webnovel

Misteri Negeri Awan – 7

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Kulihat keduanya. Duduk bersama menatap langit Aibarab. Di bawah sebuah pohon rindang sambil menikmati buah-buahan.

Suasana kota kembali tenang setelah Ariya mematahkan kutukannya. Ya, cara gadis itu mengatur rakyat bisa dibilang kejam. Beruntung tidak ada yang protes apalagi terluka. Untuk sementara waktu.

Beberapa saat sebelumnya, aku menyimak obrolan antara Count Wynter dengan Idris.

"Terima kasih atas bantuannya, Kakak," kata Idris. "Aku benar-benar tidak menduganya. Engkau baik sekali."

"Engkau sekarang mau menjadi adikku?" heran Count Wynter. "Aku tidak layak menjadi kerabatmu. Apalagi setelah kejadian yang kita lalui."

"Aku tahu Ayah yang salah," sahut Idris. "Dan aku ingin meminta maaf."

"Yang salah ayahmu, kenapa kamu yang meminta maaf?" balas Count. "Sudahlah! Urus saja asmaramu dengan wanita itu. Aku sudah duluan menikah. Kini, giliranku yang memberi hadiah pernikahan."

Keduanya tertawa. Ringan dan renyah. Membuat hatiku terasa nyaman.

"Nah, itu dia," ujar Count. "Ayo, sapa!"

Mariam menghampiriku. "Sedang apa di sini?"

Tidak kusangka Mariam bakal mengucapkannya. Aku membalasnya dengan santai pula. "Menunggu perintah."

Mariam tertawa pelan. "Lebih baik ikut aku ke taman. Aku tahu kamu butuh udara segar."

"Mariam, tunggu!" Idris menyusul kami.

Kulihat Count menyeringai.

***

Yah, disinilah kami. Lebih tepatnya, Mariam dan Idris, duduk berdampingan di bawah pohon menikmati tenggelamnya matahari. Sementara aku hanya menonton dari belakang sambil sibuk memetik rumput dengan iseng.

"Bosan, ya, Pahlawan Kecil?" Dari suara, sudah jelas siapa itu.

Aku menoleh lalu mengiakan.

Khidir tersenyum lalu duduk di atas rumput di samping kiriku.

"Kenapa Khidir memanggilku Pahlawan Kecil?" heranku. "Padahal aku tidak banyak bertindak."

Ia membelai rambutku. "Ini soal masa lalu. Tetapi, aku masih mengingatnya. Putri Azeeza dulu pernah menolongku, dia menyelamatkan nyawaku."

"Tapi, itu bukan seberapa." Aku menyanggah. "Kalau dibandingkan jasa kalian."

"Kalau tidak ada kamu, aku pasti mati sejak lama." Khidir berkata.

Aku menatap Mariam dan Idris yang masih duduk dalam diam. Betah juga, berjam-jam hanya menikmati pemandangan tanpa suara.

"Kyara paham apa yang terjadi?" tanya Khidir.

Aku menggeleng, seketika teringat seseorang. "Aku jadi ingat pengalamanku di Kikiro dulu. Ada Pengalih-Rupa yang belum bisa mengendalikan kekuatannya, namanya Aoi, cucu Nenek Kyoki. Aku jadi penasaran dengan nasibnya."

"Begitu, ya?" Khidir tertegun. "Kalau dia tahu Idris, dia tidak akan berani."

Dia kembali menatap Mariam dan Idris. "Kamu tahu apa yang mereka lakukan?"

"Aku tidak tahu," balasku jujur.

"Keduanya sudah sering begitu," ucap Khidir. "Tampaknya, aku jadi penengah, ya?"

Aku tidak menyahut. Mana mungkin aku paham.

"Kalau begitu." Dia berdiri. "Mari, kita pulang dan biarkan keduanya mengobrol."

***

Khidir berbaring di kasurnya, memejamkan mata namun tidak terlelap. Aku duduk di meja rias sambil memandang rambutku yang hitam, aku mulai merindukan rambut hijauku. Ia menyuruhku menemaninya barang sejam. Aku mematuhi. Lagipula, tidak ada kegiatan lain selain menemani pria itu.

"Soal adikmu," kata Khidir, masih memejamkan mata. "Dka tinggal di Ezilis."

"Siapa adikku?" tanyaku.

"Namanya Farees, sementara namamu Azeeza," jawab Khidir. "Berbeda dari kami, kalian justru hilang ingatan setelah dilahirkan kembali. Barangkali kesalahan dari pemimpin kami."

"Lalu, dia bereinkarnasi sebagai siapa?" tanyaku.

"Dia tinggal di Ezilis di sebuah panti," balas Khdiri. "Barangkali, setelah rencana Mariam dan Idris selesai."

"Bolehkah aku menemuinya?" tanyaku. Selama ini, aku hanya anak semata wayang dan sangat mendambakan kehadiran adik.

"Tentu saja." Khidir mengganti posisi berbaring, entah niatnya ingin tidur atau tidak. "Pemimpin kami juga berencana akan mencari rekan kami yang lain."

"Bukannya kamu yang jadi Raja?" tanyaku. "Seharusnya kasta teratas yang menjadi pemimpin, bukan?"

"Ada raja lain yang lebih kuat dariku," katanya. "Namun, dia yang selamat dari keruntuhan Shan seperti kami. Ia juga yang membantu yang lain bereinkarnasi dan membangun rencana selama ini."

Aku menguap pelan.

Khidir perlahan bangkit lalu menghampiriku. "Tidurlah. Biar aku menjagamu."

"Tidak masalah?" tanyaku. "Aku bisa tidur sendiri."

"Ah, jam tidurku memang singkat," ujar Khidir. "Lagipula, malam ini giliranku menjagamu. Besok, giliran Mariam."

"Aku akan pergi besok?" tanyaku. "Ke mana?"

"Untuk sementara ini, tinggallah di istana," balas Khidir. "Selama Zahra ada di sini, kamu ada teman."

"Aku tidak mau menjadi beban," balasku. "Mungkin ikut Mariam jadi pengelana."

Khidir tertawa renyah. "Untuk apa? Tidak ada tugas khusus dariku."

Aku lalu berbaring di kasurnya. Ia menyelimutiku.

"Khidir," panggilku. "Bolehkah aku memanggil begitu?"

"Panggil aku Khidir kalau mau," balasnya. "Atau Safar, itu nama depanku, Safar al-Khidir."

"Apa rencanamu setelah ini?" tanyaku.

"Memajukan Aibarab," jawabnya. "Juga membesarkanmu. Agar kita bisa berkumpul kembali di Shan bersama sebagai keluarga. Seperti sedia kala."

Ia tersenyum lalu meraih lilin dan meletakkannya di meja rias. Menjadikannya sebagai meja membaca sambil menjagaku.

Keberuntungan barangkali berpihak padaku. Jika suatu saat aku menjadi Mariam, aku bertekad akan membantunya bersama para Guardian mengembalikan Shan.

Aku memejamkan mata. Membayangkan masa depan yang menanti. Entah itu menuntunku menuju jalan yang penuh bunga atau duri.

***

"Sekarang, kamu mau pergi ke mana?" tanya Mariam pagi harinya.

Idris tersenyum. "Kembali ke Kikiro, kembali menjadi Takeshi. Kamu mau ikut?"

Mariam lantas menggeleng. Dia jelas menolak tawarannya, lagi.

"Nah, Khidir, aku izin pamit." Idris menatap Khidir yang berdiri di belakangku. "Betapa pun menyenangkannya ini, aku tidak mau lagi menyusahkanmu dengan tinggal lebih lama."

"Kamu sahabatku, gerbang istana selalu terbuka untukmu," balas Khidir. "Tugasmu sekarang tinggal urus Kikiro dan menjadi kaisar di sana."

Idris tergelak. "Daulat, Yang Mulia!"

Mariam bersedekap. "Sudah. Waktuku tinggal sedikit!"

"Kau tahu kenapa aku sangat menyukaimu?" Idris tersenyum. "Kau termasuk orang yang cocok bagiku."

Mariam melirikku. "Dan kau, Kyara, kuharap kamu tidak senasib denganku."

"Senasib apa?" tanyaku polos. "Aku ingin membantumu memberantas sihir hitam!"

Khidir mengelus rambutku. "Bukan yang itu, Nak. Mariam, kaujangan racuni pikiran gadis ini!"

Mariam mendengkus. "Aku tidak berniat menghancurkannya dari dalam. Aku hanya ingin dia menjadi gadis biasa, bukan tuan putri yang manja."

Idris menyerahkan segenggam permen padaku. Ia mengelus rambutku bergantian dengan Khidir. Aku heran kenapa rambutku menjadi sorotan hari ini.

"Terima kasih atas permennya!" ujarku.

Idris tersenyum. "Yah, aku masih belajar membuat permen."

Mariam menanyai Idris. "Ke mana tujuanmu selanjutnya?"

"Seperti biasa, menjaga Kikiro. Setelahnya, aku akan mengajakmu tinggal di sana," ujar Idris, wajahnya agak memerah. "Kamu mau, 'kan?"

Mariam memutar bola mata. "Terserah."

"Lumayan, mengganti nama," balas Khidir. "Jangan lupa, bakat memasakmu itu perlu disalurkan."

Idris mengangguk. Ia langsung angkat kaki dari istana dan masuk ke kereta. Kami mengamati sampai bayangannya menghilang dari balik gerbang istana yang penuh keramaian.

***

Aku menikmati permen karya Idris. Tidak buruk. Meski terlalu manis bagiku. Teksturnya juga agak keras, mengingatkanku dengan permen murah yang biasa dibelikan Ibu dulu.

Aku dan Mariam sedang duduk di kereta. Atas izin Khidir, kami berkeliling Aibarab. Mariam duduk di depanku, mengamati lautan manusia –atau barangkali bukan–yang memenuhi jalan. Ya, ini hari libur. Tak heran kenapa Mariam menawarkan perjalanan ini.

"Aku teringat dengan Delisa," ujar Mariam. "Dia bilang, kamu bisa jadi anugerah atau ancaman bagiku."

"Sama," balasku spontan. "Dia membuatku ragu, tahu!"

Mariam meringis. "Pelankan suara!"

Aku memelankan suara. "Maaf."

Dia menghela napas. "Semua orang yang kutemui, mereka bisa menolong atau mencelakaiku, begitulah kata Delisa Wynter."

"Aku tidak mau percaya," ujarku. "Lihat, kamu ujungnya mau menjadi temanku."

"Teman?"

"Ya."

Mariam tertegun. "Teman. Yah, setahuku hanya Idris dan Khidir menjadi sosok teman bagiku."

"Kamu tidak pernah bergaul?" tanyaku.

"Tidak juga," balas Mariam. "Aku malas."

Dia bersandar pada kursi kereta. Mengamati lautan manusia yang tidak berujung. Membuat jalanan sedikit macet.

"Kyara," bisiknya. "Menurutmu, apa aku cocok menjadi Pemburu Sihir?"

"Kamu orang terkeren yang pernah kukenal!" seruku mengabaikan fakta kalau kami masih menyamar. "Aku belum pernah melihat wanita sepertimu!"

Tak kusangka, dia malah membalas dengan dingin. "Begitu, ya? Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Maksudku, kamu terlalu keren menjadi Pemburu Sihir," ujarku. "Aku mau jadi sepertimu!"

Hening.

"Hahaha ....!"

Gelak tawanya yang tidak terduga jelas menciptakan suasana canggung antara kami. Apalagi beberapa rakyat Aibarab malah melirik kereta karena penasaran.

"Kenapa memangnya?" Aku mendengkus. "Apa salahnya?"

Mariam berhenti. Dia menahan tawa. "Jangan mau jadi sepertiku. Aku jauh dari kriteria wanita yang layak."

"Ayolah, tidak ada salahnya, 'kan?" sahutku. "Aku mau jadi muridmu, atau asisten. Seperti dulu."

Mariam menggeleng pelan. "Pekerjaan ini tidak sehebat yang kaubayangkan, Kyara. Aku bahkan ingin berhenti jika saja tidak terikat dengan wasiat ibuku."

"Memangnya, ibumu memaksa?" tanyaku.

"Tidak juga," jawabnya. "Ibuku termasuk penyihir hitam, dan aku tidak mau menjadi sepertinya. Tak heran kenapa aku tidak bisa menggunakan sihir, kecuali dalam beberapa kasus yang juga bisa dilakukan manusia biasa."

Aku duduk bersandar di sampingnya.

Terbayang di awal perjalanan kami. Dia terlihat seperti sosok yang hendak menjualku di pasar budak. Kenapa aku berpikir begitu? Yah, karena memang pikiranku sejak dulu selalu dipenuhi prasangka. Kendati dia menyelamatkan nyawaku, aku masih saja ragu. Apalagi dengan ramalan Delisa yang terlalu mengerikan itu. Meninggalkan jejak menggantung di benak. Apa maksudnya? Apa dia memberiku pilihan atau justru mencoba memengaruhiku?

Tapi, kejadian demi kejadian berlalu, perlahan menghapus prasangka burukku tentangnya. Kini perasaan kami sejalan, seolah sehati dan sejiwa. Rasa saling menghargai dan percaya satu sama lain.

Aku melirik Mariam yang masih sibuk memegang kendali kuda. Jalanan masih saja macet dan lautan manusia kian meliar. Namun, tidak ada sepatah katapun keluar darinya.

"Mariam," bisikku. "Setelah ini, apa rencanamu?"

"Aku menunggu perintah Khidir atau dari pemimpin kami," jawab Mariam. "Untuk saat ini, aku akan mencarikan guru untukmu. Percuma kamu habiskan waktu dengan berkeliling di istana atau Aibarab dengan otak kosong."

Aku terkikik.

"Lagipula, berburu itu tugas kami," lanjutnya. "Kamu tidak perlu repot-repot."

"Aku ingin membantu!"

"Ah, malas berdebat!" Mariam mendengus.

Entah kenapa, aku justru geli mendengar responsnya.

Ternyata begini toh, rasanya punya teman? Yah, selama di Desa Anba, teman-temanku hanya sebatas bermain. Tidak ada yang memberi ilmu, melindungi dari marabahaya, atau memberiku alasan untuk tetap bertahan dan meniti hidup.

Mariam masih sibuk mengurus kudanya, sementara aku malah sibuk berfilosofi di samping tanpa membantu.

"Selain kamu, Idris dan Khidir," kataku. "Siapa Guardian-ku yang lain?"

Mariam merespons. "Kautanya saja kalungmu. Benda itu yang membedakan mana Guardian dengan orang biasa."

"Kamu Guardian-ku sekarang, tapi kenapa tidak bersinar?" heranku. Sepanjang jalan, benda itu tidak mengeluarkan cahaya sama sekali.

"Aku bukan Guardian, hanya ... temanmu." Mariam tampak ragu mengatakannya. Dia kembali memacu kuda dengan sia-sia.

Ketiga orang dalam kisah ini, hanya sebatas awal. Para Guardian lain masih dengan sabar menunggu kedatanganku, maupun adikku yang tidak jelas kabarnya sekarang. Mereka akan menuntunku ke jalan berikutnya. Entah menyelamatkan atau menjerumuskan.

Ini hanyalah awal. Kisah hidup seorang anak yang mungkin suatu saat akan membangun kembali negerinya.

TAMAT