webnovel

Naga dari Kikiro – 6

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

"Lalu ... Apa katanya?" tanyaku.

Azya diam sejenak. "Um, habis itu mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku dan Hayya lalu menunggu kepulangan Otosan."

"Kamu atau Hayya tahu masa lalunya selain fakta kalau ia penduduk Shan dulu?"

"Ya. Tapi, beliau sepertinya memang lupa sesuatu. Kami yakin seseorang mengacak ingatannya."

Meski selamat, ia tidak luput dari serangan hilang ingatan. Aku jadi penasaran, benarkah sikapnya selama ini berbeda dengan yang dulu? Kalau iya, seperti apa?

"Permisi, Lian-chan, aku ke kamar." Azya langsung meninggalkanku.

***

Aku memetik rangkaian bunga dari kebun selama menunggu kepulangan Takeshi. Aku dan Hayya duduk di pondok sambil merangkai tumbuhan yang ada. Kupegang rangkaian bungaku yang acak-acakan untuk dijadikan mahkota bersama Hayya.

"Tara!" Hayya memamerkan mahkota bunganya. Dia lalu memasangnya kepadaku. "Kamu cantik kalau pakai ini."

Aku tersenyum tulus sambil memamerkan milikku. Yah, meski tidak sebagus punya Hayya, lebih mirip tali temali dibandingkan rangkaian bunga.

"Ini untukmu." Aku pasangkan bunga itu ke kepala Hayya.

Hayya berputar ria dengan mahkotanya sambil bersenandung. Kendati mahkotaku tampak menyedihkan. Hayya sepertinya menyukai karyaku bagaimanapun bentuknya.

Aku jadi ingat dengan masa lalu Takeshi. Shan tampaknya sangat mirip dengan Shyr dan Aibarab. Bisa saja para penyihir yang selamat membangun pemukiman di sana dan membangun keluarga baru.

"Ah ya, Okaasan itu penyihir?" Hayya tiba-tiba bertanya.

"Okaasan?" heranku. Siapa itu?

Hayya terkikik. "Kami memanggil Mariam dengan sebutan Okaasan, artinya 'Ibu.'"

Oh, ternyata.

"Um ... Kurasa tidak," jawabku atas pertanyaan tadi. Mariam tidak pernah menunjukkan tanda kalau dirinya bisa menyihir. Teknik bertarungnya bahkan sangat tidak asing dan bisa kutiru.

"Hm, aneh," komentar Hayya. "Biasanya Guardian punya kekuatan khusus dari lahir."

"Mungkin kepandaiannya." Aku menebak. "Dia cukup pandai soal sihir, pernah mengubah penyihir menjadi gelas."

"Oh, yang itu." Hayya mangut-mangut, "Otosan pernah bercerita."

"Mereka saling kenal?" heranku.

"Otosan selalu minta bantuan darinya. Sebenarnya mereka tiga bersahabat, tapi ia lebih dekat dengan si Mariam. Makanya kami panggil dia Okaasan."

"Siapa yang satunya?"

"Raja Khidir."

Oh, ternyata. "Soal Mariam, kamu tahu kabarnya?"

Hayya mengangkat bahu. "Aku justru ingin bertanya."

Kapan dia kembali? Itu yang kupikirkan sejak tinggal di sini. Menunggu sambil berharap cemas.

Aku jelas merasa berutang budi. Apalagi setelah semua ini, aku merasa harus datang kepadanya dan setidaknya mengucapkan terima kasih.

"Eh, itu Azya!" tunjuk Hayya. "Eh, siapa itu?"

Seorang gadis datang bersama Azya. Keduanya bagai kembar karena memiliki warna rambut yang sama, biru pucat. Bedanya, dia tidak punya "telinga" seperti Azya.

Gadis itu bertubuh sama mungilnya dengan Azya, meski sedikit lebih kurus dan tampak lebih pemalu dilihat darinya yang berkali-kali menundukkan pandangan entah kenapa.

"Aku Aoi," kata gadis itu. "Aku ingin mengirimkan surat dari Mariam kepadamu."

Azya langsung duduk di sisi Hayya, tidak mau berkomentar sama sekali.

Mariam?

Seakan membaca pikiranku, Aoi melanjutkan. "Dia mencarimu, katanya akan menyusul."

"Bagaimana kabarnya?" tanyaku. Sedikit janggal jika Mariam punya kenalan semuda ini. Maksudku, harusnya dia mengutus seseorang yang lebih tua untuk urusan ini.

"Aku menemukannya terluka dekat jembatan yang rusak," ujar Aoi. "Aku mengobatinya beberapa hari ini."

Aku lega mendengarnya. "Terima kasih."

"Dan juga, Mariam menyampaikan bahwa dia sangat mencemaskanmu dan kamu sebaiknya bersamaku karena aku bisa melindungimu," ujar Aoi. "Kita semua tahu apa yang akan terjadi."

Azya menyahut. "Apa? Aku tidak tahu kabar terkini."

"Siluman rubah itu," jawab Aoi. "Dia mungkin akan menyerangmu."

Aku mengangguk. "Aku tahu, kok. Lagipula, ada banyak orang di sini."

"Mereka mungkin lengah," sanggah Aoi. "Pokoknya, jangan jauh-jauh dariku."

Aku membalas. "Kalau kamu?"

"Tenanglah," ujar Aoi, tanpa ekspresi sedari tadi. "Dia tidak mungkin menyerangku."

"Yakin sekali." Hayya berkacak pinggang.

Aoi menatap Hayya dengan dingin. "Aku tidak tahu caranya. Yang pasti, wanita itu tidak akan menerkamku."

"Kamu Pengalih-Rupa?" Azya menyipitkan mata. Telinganya tampak turun seolah tidak suka dengan ucapan lawan bicaranya.

"Tapi, aku tidak mampu membangkitkan ruh dalam diriku," sanggah Aoi. "Entah karena usiaku yang belia atau kurang berlatih. Aku bisa dibilang masih manusia."

"Aku juga," sahutku.

Hayya mengalihkan topik. "Kalau begitu, mari bermain!"

Sementara Oruko Bersaudari dan Aoi bermain, aku menyempatkan diri membaca surat itu.

Aku tahu kamu di sini. Kamu baik-baik saja? Temanku bilang Takeshi menyelamatkanmu dan aku lega mendengarnya. Ingat pesanku, Aoi adalah anak baik dan akan melindungimu.

Ketika hendak membalas suratnya, Hayya berseru memanggilku.

"Ayo, main!" Hayya melambaikan tangannya. "Kita akan main kejar-kejaran!"

Aoi terkikik, dia tidak lagi tampak bagai boneka berjalan. "Kejar-kejaran! Aku yang manusia dan kalian ruh jahat!"

Entah kenapa, senyumannya yang lebar membuatku tidak nyaman. Kendati demikian, kami tetap bermain sebagai ruh jahat sementara Aoi mengejar kami.

"Ruh jahat! Jangan lari!" seru Aoi sambil tertawa.

"Coba saja kalau bisa!" Aku menjulurkan lidah sementara Hayya tertawa ria.

Azya melompat ke sebuah pohon dan lolos dari terkaman Aoi.

"Hayya-chan! Lian-chan!" Seruan Azya lenyap begitu saja, namun kami terus berlari.

Kami berlari cukup jauh dari kebun Takeshi hingga sampai ke perbatasan luar.

Aku justru tidak menyadarinya. Terlalu sibuk berlari dan tertawa. Bahkan mengabaikan rasa takutku akan bahaya mendatang.

"Hei!" seru Aoi. "Kalian bisa memanjat pohon seperti si kucing tadi?" Dia tunjuk pohon yang menjulang tinggi di samping kanan.

"Iya, dong!" Hayya memanjatnya tanpa gentar hingga mencapai dahan pertama, masih paling bawah. "Tuh, aku sakti mandraguna!"

Aoi terkekeh. "Kita lihat saja."

Aoi memanjat jauh lebih tinggi dibandingkan Hayya. Dengan bangga berseru, "Aku lebih hebat darimu, Hayya-chan! Hei, Lian-chan, kamu takut?"

"Aku tidak takut!" balasku.

Tidak mau kalah, aku ikut memanjat. Meski kesulitan, akhirnya aku berhasil menuju dahan ketiga yang mana lebih tinggi dibandingkan Hayya dan Aoi.

Aoi tidak mau kalah, dia panjat dahan keempat sementara Hayya terus memanjat. Tentu saja aku tidak terima dan menyusul. Jangan sampai kalah meski tidak tahu apa yang didapatkan jika berhasil memenangkan pertandingan kecil ini

Tidak peduli beragam kotoran dan keringat menempel di bajuku, aku terus memanjat jauh tinggi hingga Aoi dan Hayya tertinggal di belakang.

Aku akhirnya berhasil mencapai puncak pohon. Tidak memandang ke bawah sehingga tidak tahu persis di ketinggian mana. Yang pasti, sekarang harus berbangga karena bisa melampaui kedua anak di bawahku.

"Aku yang terhebat!" seruku sambil berjingkat-jingkat ria. Begitu senang menyadari kalau aku suatu saat akan bisa sekuat mereka bahkan bisa jadi melampaui.

Aku kembali berjingkat.

Krak! Dahannya patah.

Hanya jeritan Hayya yang kudengar. "Lian-chan!"

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵