webnovel

Negeri Baru – 2

<<Bibi ~ Danbia>>

Kulirik jendela, hari sudah gerimis dan hujan deras akan melanda.

Dalam panti warisan orangtuaku, semua sudah disiapkan ; minuman hangat, beberapa selimut serta perapian, sehingga aku maupun anak-anak tidak akan kedinginan.

Ketika kulirik lagi jendela, tidak ada tanda-tanda orang lalu lalang. Biasanya, mereka terlihat berlari panik mencari tempat teduh. Tampaknya, semua sudah di rumah sebelum malam tiba.

Aku hanya diam memandang lantai, terlintas dalam pikiranku beragam pertanyaan acak.

Seperti ... Ada berapa jumlah orang di dunia ini sekarang? Sepuluh ribu? Seratus ribu? Sejuta? Sepuluh juta? Aku tidak tahu.

Panti ini selalu saja sepi kecuali perayaan tertentu. Tapi, di sisi lain aku memikirkan jumlah orang-orang di pasar yang tidak pernah berkurang.

Sebelumnya, tempat ini begitu kacau setelah kedatangan dua pria saling mengejar. Namun, salah satunya yang berambut kelabu, tampak kehilangan jejak apalagi setelah pria lainnya merusak tempatku.

Si Rambut Kelabu meminta maaf, meski bukan kesalahannya, lalu menawarkan diri untuk membantu membersihkan.

Aku yang jarang mendapat bantuan hanya mengiakan lalu memberitahu tempat tinggal yang cocok baginya di sini ketika ditanya.

Pria rambut kelabu tadi sempat membayar segelas minuman dan kami mengobrol sejenak.

Sejauh kuperhatikan, mata emasnya tampak indah diterpa cahaya lilin. Ia hanya bertanya nama tempat dan penginapan yang cocok.

Dari pakaiannya, aku tidak yakin kalau ia orang jauh. Danbia dan Ezilis tidak begitu berbeda. Namun, logatnya menerangkan kalau ia berasal dari Ezilis Utara, apalagi ketika ia memanggilku "Mademoiselle."

Setelah minum, ia pamit. Aku sempat bertanya untuk apa ia ke sini.

Katanya, ia mencari seseorang.

***

Ketukan pintu menyentak. Aku refleks mencengkeram sapu sebagai pedang.

"Selamat malam."

Hujan turun kian deras. Dari balik pintu yang kini basah dan tempias, terlihat sosok pria masuk dan menggeringkan badan.

Ia memiliki rambut dan mata cokelat tua dan mengenakan kain hitam menutupi separuh wajah. Aku kenal ia dan ia mengenalku.

"Thomson," sapaku.

Saat itu, ia tengah mengendong sesuatu. Ya, kamu, Levi.

Belum sempat aku berkomentar, Thomson terlebih dahulu menyela. "Aku menemukan anak ini di hutan."

Aku serahkan selembar handuk padanya.

Thomson membaringkanmu di sebuah bangku panjang, diselimuti handuk kemudian dibelai pelan keningmu. Ia tampak lebih peduli dari biasanya, makanya aku berpikir bisa jadi kalian saling kenal.

"Ada yang bisa kubantu?" Kucoba untuk ramah, meski terlalu canggung. Kami sebenarnya saling kenal, sebagai sesama warga desa ini.

Kamu tampak terlelap, tidak ada bekas luka selain goresan kecil di pipi kiri yang bisa cepat disembuhkan.

Thomson berpikir sesaat. "Tidak perlu, aku hanya ingin tempat bernaung dan sedikit bantuan."

"Ah, kamu menginggatkanku akan pria tadi." Aku keceplosan. Tidak juga, pria tadi tidak minta dirahasiakan, bukan? Inilah salah satu kebiasaan buruk Ibu yang diturunkan padaku.

"Pria tadi?" beonya.

"Ya, aura kalian mirip," sahutku. Keduanya tampak begitu misterius bagiku, namun di sisi lain juga terlihat ramah dan tidak berbahaya. Ya, keduanya memancarkan aura lembut namun juga membunuh di saat yang sama.

Ia menatap sekeliling. "Boleh minta segelas teh? Yang hangat."

Aku pun menyeduh segelas teh. Ia minta segelas lagi setelahnya, meletakkan kedua gelas di sisinya, baru kembali bersuara.

"Berapa?" tanyanya.

Aku pun menyebut harganya.

Ia langsung menyerahkan beberapa uang padaku tanpa ragu.

"Boleh minta tolong?" tanyanya. "Kamu bilang ada pria masuk ke sini. Bisa beritahu ciri-cirinya?"

Aneh. Hanya itu tanggapan yang ada. Tapi, tidak rugi pula. Maka, kuberitahu segalanya. Sayangnya, aku tidak tahu nama pria berambut kelabu tadi.

Ia lepas penutup wajahnya. Tersibak wajahnya yang sempat membuatku membeku sejenak sebelum ia tutup kembali dengan kain baru yang lebih kering. Detak jantungku tertahan, tidak menyangka akan melihat pria sepertinya saat ini. Meski sudah lama kenal. Selama ia bekerja dan tinggal sini, sepertinya aku orang pertama yang beruntung melihat wajahnya lebih sering. Meski ...

Kupandang ia memasang penutup wajah kembali. Selagi sempat, aku kagumi salah satu ciptaan-Nya. Barangkali, ini keberuntunganku.

Ah, aku melantur.

Thomson tak bergerak dari posisinya. Ia membiarkan pahanya menjadi bantal bagimu. Untung tehnya tidak tumpah selagi ia menegak dua gelas.

"Minta tolong jagakan anak ini untuk sementara waktu." Ia berkata. "Aku akan kembali dan membesarkannya. Saat ini, aku dilanda kesibukan."

Aku melirikmu yang tampak terlelap, bahkan tampak tidak menyadari sedang diapakan.

"Anak siapa ini?" tanyaku.

"Anakku," jawabnya.

"Hah?" Aku tentu saja heran. Maksudku, ya, setelah mengadopsi. Tapi ...

"Terima kasih," kata Thomson. Ia kembali mengelus keningmu. "Hari sudah teduh. Aku izin pamit."

"Eh?" Aku jelas protes, namun kusembunyikan perasaan ini. "Maaf, kamu tidak mau istirahat sejenak di sini? Atau menjaga anak ini?"

Meski menggenakan penutup wajah, aku tahu ia tersenyum. "Tidak perlu. Terima kasih atas tawarannya."

"Um, boleh tahu nama anaknya?"

"Levi."