webnovel

Negeri Baru – 3

Mendengar kisahnya, pikiranku tertuju pada satu orang.

Arsene.

Ia di sini. Pasti mencariku.

Tapi, siapa si Thomson?

"Bibi," panggilku. "Apa kalungku bercahaya waktu itu?"

Bibi melototi kalungku. "Benda itu bisa bercahaya? Kenapa? Ada apa?"

Aku tidak nyaman jadinya. Akhirnya aku ubah topik. "Lupakan. Bibi tahu tempat tinggal Thomson?"

"Dia tinggal beberapa meter dari sini, sedikit jauh," jawab Bibi. "Aku kemarin berkunjung ke kedainya. Ia pembuat minum yang mahir."

Aku lantas berpikir. Untuk apa Thomson mencari Arsene? Hanya ada dua teori yang muncul, tapi aku takut membongkarnya di hadapan Bibi.

"Levi kenal, ya?"

Oh, tidak. Aku ketahuan.

"Levi?" Bibi menatapku lekat. "Kok bengong?"

"Um, aku ... Punya Papa." Aku benar-benar takut terlalu banyak memberitahu. "Kebetulan ia seperti pria berambut kelabu tadi."

Mata Bibi tampak terbuka lebar. "Papa? Papamu?"

Aku yakin Bibi tidak percaya akibat penampilan kami. Tapi, aku malas berdebat. "Ya."

Bibi menatap tajam ke lantai, tampak berpikir keras seolah menyadari suatu kenyataan pahit. "Levi, siapa ibumu?"

Aku tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Tapi, membalas dengan gaya 'bukan urusanmu' terlalu kasar.

Diam adalah emas, katanya. Kucoba diam untuk beberapa saat.

Bibi rupanya paham. Dia lantas berdiri dan kembali membawa segelas kopi kecil lalu menegaknya. Canggung.

Aku tidak nyaman kalau diam membiarkan lawan bicara begitu saja. Tapi, di sisi lain takut mengumbar.

Karena ...

Entah kenapa para Guardian tampak selalu menyembunyikan sesuatu.

"Levi, makan, yuk!" Bibi berdiri dan langsung keluar.

Aku tanpa ragu menyusul.

Derap langkah bersambutan dari sebelah, diiringi tawa kecil bahkan sesekali jeritan kegirangan.

Bibi pun turut tertawa bersama mereka, entah apa yang lucu.

"Huaaa!"

Bruk! Seseorang menabrakku.

Aku tersungkur bersama beban di punggung.

Bibi mendekat. "Pelan-pelan!"

Tawa riang balasannya.

Aku duduk. Terlihat anak yang jauh lebih kecil dariku tersenyum.

"Ini Levi?" tanyanya.

"Um, ya." Hanya itu yang bisa kujawab.

Bocah itu berlari-lari sambil tertawa. Beberapa anak terlihat melesat melintasi ruang demi ruang tanpa aturan. Bunyi bedebuk bersahutan di atas, menandakan adanya tingkat di tempat ini.

Bibi membimbingku ke ruang yang penuh dengan bocah-bocah, sebagian sebaya sebagian pula lebih muda. Kebanyakan berlarian ke sana ke mari, berebut sendok hingga tempat duduk.

Begitu melihat Bibi, mereka jadi sedikit lebih kalem lalu duduk berjajar.

"Ini Levi, teman baru kita." Bibi memegang bahuku. "Baik-baik dengannya, ya."

"Iya, Ma!" Mereka menyahut bersamaan.

Aku disuruh duduk di samping bocah lain. Kali ini tampak sebaya denganku.

Ia tersenyum. "Hai." Anak itu menyerahkan sepiring kue kecil padaku.

Aku menerimanya. "Terima kasih."

"Eits, sebelum makan, berdoa dulu." Bibi yang sudah duduk kemudian mengatupkan kedua tangan.

Aku amati anak-anak lain, mereka mengikuti gerakan Bibi. Tanpa berpikir panjang, menuruti saja meski tidak tahu apa yang dipanjatkan.

Makan malam kali ini hanya berupa camilan dan kue yang besar dan beberapa potong daging, cukup membuatku kenyang hingga esok hari.

Anak-anak di sini tidak begitu banyak, barangkali tidak lebih dari lima puluh orang termasuk aku dan Bibi. Bisa jadi panti ini baru dibangun.

"Jangan lupa sehabis makan, kalian ucapkan syukur kepada-Nya, ya!" pesan Bibi.

Sebagian besar dari mereka mengiakan. Sebagian lagi mungkin hanya di hati mengucapkannya. Yang pasti, aku akan bertanya apa saja yang perlu diucapkan selama makan dan setelahnya nanti.

Segelas teh diserahkan padaku. Membuat aku teringat akan pria yang mendatangi Bibi waktu itu.

Ia mencariku.

Jauh di sana, entah sedang menunggu atau mengamati dari jauh.

Yang pasti, ia tahu aku siapa.

Aku melirik jendela. Hanya langit malam tanpa bintang maupun bulan. Kalau hari ini aku mendapat petunjuk, maka mungkin besok bisa membujuk Bibi untuk pergi bersama ke kedai pria misterius tadi.

Tidak mungkin ia mencari Arsene tanpa alasan dan aku harus tahu motifnya.

Barangkali ia kawan.

Atau justru lawan.

Tapi aku tidak bisa menyimpulkan.

Mungkin saja ada yang ingin ia sampaikan.

Mungkin saja.