webnovel

Negeri Baru – 1

"Dahulu, aku tidak punya tujuan hidup. Tapi, sekarang aku tahu."

"Apa?"

Ia tepuk pelan pucuk kepalaku, tanpa menjawab selain senyuman.

Aku teringat momen itu. Dalam hidup, ada kebebasan, ada pula tujuan.

Aku tidak tahu tujuan hidupku. Barangkali, hanya untuk terus bermain dan bahagia bersama Guardian-ku. Menikmati hari sambil bercengkerama. Atau hanya sekadar berlari kecil, saling mengejar lalu pulang dalam keadaan kotor.

Namun, selain ini, aku tidak tahu tujuan hidupku.

Aku memang dilahirkan dengan tujuan.

Meski sekilas tampak sama seperti anak lain, aku diurus dan dijaga.

Namun, tetap saja aku tidak paham.

Demi apa mereka mempertaruhkan nyawa demi melindungiku?

.

Aku kini diurus oleh mereka yang menyebut diri sebagai "Guardian"–wali bagiku dan kakakku.

Kurasa, tujuan hidupku bakal jadi seperti mereka. Setidaknya itu yang kupikirkan.

Mereka punya kesamaan dalam tujuan hidup.

Namun, aku tidak yakin apakah itu tujuan mereka sesungguhnya.

Demi apa?

Untuk apa?

Semuanya tampak samar.

Bagaimanapun juga, mereka tetaplah waliku.

***

Langit-langit cokelat menyambutku begitu aku membuka mata. Hari sudah siang, pertanda aku tidur cukup lama dari biasanya. Seorang diri, di tempat yang asing.

Aneh, bukannya aku tadi bersama Nemy?

Aku tengah diselimuti kain bermotif bunga, cukup tebal hingga kaki kepanasan.

Pakaian pun sudah diganti, baju lamaku entah dibawa ke mana. Kini aku mengenakan piama biru pucat lengan panjang sehingga tubuhku yang kemarin dingin menjadi hangat.

Aku perlahan duduk lalu berjalan ke arah jendela.

Aku kini berada di sebuah kamar yang cukup luas. Hanya ada meja belajar, kursi, rak buku, dan kasur. Tapi, jendela menjadi objek yang menarik perhatianku saat ini.

Langit biru.

Tarian para burung.

Pasir menghias pantai.

Aku rupanya di pesisir, padahal sebelumnya di kedalaman hutan.

Di mana aku sekarang?

Melihat pemandangan tadi, aku mencoba menghirup udara segar.

Ketika jendela dibuka, semilir angin membelai. Membuatku terbuai sesaat.

Sejuk, tapi ...

Di mana aku?

Tempat ini asing, tapi aku entah kenapa merasa ...

Apa aku pernah ke sini? Aku tidak tahu.

Bunyi langkah kaki terdengar seperti pintu diketuk. Jelas hampir semua bagian di rumah ini terbuat dari kayu sampai ke lantainya.

Aku menoleh ke belakang tempat jendela lain yang masih tertutup. Ketika mendekat, terlihat rerumahan berjejer rapi dan cukup terawat. Tidak banyak orang yang lalu lalang. Tempat ini sukar disebut sebagai desa maupun kota karena begitu tercampur.

Langit tidak mendung, tidak juga cerah.

Orang-orang yang terlihat bahkan tidak tampak seperti penduduk desa maupun kota. Tidak megah, tidak pula bersahaja.

Begitu pula atmosfer tempat ini. Tidak terasa nyaman maupun suram.

Kutundukkan pandangan.

Kalungku masih melingkar. Tidak ada cahaya.

"Nemy?" Aku sengaja memanggilnya. Memastikan kalau kami sedang dievakuasi, barangkali oleh kenalan Nemesis di negeri asing ini. "Nemy!"

Tidak ada balasan.

Aku tidak menyerah. "Nemy!"

Hening.

Jantungku berdegup kencang. Panik, mengira diri ini sendirian. "Nemy! Nemy!"

"Sebentar!" Seruan seorang wanita menganggetkanku. Aku tidak pernah mendengar suara itu sebelumnya.

Derap langkah terdengar dari luar, tuk-tuk-tuk, tergesa-gesa. Segitu paniknya dia sampai pintu pun seolah didobrak alih-alih dibuka.

"Ya?"

Berdiri di depanku hanya seorang wanita berambut hitam dengan mata biru langit serta kulit putih mulus. Tingginya sedikit sama dengan Arsene dan aku yakin dia mungkin mengenalku. Maksudku, tidak mungkin dia menyelamatkanku tanpa alasan, bukan?

Aku menundukkan pandangan. Aneh, kenapa kalung ini tidak bercahaya? Kalau begitu, kenapa dia ...

"Siapa kamu?" tanyaku, curiga bercampur takut.

"Aku pengurus panti kecil ini," jawabnya. Dia lalu tersenyum. "Panggil saja 'Bibi.'"

Bibi? Berapa umurnya?

"Kenapa aku di sini?" tanyaku. "Di mana temanku?"

"Teman?" Wanita itu mengerutkan kening, seketika kedua aslinya terangkat. "Oh, pria yang membawamu ke sini? Dia menemukanmu di hutan."

Tunggu, kenapa terkesan janggal? "Hutan?"

"Ya." Bibi lalu duduk di kasur, sementara aku menghampirinya. "Ia datang ke sini dan meminta kami menjagamu."

"Apa ia mengenalku?" Aku tentu saja curiga.

"Kupikir begitu," jawab Bibi. "Karena ia memanggilmu 'Levi' dan bilang kalau ia akan mengadopsimu segera setelah selesai mengurus pekerjaan."

Levi? Mengadopsi? Jangan-jangan ...

"Apa ciri-cirinya?" tanyaku. "Aku ... Agak lupa apa yang terjadi."

Wanita itu mengarahkan mata ke lain, tampak berpikir dan mengingat-ingat. "Yah, dia pria tampan yang tinggi, rambut dan mata cokelat tua sepertimu serta berkulit putih."

Semua Guardian yang kukenal, belum ada yang berciri-ciri seperti itu.

"Aku ... Tidak kenal." Aku tentu saja takut. "Dia mau apa dariku?"

Bibi tampak paham. Dia mendekat lalu membelai rambutku. "Sudah, sudah, tidak apa-apa. Kamu ingat apa yang terjadi sebelum ke sini?"

"Aku diburu seseorang dan waliku berjuang melindungi," jawabku jujur. "Ia terluka parah kemarin dan ..."

Air mata kembali berlinang. Jangan bilang ...

Bibi kembali mengelus rambutku. "Kamu tidak perlu bersedih. Bibi yakin walimu masih hidup."

"Benarkah?"

Bibi tersenyum. "Kalau kamu yakin, walimu pasti akan kembali dan menjemputmu."

Aku mengangguk. Sedikit lega meski masih tidak sepenuhnya paham apa yang terjadi.

"Lalu, siapa pria yang membawaku tadi?" tanyaku.

"Ia salah satu barista di sini, kami memanggilnya Thomson," jawab Bibi. "Cukup mengejutkan kalau pria seperti dia berniat mengadopsi anak."

Mendengarnya, aku mulai sadar seberapa jauh aku pergi.

Pertama, sosok Bibi, salah satu penghuni negeri ini

Aksen wanita ini seperti gabungan Ezilis Utara dan Selatan, tapi terdengar lebih aneh bagiku. Aku mengerti beberapa kata yang dia ucapkan, tapi ada pula kalimat yang bahkan tidak kupahami sama sekali. Terdengar lucu kadang-kadang, karena kami mungkin menggunakan kata lain untuk mengucapkan sesuatu.

Thomson bukan nama asing lagi, karena berasal dari ras yang serumpun dengan Ezilis Selatan. Berarti kami hanya menyebrang ke negara tetangga. Jangan bilang ia seperti Gill yang nama tidak sesuai dengan ras.

Aku bertanya lagi. "Ini di mana?"

Bibi menjawab, "Danbia."

"Danbia?"

"Levi dari mana?" tanya Bibi, masih dengan senyum manisnya.

"Ezilis Utara," jawabku.

Bibi mengerutkan kening. "Cukup jauh, ya."

Aku diam saja. Bimbang mau cerita atau tidak. Jika bicara sekarang, aku bisa dalam masalah. Firasatku mengatakan sebaiknya tidak mengumbar dulu.

Bibi lalu berpaling. "Levi makan, ya. Bibi dengar sejak kemarin kamu belum makan."

Aku mengiakan. Membiarkan wanita itu pergi dan menutup pintu.

Suara langkah kakinya menggema beberapa saat sebelum akhirnya lenyap menyatu dengan udara.

Kembali berbaring, aku membayangkan nasib Nemesis di luar sana.

Apa yang terjadi?

Apa ia baik-baik saja?

Apa Nemesis tahu keadaanku? Kuharap iya.

Siapa pria itu? Kenapa repot-repot?

Apakah ia Guardian-ku? Tapi, aku belum melihat kalungku dan ia sudah pergi. Mungkin saja kenalan Nemesis.

Ya, bisa jadi Nemesis sedang beristirahat di suatu tempat dan tidak ingin Zibaq mencari keberadaanku kalau di dekatnya.

Aku menarik napas, aku membayangkan nasib para waliku, juga Kakak yang tidak jelas keadaannya.

Apa mereka baik-baik saja?

Apa mereka tengah dilanda bingung sepertiku?

Kalau memang benar kami terpisah cukup jauh, aku hanya berharap mereka aman dari cengkraman Zibaq.

Aku tatap kalungku. Berharap agar benda itu lekas bersinar.

***

Beberapa saat menunggu, akhirnya Bibi datang sambil membawakan nampan berisi sepiring telur dadar besar yang cukup melihatnya saja sudah membuatku kekeyangan.

"Thomson sempat memberi pesan untukmu, tapi aku dilarang membacanya." Bibi menyerahkan kertas yang terlipat.

Aku membuka dan membaca pesan itu.

Kamu aman sekarang.

Hanya sebaris kata itu, aku tidak paham apa maksudnya.

Aku aman? Mungkin.

Tapi, siapa yang menulis surat ini? Siapa Thomson sebenarnya?

Aku bahkan belum sempat melihat tulisan tangan para Guardian-ku. Aku bahkan lupa gaya tulisku seperti apa.

Kucoba mengendusnya. Baunya seperti kertas baru.

"Levi?" Bibi menyebut nama baruku.

Aku menatapnya. "Siapa Thomson?"

Bibi tersenyum. "Thomson adalah pria yang membawamu ke sini. Dia juga teman baikku."

"Teman," beoku.

"Ya, seperti itu."

"Lalu, di mana dia sekarang?" tanyaku lagi.

"Sedang bepergian." Bibi lantas duduk dan menyerahkan sesuap telur dadar ke arahku. "Ayo, makan!"

Aku sedikit keberatan. "Kamu kenal dia sejak kapan?"

"Cukup lama. Kami berteman sejak tinggal di sini."

Begitu.

Bibi berhasil menyuapku sesendok.

Aku hanya diam dan menikmati makan malamnya. Meski masih sedikit bingung dengan semua ini.

"Ada sedikit cerita sebelum bertemu denganmu," ujar Bibi. "Ia tampaknya mengenalmu sejak lama dan barangkali kamu tidak menyadarinya."

"Benarkah?"

Bibi mengiakan. Dia pun bercerita.