webnovel

Misteri Negeri Awan – 5

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Sakhor berdecak. "Kau kira aku mati?"

"Tidak juga." Khidir membalas. "Orang sepertimu sukar mati."

"Bahkan lebih sukar dibandingkan kalian dan Shan," sahut Sakhor.

"Shan tidak mati," tukas Khidir.

Tunggu, benarkah?

"Shan akan bangkit," ujar Khidir. "Perlu waktu lama menunggunya kembali."

"Kita pada dasarnya sama, para Guardians dari Shan," kata Sakhor. "Kita pembunuh haus darah, dan posisi kita juga sering bergantian."

"Kalau begitu, mengapa engkau membenci? Kalau sama, mestinya kita berteman," sahut Khidir.

Sakhor berdecak. "Cih! Mana mungkin aku bergaul dengan sosok sepertimu?"

Khidir memberi isyarat kepada Idris. Sahabatnya paham lalu menghampiri Sakhor.

"Kamu kami beri pilihan ; berhenti menggunakan sihir hitam, atau menyerahkan diri," tawar Idris. "Kalau engkau menolak keduanya, terpaksa kami lawan."

Sakhor mendengkus. "Tawaran macam apa itu? Apa salahnya menggunakan sihir hitam? Tidak semua pengguna sihir hitam jahat."

"Para Guardian ditugaskan untuk menjaga dunia dari sihir hitam," ujar Mariam. "Kamu termasuk yang beruntung, karena kami tidak akan membunuhmu, untuk saat ini."

Sakhor menatap tajam Mariam. "Hei, kamu tidak tahu menahu tentang masalah kami, sebaiknya diam saja!"

"Dia teman kami sejak tujuh dekade," ujar Khidir. "Tidak ada rahasia antara kami."

Sakhor menyeringai. "Begitu, ya? Lalu, kenapa dengan gadis ini? Kalian tampak sangat menjaganya."

Aku meringkuk di belakang Mariam.

Wanita itu menyahut. "Ada beberapa hal yang tidak perlu diketahui."

Lawan bicaranya menyeringai. "Begitu? Yah, aku jadi bimbang antara memutuskan hubunganku dengan semua ini atau menyerahkan diri."

"Kamu boleh bergaul kalau bukan jadi penyihir hitam lagi," tanya Idris. "Kamu bisa jadi teman kami."

Sakhor menatapnya jijik. "Untuk apa? Demi apa?"

"Demi Shan," jawab Khidir. "Kujadikan engkau sebagai sahabat."

"Maaf, tawaran kalian terlalu menggelikan." Sakhor tersenyum.

Aku merasakan getaran di lantai. Mariam refleks menggenggam tanganku.

Saat itulah, muncul sosoknya. Makhluk yang telah lama mendekam dalam masa lalu. Yang selama ini terlupakan. Dia yang menuntunku ke jalan ini. Secara tidak langsung membantu sekaligus mencelakaiku. Ibuku menyatu padanya.

Ia meraung.

Sisik hitamnya mengilau bersama dengan hancurnya lempengan atap istana akibat amukannya. Keempat kakinya membabi buta. Tiada benda yang selamat dari cakaran mautnya.

Khidir melindungi kami di bawah daun raksasa.

"Dia lolos!" seru Idris.

Khidir hanya berdecak. Aku tahu ia sudah lelah dengan pria itu. "Idris! Bantai dia!"

"Daulat!"

Muncullah sosok naga ungu yang langsung menerjang kadal itu. Rupanya, ukuran si kadal jauh lebih kecil dari yang kukira. Kendati demikian, aku tetap saja ngeri melihatnya. Besarnya saja jauh melebihi kuda, namun sangat kecil dibandingkan Idris.

"Mariam, bawa kabur Kyara!" titah Khidir.

Mariam mengangguk. Dia menarikku menjauh. Padahal aku ingin sekali menyaksikan pertarungan tadi.

"Bukan saatnya untuk bermain, Kyara," tegur Mariam. "Ini saatnya untuk berlindung."

"Aku ingin membantu!" sanggahku. "Aku berutang budi dengan kalian!"

"Nanti saja!"

Dia membawaku lari hingga keluar istana. Aibarab ternyata lebih ribut dari biasanya, bahkan jauh melebihi kepanikan serangan binatang tadi.

"Kalian harap tenang!" seru Mariam. "Khidir dan Idris sudah mengendalikannya!"

Mereka tidak mendengar. Yang ada malah seruan panik warga sekitar. Tangisan, umpatan dan jeritan tidak jelas berbaur menjadi satu. Membuat kepalaku sakit.

"Kalian tidak mau diam, ya. Lucu sekali."

Aku menoleh. Suara cempreng itu.

Seluruh tatapan tertuju padanya.

Dia berkacak pinggang. Tersenyum bangga sambil menatap tajam warga Aibarab. Aku terpana menatap mata birunya yang indah. Bagai sungai jernih di tengah negeri gersang. Lembut, penuh kasih–

"Hei!" Mariam mencolekku.

Aku menutup mata. Lalu membukanya lagi. Terkesiap.

Seluruh warga Aibarab seketika panik. Mereka tidak mampu menggerakkan anggota tubuh dan ucapannya saja terpatah-patah.

"Hen ... Tikan."

"A ... Ampun."

Semua sia-sia. Mereka kini menjadi batu. Persis seperti Kota Saghra. Kulirik gadis itu. Mata birunya kini tampak biasa saja.

"Huft! Rakyat Aibarab lebih cerewet dari rakyatku," keluhnya. Ya, aku mengenal gadis itu. Dia menatap kami. "Oh, Hiwaga–maksudku, Mariam dan ..."

"Kyara." Mariam, entah kenapa, berani menyebut nama asliku.

"Wah, lama tidak bertemu, ya," ujarnya. "Aku Ariya Ferant Elzalis Wynter putri dari–"

"Ariya, hentikan!" seru gadis berambut hitam. "Kakak jangan sok penting di sini."

"Hei, peranku lebih penting, Nisma!" balas Ariya. "Aku bisa membuat rakyat cerewet menjadi patuh."

"Patung, Ariya, patung," koreksi seorang wanita yang sampai sekarang, masih menjadi wanita tercantik yang pernah kulihat.

"Iya, Ibu." Ariya mengangguk. "Lalu, apa?"

"Biar ayah kalian yang mengurus," ujar Countess Wynter, dia lalu menatap Mariam. "Ah, Hiwaga atau Mariam. Lama tidak berjumpa."

"Aku lebih senang kita tidak akan bertemu lagi setelahnya," sahut Mariam.

Countess Wynter tertawa kecil. "Kamu lucu, seperti suamiku."

"Sebaiknya kalian perbaiki hubungan dengan kami atau kita berdua akan mati di sini!" ancam Mariam.

"Kalian tidak punya alasan untuk memaksa," balas Countess. "Tidak ada rakyat Aibarab yang terluka. Mereka hanya tidur sebentar baru kami lepaskan."

"Kenapa?" tanyaku.

"Mereka merepotkan," sahut Ariya. "Biar Arsya saja yang urus mereka nanti. Aku hanya membebaskan."

"Kalian apakan mereka?" tanya Mariam. "Jangan sampai ada yang terluka!"

Countess Wynter mengibas tangan. "Ah, bukan begitu. Kami hanya menyuruh mereka diam seperti batu."

Mariam bersedekap. "Mana suamimu?"

"Bersama Akram dan Arsya, membantu melawan monster kadal," jawab Countess.

DUAR!

Sosok monster kadal meluncur dari tembok istana. Tubuhnya menghempas ke tanah. Ia berlari ke arah Mariam.

Wanita itu menarik pisaunya.

Krak!

Sosok lain menusuk leher monster kadal. Makhluk itu meronta.

"Idris!"

Mariam menghunus pisau lalu menancap leher makhluk itu. Dia memegang tangan sahabatnya sambil menahan leher sang monster yang terus meronta, berjuang mempertahankan posisi sekaligus membunuhnya.

Kulirik Countess. Dia menyeringai. Tubuhnya dipenuhi cahaya biru pucat. Rambut indahnya bergelombang bak ombak dalam lautan. Saat itulah, dia arahkan tangan ke Mariam dan Idris.

Byuuur!

Baik monster kadal, Mariam dan Idris ikut terseret ombak.

"Sekarang!" seru Countess.

Arsya mengangguk. Dia angkat tangannya.

Muncul puluhan rantai berujung lancip membelah angkasa, juga musuh kami. Monster itu terbelah. Seperti ikan yang dipotong kecil-kecil. Darah dan daging membasahi tanah Aibarab.

"Mariam!" seruku. "Idris!"

Keduanya tampak berpelukan di dinding rumah warga yang basah. Lebih tepatnya, Idris yang mendekap Mariam pada dadanya. Ia melonggarkan pelukan saat kutatap dengan penuh kepolosan.

Mariam langsung melepas pelukannya. "Apa-apaan, Countess?!"

Countess Wynter berdecak. "Aku membantu. Sebagai sesama bangsawan, kita berhak saling menjaga. Bukankah begitu, Adam?"

Idris diam saja. Membiarkan air yang tersisa mengalir di rambut putihnya. Mariam membantu mengeringkan rambutnya.

"Aku ketinggalan?"

"Suami!" Countess memeluk Count Wynter. "Bagaimana?"

Suaminya membalas. "Yah, tidak buruk. Meski aku nyaris membuat Khidir malu akibat tersinggung."

"Sudah kubilang, rencanaku selalu lancar." Countess mengedipkan sebelah mata. "Tidak seperti Khidir kita."

"Sudahlah, aku tidak mau kena masalah lagi, Khidir sudah geram." Count Wynter melepas pelukan. "Lalu apa? Kaumau aku minta maaf?"

Countess Wynter mengangguk.

Count menghela napas lalu melirik kami. "Anggap saja jasad monster itu sebagai permintaan maafku."

"Ya," balas Mariam datar. "Setidaknya engkau tidak menyakiti anak ini."

Count melirikku. "Jadi ini anak yang dibicarakan Khidir dan Adam, he? Sudah kuduga."

Aku menunduk.

Count masih saja memanggil Idris dengan nama lamanya, tak peduli situasi.

Mariam menyahut. "Kamu perbaiki saja hubunganmu dengan Idris."

Idris diam saja. Entah apa yang dipikirkannya.

"Kamu sebaiknya membalas perasaan adikku," balas Count. "Seperti aku membalas perasaan istriku."

Idris sontak melirik Mariam.

Countess Wynter memeluk lalu mencium pipi suaminya. Aku memalingkan muka lantaran jijik.

Mariam mendengkus. "Terserah. Kamu tidak dapat untungnya, toh."

"Aku mau melihat adikku menjadi pribadi yang baru." Count menatap Idris. "Seperti aku. Ya, pada dasarnya kami individu yang sama."

Idris melirik istana yang bagian luarnya rusak. Kami semua mengikuti arah pandangnya.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵