webnovel

Misteri Negeri Awan – 6

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Istana itu bagai tertidur. Tiada tanda kehidupan selama beberapa saat. Aku melirik semua orang, tidak ada yang berkomentar.

"Ada apa?" tanyaku.

Idris maju, diiringi kami semua. Ada yang tidak beres.

Aku terus bertanya, tidak ada yang membalas. Terpaksa aku menutup mulut dan membuntuti hingga masuk ke istana. Hanya Ariya dan Nisma yang turut serta. Yang lain memilih menunggu seakan tahu nasib berikutnya.

Aneh.

Sepi.

Padahal ada banyak orang yang bekerja di sana sebelumnya. Barangkali kabur setelah kedatangan kadal tadi.

Terdengar dari kejauhan dentuman keras disertai pecahan kaca. Kami memelankan langkah, berusaha agar tidak terdengar.

Pengawal yang seharusnya berjaga, kini lenyap entah ke mana. Suara yang kami dengar rupanya berasal dari ruang singgasana.

Mariam memegang bahuku, seakan takut aku menjauh. Pandangannya lurus ke punggung Idris yang memimpin.

"Apa-apaan ini?!" bisik Nisma dengan nada panik.

Aku merasakan sentuhan aneh dari lutut. Aku menunduk.

Sulur tanaman perlahan melingkari kakiku. Aku menoleh. Kami terjebak dalam sulur yang sama, termasuk Idris.

"He—"

Ucapan Nisma terpotong. Mulutnya dililit sulur. Dia meronta dengan sia-sia.

"Mariam!" seru Idris. "Lindungi dia!"

Mariam memotong dahan yang mengekang kakinya lalu membebaskanku. Dia langsung menyeretku menjauh. Meninggalkan mereka terjebak bagai kepompong.

Aku menoleh. Dahan dan sulur perlahan menguasai istana. Ada apa ini? Bukannya semua sudah berakhir? Barulah aku sadar, ada satu orang yang belum ditangkap.

Seruan Mariam menganggetkanku. "Kyara!"

Duk!

Sebuah dahan roboh tepat di depan. Nyaris menghalangi jalan. Seketika itu pula sulur menutupinya, seakan hendak menyimpan sesuatu di baliknya.

Mariam mencengkeram erat bahuku. Dia menggenggam erat pedangnya.

Terlihat benjolan dan retakan dari dahan. Menciptakan lubang-lubang kecil darinya. Terlihat gumpalan hitam mencuat. Menggeliat dan memutar tubuh hingga tampaklah seluruh badan. Binatang itu mirip laba-laba. Tanpa wajah, hanya terdiri dari geligi tajam disertai delapan kaki. Nyaris sebesar kadal Sakhor.

Mariam menarikku mundur. Pedangnya siap dihunus, kendati tampak gemetar entah karena takut atau geram.

Binatang itu melompat.

Mariam menebas pedangnya. Membelah binatang itu menjadi dua. Tampak darahnya yang hitam menghiasi organ dalam disertai bau amis. Aku sampai menutup hidung saking jijiknya.

"Apa itu?" bisikku.

"Aku ... Tidak tahu." Mariam melirik sekeliling.

Benar saja. Ribuan binatang yang serupa bermunculan dari balik dahan. Saat itu pula, sebagian terbelenggu oleh sulur. Mereka berjuang melepaskan diri sementara sisanya mencoba meraih kami.

Wanita itu terus mengayunkan pedang. Bersamaan dengan jatuhnya puluhan binatang itu. Anehnya, mereka bergerak seakan tidak tentu arah.

Buta.

Hanya melihat kegelapan, namun insting berburunya begitu kuat. Menggeliat mencari mangsa dengan penciuman. Sebagian jatuh dengan perhitungan yang salah, menghantam lantai. Menciptakan peluang bagi Mariam untuk membunuh mereka.

Aku mencoba meraih benda tajam yang ada. Hanya batu sisa runtuhan kecil akibat dahan yang mulai menguasai istana. Kulempar satu per satu ke mulut merrka. Meski sebagian besar mampu ditelannya bulat-bulat, setidaknya ada yang tersedak. Mariam dengan mudah bisa membunuhnya.

"Ariya!" seru Mariam.

Kami mendongak. Ariya berjuang melepaskan lengan dan kakinya dari belenggu sulur.

Mariam memotongnya dan lanjut menyerang binatang itu.

"Diam, Binatang!" Ariya melotot.

Tidak ada yang terjadi. Malah binatang itu melesat hendak menyerangnya. Ariya berhasil menghindar dengan kebingungan.

"Mereka buta," kataku. "Mungkin kita butuh bantuan keluargamu yang lain."

"Kekuatan Nisma tidak berguna jika berada di lantai. Dia harus menggunakan tanah atau setidaknya tempat adanya mayat." Ariya mengacak rambutnya yang sebiru langit malam. Tampak frustrasi.

Aku menghela napas. Sebenarnya kami bisa menggunakan sihir lain kalau bisa. Tapi–

Ariya memekik riang. Bersamaan dengannya berjuang membunuh binatang itu menggunakan kepalan tangan bertubi-tubi. "Aku tahu! Aku tahu!"

"Apa?"

Sebuah benda mirip anak panah melesat dari udara dan mengenai dahan-dahan. Lidah-lidah api hitam berkobar, merambat cepat ke seluruh dahan. Membakar hidup-hidup binatang yang terkekang. Tarian api melesat lagi, disusul ledakan yang seketika membunuh segerombolan binatang yang siap menyerang.

Hanya aku dan Mariam yang tercengang. Menyaksikan gemeretak api yang perlahan terkikis dan desiran angin lembut membisik kalbu.

Aku mendongak.

Pria itu pucat, sementara pakaiannya serba hitam. Selaras dengan mata dan rambutnya. Ia pelan-pelan turun dari dahan yang berjejer menggunakan tongkatnya.

"Abi!" Ariya berjingkat-jingkat.

Mariam menghampirinya. "Count."

"Mana Adam?" Count balas bertanya. "Kulihat hanya ia yang tidak ikut."

"Mana Nisma?" tanya Ariya.

"Mencari pasukan," balas sang ayah. "Beritahu aku, Mariam! Di mana adikku?"

"Adikmu? Bah! Dia sendiri bahkan tidak menganggapmu," ejek Mariam. "Kukira kamu yang menolongnya."

Count membalas. "Kalian tahu lawan kita?"

Tidak ada balasan.

Pria itu mendesah kesal. "Aku akan mencari adikku, dengan atau tanpa kalian!"

Ia langsung menjauh sambil membawa tongkatnya sebagai penopang kaki kirinya.

"Abi! Tunggu!" Ariya serta merta menyusulnya. Meninggalkan kami berdua bersamaan dengan abu musuh kami yang berserakan menghiasi udara.

Mariam menghela napas. "Aku cemas."

"Aku juga," balasku. "Ada apa dengan Khidir?"

Mariam tidak membalas. Dia berjalan menyusul Count Wynter. Aku mengekorinya tanpa komentar. Kami melanjutkan langkah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Ada suatu hal yang perlu kauingat, Gadis Hijau," ujar Count Wynter. "Sakhor termasuk bawahanmu di Shan, tapi bukan Guardian."

"Apa?!" Aku refleks bertanya. "Kenapa dia tidak bilang? Dia siapanya aku?"

Count malah mengangkat bahu. "Pokoknya, dia dan Hiwaga sama saja."

"Ibuku tidak bersalah!" seru Mariam. Namun, dia tidak mengucapkan argumen apa pun.

Count meneruskan langkah seakan tidak terdengar apa-apa. "Ah, kamu perlu mengembalikan ingatan gadis itu. Dia berhak kembali memimpin negerinya."

"Sudah, kita tinggal menunggu!" tukas Mariam. "Katakan padaku, apa yang terjadi di sini?"

"Raja Safar al-Khidir sedang beradu otot dengan Sakhor," tutur Count. "Tapi, aku belum menemukan adikku."

Tibalah kami di ruang singgasana. Tampak lenggang. Kecuali itu dipenuhi dengan sulur yang terpotong atau terbakar entah kenapa. Sebagian tirai dan patung yang menghiasinya kini hancur lebur, tiada bedanya dengan mayat musuh kami yang bergelimpangan di lantai. Laba-laba itu barangkali peliharaan Sakhor.

Aku melirik Mariam. Wanita itu jelas siaga.

Terdengar suara gaduh dari balik tirai yang masih utuh. Count mendekat dan membiarkanku mengintip sedikit.

Khidir berdiri dengan jubah kerajaan yang robek. Darah segar mengalir dari pelipisnya. Ia berdiri dengan tenang menatap lawannya yang lebih rendah.

Di sampingnya, Idris hanya memegang sebilah pedang dengan siaga. Ia tampak dilarang mengubah wujud kendati keadaan cukup mendesak, terus melirik sahabatnya dengan gelisah, seakan tidak sabar menebas musuh.

Khidir mengangkat sebelah tangan. Memberi isyarat.

Idris menurunkan pedangnya. "Teruskan rencana kalian. Kalau kalian menginginkan tubuh Khidir, silakan. Baginda telah menyerahkan diri."

Idris mengundurkan diri, diiringi tatapan Khidir yang terus mengawasi.

"Aku menyerahkan diri tanpa syarat," ujar Khidir. "Kamu telah menang. Aku akan kembali ke liang kalian dalam keadaan hina dina."

Sementara Khidir bicara, Idris diam-diam mengitari makhluk bertubuh pendek itu, lalu mengamati dengan pelan.

Sakhor berdiri bersama kumpulan makhluk mirip laba-laba itu. Siaga menjaga.

Ketika Idris hampir sampai dekat targetnya, salah satu dari makhluk itu menyadari kecerobohannya.

Idris melompat sambil mengayunkan pedang. Begitu mendarat, pedangnya mengiris daging targetnya yang tak berdaya.

Idris menatap kawanan Sakhor yang gentar. Mereka mundur selangkah demi selangkah, menghindari tatapan mata Idris.

"Mau ke mana? Aku belum selesai." Khidir memotong pidatonya.

Dahan tumbuh dan mengurung makhluk-makhluk itu ke dalam lingkaran kecil hingga mereka seakan dikubur sampai leher.

Idris menangkap sekelebat warna perak di sebelah kanannya, diikuti desing belati mengiris sehelai rambut putihnya. Idris mengangkat pedangnya tepat waktu untuk menangkis sabetan belati Sakhor. Namun, sosok mungil itu lebih kuat dari kelihatannya. Ia nyaris kehilangan keseimbangan.

Khidir menggerakkan jemarinya.

"Calvacanti!" serut Count.

Kami semua terkejut, termasuk semua yang berada di balik tirai.

Cahaya kuning menyilaukan ruangan. Muncul sosok lamia mencengkeram Sakhor. Ia mengangkatnya seperti boneka lalu berpaling hendak melapor.

"Ini, Tuan!" seru Calvacanti.

Count mengangguk lalu menghampiri Idris yang terduduk. Ia membantunya bangkit dan menepuk-nepuk bahu adiknya.

"Kamu baik-baik saja?" ucap sang Count.

Idris mengangguk pelan lalu menatap Khidir yang tidak kalah kagetnya.

Count melirik penjaga hartanya, Calvacanti paham. Ia mendekat sambil menyeret leher Sakhor yang berjuang memberontak dengan sia-sia.

"Kami serahkan kepalanya untukmu, Yang Mulia," ujar Count.

Khidir mengamati lawannya yang masih berjuang membebaskan diri. Aku tahu, hatinya terlalu lembut lantaran terpancar dari tatapan penuh pengampunannya.

"Sebagai bentuk terima kasih," balas Khidir. "Kuserahkan musuhku pada kalian. Engkau, Penjaga Harta Wynter, silakan bermain bersamanya sesukamu."

Calvacanti menyeringai. Ditatapnya Sakhor yang ketakutan. Pria itu merinding, jelas tersiksa dengan tatapan lamia itu.

"Wah, Anda baik sekali, Yang Mulia! Terima kasih banyak!" Calvacanti lalu berpaling menatap tuannya. "Mau Anda simpan di mana, Tuan?"

Count melirik putrinya. "Ariya!"

Gadis itu maju dengan sedikit berjingkat. Dia mengarahkan tatapan tajam pada Sakhor. Calvacanti menahan kepalanya agar tidak menghindar dari kutukan Ariya.

Sakhor meronta. "Tunggu! A ... Aku ..."

Khidir membuka mulut, hendak mencegah. Semua sudah terlambat.

Sakhor kini membatu. Menjadi hiasan baru di rumah keluarga Wynter.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵