webnovel

Naga dari Kikiro – 5

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

«Azya»

Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.

Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.

"Kalian cukup tunduk padaku," ujarnya. "Maka hidup kalian terjamin."

Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.

Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.

"Ylfa!" panggil Ibu. Beliau terdengar panik.

Aku tengah berdiri di antara anak-anak seusiaku bermain. Hanya itu yang bisa kulakukan semasa kecil.

Begitu menoleh, kulihat bayangan pasukan Sakhor mendekat.

***

Aku terpaksa menunggu di lingkaran para pelindung selama beberapa saat. Begitu mencapai puncaknya, aku hanya bisa memandang sekeliling sementara pasukan Kyrvec menyerang para binatang.

Terdengar lolongan bersahutan, menyerukan sangkakala perang, membelah kesunyian malam. Pasukan Kyrvec bagai bayangan menyelimuti mentari, membabat habis apa pun yang menghalangi. Pasukan Sakhor yang sudah siaga, melawan hingga titik darah penghabisan. Perang pun pecah.

Darah membanjiri tanah kelahiranku. Beberapa anak turut menjadi korban bagi yang terpisah sementara aku masih berlindung sebisanya di tumpukan kain.

"Malang sekali," pikirku. "Ia akan menjadi tawanan perang, berikutnya budak."

Buk!

Saat itulah, pandanganku memburam.

***

Begitu bangun, aku disambut pemandangan mengerikan.

Pembantaian.

Namun, pelakunya adalah seekor rubah raksasa yang mencabik-cabik setiap makhluk yang menghalangi. Sebagian, kulihat ada pasukan Sakhor dibantainya. Sakhor sendiri sudah lenyap entah ke mana.

Aku menggigil di antara jeritan dan lautan darah. Diselimuti kain tipis yang ada, tidak tahu harus berbuat apa. Hanya menangis melihat kawananku tewas.

Mayat bergelimpangan, tanah dibanjiri darah serta potongan tubuh dan organ berceceran. Bau anyir menyebar menusuk hidung, tampak tiada celah lagi untuk selamat.

Namun, aku justru selamat entah kenapa.

Kulihat sosok rubah itu menggeram. Begitu mendongak, moncongnya tepat di atas kepalaku.

Aku mencengkeram kedua telingaku, gemetar.

Saat itulah, kudengar raungan keras. Rubah tadi berhenti mengendus.

Aku membuka mata.

Seekor naga bersisik ungu menerjang lalu menghabisinya di depan mataku.

Aku terlalu takut. Kupejamkan mata.

Seseorang berseru dengan bahasa yang berbeda. Aku belum pernah mendengarnya.

Aku tengah diselimuti dengan kain penuh darah. Begitu mengerjapkan mendongak, aku melihat seorang wanita tampak sedang mencari sesuatu.

Si wanita berseru sambil menunjukku di antara mayat kawananku. Aku terkejut melihatnya mendekat. Mengira itu pasukan Sakhor, tangisku pecah.

"Ibu!" isakku. "Ayah!"

Seorang pria berambut putih perlahan mendekat. Begitu aku mendongak, ia menatapku dengan lembut. Berbeda dengan pandangan orang lain yang biasa kulihat. Matanya merah, namun tidak memancarkan kobaran api. Ditatapnya jasad di sekelilingku.

Ayah, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Sementara di sebelahnya, hanya tersisa kepala juga.

Pria itu mengamati. Entah mengapa, tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku.

Ia menatapku. "Siapa namamu?"

Aku heran bagaimana bisa ia bicara bahasa Kyrvec, belum pernah kulihat ia selama hidupku, meski rambut putih bukan hal aneh di sini. Sementara di belakangnya, hanya ada wanita berkulit sawo matang dan berambut biru safir.

Karenanya, aku bisa menjawab. "Ylfa."

Ia lalu menatap wanita yang sedari tadi terpaku. Awalnya, aku tidak paham bahasa mereka. Setelah tinggal di negerinya dalam waktu lama, barulah aku mengerti.

Ia bilang pada wanita itu. "Kubur mereka! Sebelum ia datang!"

Sementara wanita berambut biru itu menyibukkan diri mengubur, pria tadi duduk di sisiku. Demi mencairkan suasana, ia bertanya dalam bahasaku.

"Kapan ini terjadi?" tanyanya.

"Baru saja." Aku enggan bercerita lebih jauh.

"Apa yang kamu lakukan saat itu?" tanyanya.

"Melihat anak lain bermain."

"Lalu?"

"Sakhor datang ... Mereka lalu melawan."

Ia terus bertanya. "Apa yang terjadi setelahnya?"

"Mereka lalu menyerang kami," lanjutku. "Dan aku pingsan entah kenapa."

"Bagaimana kamu bisa lolos?"

"Entah. Mungkin aku ... sempat berlindung di ... selimutku." Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Air mata menggenang membasahi pipi.

Pria itu mengelus rambutku, aku jadi ingat akan mendiang orangtuaku.

Aku memeluknya ketika tangisku pecah.

Ia terus membelaiku sampai aku terbuai, hingga suara cempreng tadi mengagetkan.

Wanita berambut biru itu berseru dalam bahasa asing. Namun, aku paham bahwa dia mendesaknya.

Pria berambut putih itu, tidak disangka, justru menggendongku yang masih diselimuti.

Ia membawaku ke keretanya.

Di kereta kuda, ia memberiku makan dan pakaian baru. Baru kusadari, itu seharusnya menjadi barang dagangan.

"Aku bisa gantikan," ujarnya ketika diprotes oleh wanita itu. Aku heran kenapa ia menggunakan bahasa Kyrvec saat bicara pada rekannya tadi.

Aku diam sambil membiarkannya memasang sebuah baju kebesaran untuk menghangatkanku. Ia dekatkan sepiring kue dan teh hangat.

"Jangan sungkan." Pria itu tersenyum. "Aku lega setidaknya ada yang selamat. Untuk sementara waktu, tinggallah di Kikiro."

Kikiro? Aku sepertinya pernah mendengar nama itu.

Si wanita lalu bicara dengan dialek berbeda. Mereka mulai mengobrol dengan bahasa asing. Aku jelas curiga lagi heran.

Pria berambut putih itu menatapku. "Ah, rubah yang menyerangmu tadi belum mati. Namanya Sada Kyoki. Sementara Sakhor hilang jauh sebelumnya."

Aku diam saja.

"Kamu butuh nama Kikiro," ujarnya. "Untuk berlindung, orang Kikiro harus mengenalmu sebagai bagian dari mereka."

Aku mengiakan, tidak tahu lagi harus jawab apa.

Ia berpikir sejenak. "Kamu mau marga baru atau margaku?"

"Apa itu marga?" tanyaku. Di desaku, tidak ada istilah seperti itu.

"Nama keluarga."

Ah, barulah aku paham. "Di desaku, kami tidak punya nama keluarga."

"Begitu, ya?" Ia termenung. "Pakai saja margaku."

Aku mengiakan lagi.

Pria itu bicara lagi. "Aku Oruko Takeshi. Oruko adalah marga buatan. Aku sepertimu, tidak punya nama keluarga."

Aku mengiakan, tanda mendengar.

"Karena kamu anak asuhku, kamu berhak memakai margaku," lanjutnya.

"Jadi, namaku bukan 'Ylfa' lagi?"

Ia mengiakan. "Mulai sekarang, namamu adalah Oruko Azya. Bersama, kita akan membalas kematian sukumu."

Sejak saat itu, aku belajar memanggilnya dengan sebutan "Otosan."

***

Kami tiba di sebuah rumah besar yang belum pernah kulihat. Entah kenapa, aku tidak bisa lepas dari pria ini. Terus berdiri di belakang sambil mencengkeram bajunya.

Seorang gadis berambut turquoise melambaikan tangan. Melihatku, dia terkesiap lalu bertanya dengan bahasa yang diucapkan pria itu.

Aku menunduk, tatapannya terlalu liar.

Otosan terkekeh. Ia lalu bicara dengan bahasa asing lagi.

Kulihat, gadis itu mengangguk.

Otosan kembali bicara dalam bahasaku. "Dia Oruko Hayya, saudarimu."

Aku mengiakan.

"Aku akan mengajarimu bahasa sini," ujarnya. "Untuk saat ini, makanlah. Jangan biarkan perutmu kosong."

Tidak kusangka ia ternyata bisa memasak. Semua yang diolahnya begitu enak. Aku menikmati dengan pelan seakan tidak tega menghabiskan. Sebuah nikmat yang belum pernah kurasakan selama hidupku.

Setelahnya, aku dituntun ke sebuah kamar sederhana. Namun, belum pernah pula kunikmati kasur seempuk ini. Aku terlelap dengan selimut hangat ditaburi bintang di malam hari.

***

Pada hari pertama di Kikiro, Otosan mengajariku bahasa sana. Berawal dari kalimat sapaan.

Pada hari kedua, ia mengajariku sapaan dalam keluarga dan beberapa kalimat yang bisa digunakan pada percakapan sederhana. Setelahnya, aku berencana akan memanggilnya "Otosan" sebagai bentuk penghormatan.

Pada hari ketiga, ia mengajak Hayya-chan bicara langsung padaku sebelum pergi ke Aibarab untuk mengurus sesuatu. Awalnya sedikit terputus-putus dan canggung. Sungguh, Hayya-chan banyak sekali bicara.

Percakapan berawal dengan sederhana hingga aku dengar beberapa orang berbisik dalam bahasa Kikiro. Bersama Hayya-chan, kami dengarkan dengan menguping.

"Oruko-san sudah gila!" ujar si pria kepada teman-temannya. Mereka terdiri dari empat orang, sepasang pria dan wanita.

"Dia sudah mengadopsi penyihir dan sekarang seekor binatang? Dia bisa jadi anak buah Sakhor!"

"Sudahlah, bukannya orang Kyrvec bisa mengendalikan akal seperti kita? Lagi pula, hanya dia satu-satunya yang tersisa."

"Tetap saja!"

"Hei, setidaknya dia semua berubah sejak keruntuhan negeri itu. Kalian mau era itu kembali?"

Mereka diam saja.

"Biarkan saja, pastikan tidak akan terulang lagi."

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵