webnovel

Ilusi – 7

Petir membelah angkasa.

Vampir itu melayang di udara seakan sedang menari. Sementara sosok pria lain mengejarnya dengan gesit.

"Remi!"

Nemesis berdiri tak jauh dariku. Tubuhnya dipenuhi bercak darah. Ia tertatih-tatih mendekat. Aku menghampiri dan langsung mendekapnya.

Terdengar raungan.

Aku mendongak.

Sosok makhluk raksasa mengaum. Aku tahu itu Tirta. Ia sedang melawan sesuatu di udara, disertai kekuatan badai dan petirnya.

Nemesis melepas pelukan. Berlari ke dalam bayangan.

"Nemy!"

Terdengar raungan. Tanah bergetar, aku berjuang menyeimbangkan diri.

Saat itulah, cahaya putih menguasai pandangan disertai auman. Suara Tirta sayup-sayup memelan hingga lenyap ditelan badai.

Ia tidak terlihat.

"Kakek!" panggilku.

Badai menipis, berganti dengan malam yang damai. Beserta tatapan dingin para manusia itu. Tidak ada siapapun yang kukenal, baik Tirta maupun Nemesis bahkan Zibaq sekalipun.

Sebentar lagi pagi. Kulihat semburat cahaya muncul dari timur. Menandakan sebentar lagi fajar.

"Tangkap dia!"

Kulihat sebuah jaring berisi seseorang berpakaian serba hitam. Ditarik di tengah mereka.

Aku terkesiap, tidak menyangka Guardian-ku gugur melawan mereka. Makhluk macam apa ini?

"Itu dia!"

Sebuah batu melayang ke arahku.

Aku menghindar lalu melesat tanpa memedulikan apapun. Berjuang bertahan hidup.

Jeritan pun menggema.

Aku menoleh.

Bayangan hitam kembali menyelubungi. Itu jelas dari vampir tafi. Entah ia mencoba menyelamatkanku atau ada niat lain.

"Remi!"

Suara Nemesis menganggetkanku. Aku refleks mencari sumber suara. Ia berdiri jauh di depan. Aku langsung mengejarnya.

Berkat bayangan musuh kami, tidak ada lagi yang menghalangiku mendekatinya.

Begitu kudekap, tubuhnya dipenuhi bau anyir.  Entah darah siapa. Kulihat lukanya belum pulih, padahal setahuku ia bisa menyembuhkan diri dengan cepat.

"Kamu tak apa-apa?" tanyanya.

Aku mengiakan.

Tanpa disuruh lagi, aku menyusul lari Nemesis. Kami berhasil menjauh dari kekacauan tadi sambil berharap mendapat tempat berlindung baru.

"Kaupikir mau ke mana?" Vampir tadi muncul dengan seringai di wajahnya.

Nemesis tampak tenang atau malah tidak peduli. Kedua mata merah bertemu, menciptakan atmosfer dingin.

Tidak ...

"Apa maumu?!" seruku padanya. "Jangan sakiti Guardian-ku! Lepaskan dia!"

Ia berdecak. "Ck! Jangan ikut campur, bocah!" Ia melesat ke arahku.

Aku mundur.

Buk!

Nemesis berhasil mendorong lawan kami hingga terlempar jauh. Ia melesat, tampak bersiap menghabisi, seolah tidak terluka sebelumnya.

Keduanya bagai menari di udara, menghias malam yang perlahan terkikis. Antara takut dan cemas, aku berdiri menyaksikan.

Kuraih batu kerikil di bawah kaki, mencoba menolong sekecil apapun.

"Ugh!"

Seseorang mencengkeram leherku. Jemarinya seakan menusuk hingga membuatku kesulitan bernapas.

Aku berjuang memberontak.

Harus ... Bebas ...

Demi ...

Tubuhku terangkat.

"Kamu seharusnya belajar dari pengalaman, Pangeran." Bisikan vampir itu membuat bulu kudukku meremang.

"Lepaskan!" seru Nemesis.

Ia melesat ke arah kami.

Begitu dekat ...

Ia melemparku menjauh.

Krak!

Kudengar Nemesis merintih pelan.

Aku terpaku. Pikiranku berkecamuk.

Tidak ...

Jangan ...

"Nemy!" raungku.

Tangan mereka saling menusuk satu sama lain, tangan vampir itu menusuk perut Nemesis. Sebelah tangan Nemesis mencoba menahan cakaran musuh. Keduanya saling menahan.

Jangan sampai ...

Cahaya keputihan perlahan muncul di cakrawala. Tertanda malam akan berakhir. Jika mentari memancarkan sinarnya ...

Aku berlari. Hendak menolong.

"Nemy!"

Bruk!

Aku tersungkur akibat sesuatu di tanah. Meringis, sesuatu menggores kaki.

Aku langsung bangkit. Tidak boleh. Tidak boleh!

Nemesis mencengkeram leher lawannya. Mendorong vampir itu menuju sinar mentari.

Buk!

Nemesis menarik tangannya lalu menendang.

Tusukan di perutnya terlepas.

Nemesis menggerang. Terduduk sambil menahan pendarahan. Darah menetes mengotori tanah, ia gemetar.

Kudengar vampir itu meraung. Tubuhnya mengeluarkan asap selagi terkikis. Sinar mentari membakarnya secara perlahan.

"Terkutuk! Terkutuk!" serunya selagi ia tertatih-tatih membebaskan diri. Percuma, tubuhnya telanjur hancur diterpa sinar matahari.

Ia tidak merintih lagi atau mengumpat.

Perlahan lenyap. Tersapu udara pagi nan segar. Bersamaan dengan terbitnya fajar.

Kudengar rintihan pelan.

"Nemy!" Aku mendekat. Panik.

Jangan sampai terjadi. Aku tidak akan kehilangan–

Nemesis duduk di bawah sinar matahari. Menunduk sambil memegang perutnya yang bersimbah darah. Terbatuk, tampak berjuang bernapas.

"Nemy!"

Kucoba menariknya ke tempat naung. Namun, tubuhnya perlahan mengeluarkan asap.

Nemesis berbisik. "Pangeran, kamu ... baik-baik saja?"

Air mataku menggenang. Aku lantas menggeleng. "Jangan ... Kumohon!"

Kutarik tangannya. Namun, ia terlalu berat. Kakiku telanjur sakit. Kupaksakan untuk bergerak hingga menyeretnya semakin dekat ke naungan.

"Jangan paksakan diri." Ia berbisik.

Aku lantas duduk di depannya, berjuang menahan air mata. Melihat deritanya seolah aku yang terluka. Aku tidak ingin Guardian-ku sakit atau ... Pergi.

Kutarik paksa bagian lengan bajuku yang panjang untuk dijadikan perban. Namun, nihil. Aku terlalu lemah.

"Ayolah!" erangku sambil menariknya.

Air mata perlahan membasahi pipi, frustrasi.

Percuma. Jemariku menjerit, menyuruh berhenti. Aku terus menariknya, mencoba dan mencoba. Berharap membuahkan hasil barang sedikit.

Kenapa aku tidak mampu menolong Guardian-ku? Kenapa aku tidak sanggup menyelamatkannya? Aku ...

"Remi."

Suaranya kian serak dan pelan. Bagai bisikan.

Kutatap mata merahnya. Tidak lagi memancarkan keteguhan. Ia tampak lebih lunak dari sebelumnya.

Tangisku pecah.

"Jangan sedih." Nemesis tersenyum. "Pangeran tidak ... menangis."

Aku lantas memeluknya. Berharap dapat memberinya kekuatan. "Nemy."

Ia elus rambutku dengan lembut. "Lihat, fajar telah tiba. Engkau aman ... Sekarang."

Aku menyanggah.

Aku hanya ingin hidup bahagia dengan Guardian-ku. Duduk bersama menyaksikan mentari terbenam atau berlari di atas dedaunan di musim gugur, maupun menikmati malam musim dingin dengan cokelat hangat. Sebagai keluarga.

Aku tidak boleh kehilangan!

Darahnya membasahi tubuhku. Bau anyir kuabaikan. Terus memeluk, seolah takut melepaskan.

Jangan ...

"Kumohon." Aku terisak. "Jangan pergi!"

Nemesis berusaha menenangkanku. "Sudah jadi tugasku sebagai ... Guardian."

Aku ingin menyanggah.

"Melindungimu, sampai di penghujung ... Napas."

Aku lantas mendongak.

Pantulan cahaya matahari telah sampai ke tempat kami. Aku mencoba membopong Nemesis ke tempat yang lebih aman. Akan kucari pertolongan. Ia harus bertahan!

"Nemy?"

Ia tidak menyahut.

"Nemy ..."

Jangan ...

Kubopong ia meski tubuhku terlalu kecil. Berharap dapat menahan semesta untuk tidak merenggutnya selagi berjuang menghindari sinar mentari.

Kumohon, jangan ambil Guardian-ku! Aku tidak ingin ia menderita!

***

Aku sampai di padang bunga tempat tinggal kami dulu sambil terus menyeretnya di antara bayangan pohon. Aneh, tidak ada siapa pun di sana.

Kuseret Nemesis dengan susah payah ke dalam sebelum pantulan cahaya melukainya.

Kutatap sekeliling, lega tidak melihat bahaya. Tekadku membulat, kutarik Nemesis ke dalam. Semakin cepat tapi kakiku pegal.

Akhirnya, tiba juga di 'rumah.' Tempatnya tidak beda jauh dari terakhir kali dilihat.

"Nemy?" Kulirik ia.

Ia tidak menyahut. Darah perlahan menggering.

Perlahan, kubaringkan ia sambil menyelimutinya dengan jubah Arsene. Kini, tugasku tinggal menunggu.

Kutatap kalungku, cahayanya buram.

"Semoga kamu cepat sembuh," bisikku.

Kuhela napas sambil membaringkan tubuh di sisinya.

Andai aku tahu.

Andai waktu itu aku tidak menjumpai Arsene.

Andai aku bisa cegah Zibaq.

Mereka tidak akan terluka.

Guardian yang lain akan bahagia bersama keluarganya.

Kyara akan menjadi saudariku.

Kami akan jadi keluarga. Duduk bersama bercengkerama sambil menikmati hari. Bercerita tentang pengalaman sehari-hari tanpa beban dan duka.

Andai ...

Andai ...

Dunia terasa berputar.

Kepalaku terasa berat.

Memburam ...

Gelap.

***

Tubuhku terasa digendong. Kepala masih terasa pening, pandangan buram serta pikiran berkecamuk.

Di mana ini? Kenapa hari jadi gelap?

Aku rupanya sedang digendong seorang.

Ia berlari, selagi menggendongku.

Kenapa terburu-buru? Ada apa?

Begitu hendak bergerak, tubuhku seolah membeku.

Siapa dia? Ke mana dia membawaku?

Kulirik kalung, benda itu redup.

Dari kejauhan, kudengar seruannya.

"Jangan! Kembalikan dia!"