu dan membukanya. "Sa ..."

"Hush!" Safir menutup mulutku. "Kamu lupa namaku, Bocah?"

"Sa ... Saskia?"

"Ya." Safir melirik ke belakangku. "Ini orangnya? Yang tertidur itu?"

"Eh?" Aku berpaling. "Darren!"

Darren kemudian duduk lalu menatap kami. Dia terlihat malas dengan mata tampak mengantuk begitu. Sepertinya dia rungau.

"Ayo, masuk!" tawarku pada Safir.

"Hei, aku menjemputmu tahu," balas Safir. "Oi, aku berterima kasih pada Guardian ini."

"Namanya Darren," ujarku agak risi dengan gelar-gelaran ini. "Kamu kok begitu? Kesannya kasar."

"Kau bertingkah seakan tidak kenal aku saja," balas Safir. "Nah, sekarang kita pulang!"

"Tunggu!" Aku pun berpaling dan menghampiri Darren.

Darren menatapku, diam saja.

"Terima kasih," ucapku tulus. "Nanti kapan-kapan kita akan bertemu lagi."

Darren mengiakan. "Hati-hati."

Aku mendengar dan patuh, kemudian berpaling dan menyusul Safir menuju tempat kedua yang kukenal di Adrus.

***

"Darren namanya?" Ezekiel memastikan.

"Ya, dia kenal kamu," kataku. "Kalian saling kenal?"

"Enak sekali Safir langsung melempar lo ke sana!" Bukannya menjawab, Ezekiel malah membahas kejadian itu. "Gue enggak terima! Hei, Safir! Tugas lo 'kan, jaga dia. Bukan main lempar!"

Safir tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Tampak tidak peduli dengan teguran Ezekiel. Malah sibuk memeluk bantal dan dia tampaknya terlelap.

Ezekiel kembali bicara dengan tersunggut-sunggut. Sepertinya suasana harinya kali ini sedang buruk. Aku harus menahan diri agar tidak salah bicara.

"Ezekiel, aku baik-baik saja," ujarku. "Lagipula, aku disediakan senjata dan Darren melindungiku."

Ezekiel diam saja. Masih tampak tidak senang dengan yang telah berlalu.

Aku menarik napas, berusaha memikirkan kalimat manis yang mampu meluluhkan hati. Trik ini biasanya berhasil untuk Mariam, entah berlaku untuk yang lain.

"Ezekiel baik sekali sudah perhatian." Aku tersenyum manis padanya. "Kamu sudah berusaha melakukan yang terbaik. Aku baik-baik saja, kok. Buktinya sekarang sudah di sini menyambutmu."

Tidak ada balasan. Ini baru tahap awal.

"Ezekiel lucu kalau cemberut begitu. Manis, deh."

"Putri belajar dari mana ngomong gitu?" Dia menunduk, tampak menyembunyikan wajah. Reaksi yang sama dengan Mariam. "Siapa mengajarkan?"

Aku tersenyum. "Ezekiel." Kuucapkan namanya dengan nada semanis madu.

Trik ini berhasil jika aku ingin membalikan keadaan. Ya, pada dasarnya aku akan membuat lawan bicaraku tidak nyaman lalu berhenti. Tapi, tentu saja trik ini hanya berlaku dalam situasi tertentu.

"Cih, begitu saja sudah bawa perasaan!" Terdengar ucapan sinis dari Safir yang masih memejamkan mata.

"Gue enggak baper," balas Ezekiel, terdengar terganggu. "Sudahlah! Intinya Putri enggak boleh lagi keluar kecuali sama gue!"

"Lah? Kenapa begitu?" protesku.

"Gue pelindung lo, ya musti menjaga," jawabnya. "Pokoknya, mulai detik ini, lo dan gue enggak bakal dipisah!"