webnovel

Naga dari Kikiro – 4

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Dia bilang apa? Aku dari Shan?

Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?

Tapi ...

"Aku tidak ingat apa-apa," bantahku.

Takeshi tampak bingung. "Tidak ingat?"

Aku jelas tidak tahu.

Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.

"Otosan! Otosan!"

Pria itu lantas keluar. "Kenapa, Hayya?"

"Aku belum mengucapkan 'Selamat malam.' Selamat malam!"

***

Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.

"Lian-chan! Ada apa denganmu?" Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. "Kamu merasakan getaran tadi, ya?"

Aku mengangguk. Barulah sadar, getaran itu berhenti beberapa detik yang lalu.

Hayya terkekeh. "Kamu ini, itu Otosan. Ia hendak pergi."

Hayya menarik aku yang bengong ke halaman depan. Seekor naga bersisik ungu duduk di atas batu raksasa di depan kami.

"Makhluk apa dia?" bisikku.

"Man-Beast. Makhluk yang dapat mengubah wujud dari manusia ke hewan tertentu," jelas Hayya.

Ah, aku jadi ingat Safir. Dia nyaris mencuri barang kami, saat ditangkap malah berubah jadi rubah.

"Jadi, makhluk itu sering muncul di sini–Kikiro?" tanyaku.

"Ada banyak Man-Beast, tapi cuma satu yang sering merusak kebun Otosan, ia juga membunuh sejumlah gelandangan di desa-desa Kikiro," jelas Hayya. "Ia dapat berubah wujud menjadi rubah putih dan memakan jantung manusia agar bisa hidup abadi. Walau Man-Beast memang tidak menua tapi mereka bisa mati. Makanya dia mau abadi."

"Siapa namanya?" tanyaku. "Tinggalnya dekat sini?"

"Namanya Sada Kyoki," jawab Takeshi dalam wujud naganya. "Dia yang paling tua di desa ini."

"Di Kikiro banyak Man-Beast, tapi hanya dia yang mengacau," ulang Hayya.

Bayangan Safir terus menggerogoti pikiranku. Entah kenapa, aku yakin dia ada kaitannya dengan ini.

"Otosan!" Azya mendekat, dia mengucek mata dan tampak berkali-kali mencoba membuka mata. Barangkali baru bangun. "Mau ke mana?"

"Kalian jaga diri selama aku pergi ke Aibarab," kata Takeshi. "Aku ada urusan di sana."

"Berapa lama?" Hayya tampak cemas.

Takeshi mengelus pelan rambut Azya dengan kuku. "Sehari saja."

Azya mengiakan.

"Kalian mau titip apa?" tanya Takeshi.

"Makanan khas Aibarab!" Hayya mengangkat tangan.

"Kalau Azya?"

"Um, mau itu juga."

Tatapan Takeshi beralih padaku.

Aku merasa tidak nyaman, memilih diam.

"Kamu mau juga?" tawar Takeshi.

Aku kian ragu, terpaksa setuju meski tidak nyaman meminta.

Ia lalu terbang, meski tanpa sayap. Aku terpana menyaksikan keajaiban ini. Kulirik Oruko Bersaudari, tetap menunjukkan kekaguman, meski jelas hidup bersama Takeshi lebih lama dibandingkan aku.

Kami pun menunggu kepulangannya.

***

"Lian-chan! Sudah datang!"

Seruan Hayya refleks membuatku beranjak dari duduk lalu berlari keluar.

Terlihat rombongan pulang sambil membawa hasil dagangan, kami dengan sabar menunggu Takeshi.

"Biasanya ia berada di barisan terakhir, memastikan tidak ada yang tertinggal sekaligus menjaga dari serangan mendadak," tutur Hayya selagi kami menunggu. "Itu dia! Otosan!"

Rombongan ini tampak berasal dari Aibarab. Terlihat jelas dari rupa dan warna kulitnya yang kuning langsat, sementara orang Kikiro sedikit lebih pucat.

Hayya dan Azya mendekati ayah mereka yang kini dalam wujud manusianya. "Otosan!"

Takeshi berlutut lalu memeluk mereka.

"Aku mau ikut," ujar Hayya sambil merapikan rambut ayahnya yang mulai acak-acakan.

"Nanti." Takeshi menatap rombongan yang sedang menyusun barang. "Aku lega mereka sembuh dengan cepat."

Kami tatap mereka. Sebagian kulihat sedang menunjukkan luka tusukan maupun goresan. Aku kaget, jelas heran dari mana dan bagaimana bisa itu terjadi.

Mereka bicara dalam bahasa Kikiro yang diselipi logat Aibarab. Membuatku salah kira kalau mereka bicara dalam bahasa yang kumengerti.

Hayya lalu menerjemahkannya untukku sehingga aku tahu apa yang mereka ucapkan.

"Para bandit tadi nyaris merampas barang dagangan," tutur salah seorang dari mereka. "Beruntung pria berambut putih itu menyelamatkan kami."

Mungkin inilah alasan Takeshi melarang Hayya ikut. Kami perlu menghindari serangan dari para bandit. Jika ikut sekarang, bisa saja kami terluka bahkan mati begitu keluar dari Kikiro.

"Lapar, ya?" tanya Takeshi pada kedua anaknya. "Kalian tidak memasak?"

Hayya menggeleng. "Aku menunggumu."

"Azya sudah makan?"

Azya mengangguk pelan. Begitu pula denganku begitu ditanya.

"Kalian kenapa tidak makan?" Takeshi bertanya.

"Hai, Oruko-san!" seru salah satu penduduk Desa Embi. "Kamu tidak beri putrimu daging para bandit?"

Kami tatap tumpukan daging, hasil dagangan. Begitu tatapanku beralih, bulu kudukku seketika merinding.

Ada pula tumpukan mayat bandit yang hancur entah karena Takeshi atau diserang balik oleh rombongan ini. Ini bukan kanibalisme? Siapa tahu mereka mungkin sejenis kami.

"Aku tidak akan memberi putriku daging kotor!" tegasnya.

"Singkirkan simpatimu pada musuh, sebaiknya kita pikirkan cara mempertahankan diri!" balas mereka.

"Mereka bisa jadi manusia, penyihir atau seperti kalian. Kenapa makan daging mereka kalau ada makanan lain?"

Balasan Takeshi seketika membungkam mulut mereka. Aku heran, apakah mereka biasa memakan jasad musuh?

Takeshi mendorong kami menjauh, kembali ke kuil.

***

"Izinkan aku ikut berperang nanti!" ujar Hayya saat kami menunggu Takeshi memasak.

"Kamu terlalu muda soal berperang," kata Takeshi. "Biar aku yang berperang, kamu siapkan bekal dan obat."

Hayya menyilangkan tangan. "Aku berutang budi padamu. Biarkan aku berperang di sisimu!"

Takeshi hanya mengambil daging yang baru lalu membakarnya.

Hayya cemberut lalu menjerang air. Jelas, dia mendambakan pertumpahan darah di tangannya, melihat musuh terkulai lemas di hadapannya sambil menyaksikan malaikat maut menjemput jiwa malang mereka. Kendati demikian, Takeshi tetap menyuruhnya diam di rumah.

"Tapi." Hayya melanjutkan debat. "Gadis boleh berperang."

Aku yakin dia bicara soal Mariam.

"Kalau sudah dewasa," sanggah Takeshi. "Kamu bahkan takut darah."

Takeshi menata makanan dibantu oleh Azya. Aku memilih diam selagi mereka melanjutkan debat.

"Aku berani, kok!" Hayya lalu duduk dan menyantap daging.

"Kamu juga lari mendengar jeritan," balas Takeshi. "Sudahlah. Makan sebelum dingin!"

Hayya makan tanpa protes. Jujur, aku sebenarnya setuju jika dia ikut bertempur di sisinya. Namun, ada betulnya Takeshi melarang hingga waktu yang tepat. Ada banyak musuh di luar sana yang lebih mengerikan.

Selesai makan, Takeshi menyuruh kami tidur sementara ia akan melanjutkan pekerjaannya di luar.

"Aku tahu ia sebenarnya lebih memilih menjaga kami ketimbang mengawasi sekitar," bisik Hayya padaku. Dia lalu berseru, "Otosan! Ikut!"

"Jangan!" Takeshi menahannya di pintu. "Kamu bakal lelah."

"Aku tidak akan mengantuk."

"Tidak!" Takeshi menahannya lalu menutup pintu.

"Otosan!" Hayya merengek sambil mengintip di balik jendela. "Sekali saja!"

Takeshi membalas dengan dingin. "Tidak."

Lalu ia pergi.

Hayya berpaling dengan cemberut, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata pum. Gadis itu melanjutkan langkah dalam diam, barangkali ke kamarnya.

Kulirik Azya yang sedang diam, aku hendak membantunya bersih-bersih setelahnya.

"Pernah sekali Hayya mencoba bermain keluar pada malam hari. Dia kepergok dan berakhir dengan jeweran dan ceramah panjang yang bahkan tidak mampu kami cerna, ia seakan bicara pakai bahasa asing. Otosan sudah menyediakan sesuatu yang menghibur, seperti mainan atau buku. Namun, hanya aku yang menikmatinya," tutur Azya.

Aku paham perasaannya, Hayya bisa dibilang versi lebih berani dibandingkan aku, atau barangkali Mariam saat masih kecil jika sifatnya tidak berubah.

"Aku lupa bertanya," ujarku. "Dari mana asal rombongan itu? Apa ceritanya?"

"Kudengar dari Otosan, mereka korban yang selamat dari serangan Sakhor," jawab Azya.

"Apa maunya?" tanyaku.

"Dia punya dendam dengan Otosan."

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵