webnovel

Menuju Kebenaran – 9

Gill lindungi kami sementara Nemesis menangkis vampir itu sebelum menyergap. Aku dan Michelle berpegangan tangan selagi menyaksikan makhluk itu mencoba memangsa kami.

Nemesis menahannya dengan kedua cakar, Gill mencoba membantu dengan memukulinya. Alhasil, satu lawan dua yang tampak berhasil. Kuanggap begitu karena lawan kami tidak sekuat yang kubayangkan. Ia tampak berusaha keras lolos dari cengkeraman Nemesis dan pukulan Gill.

Buk!

Dipukul.

Plak!

Gagal menangkis.

Brak!

Ditendang di bagian selangkangan.

Bruk!

Kali ini, ia berhasil menahan tangan Nemesis.

"Kamu lupa siapa dia?!" Ia tatap tajam Nemesis yang mencengkeram tangannya. "Yang kauingat hanya dua anak ini?"

"Aku tidak peduli siapa!" Nemesis menyahut. "Kalau mau masih hidup, jangan sakiti Putri dan Pangeran!"

Makhluk itu menggeram. Ia berjuang bertahan dari cekikan Nemesis. Aku sendiri heran, bagaimana ia bisa bertahan selama itu? Kenapa tidak gunakan kekuatannya?

Baru beberapa saat, Nemesis ciptakan halimun pekat hingga aku tidak bisa melihat Michelle yang berdiri tepat di sampingku.

"Kakak!" seruku. "Kakak di mana?!"

"Sini!" Dia raih aku dan melingkarkan tangan ke bahu.

"Di mana kalian?!" Terdengar seruan sosok itu.

Kudengar seruan Gill. "Nemy, awas!"

Duk!

Aku dengar hantaman keras dari kejauhan. Tak lama, dentuman bersahutan hingga menggetarkan tanah. Kuharap kami tidak menciptakan keributan.

"Nemy!" Terdengar lagi seruan Gill. "Biar kuhajar!"

Duar!

Rupanya, Gill menggunakan petasannya. Kendati demikian, aku tidak melihat hasil ledakannya selain bunyi.

"Remi!" Michelle tiba-tiba menggenggam tanganku.

Aku balas panggilannya dengan nama. "Kak Michelle!"

Suasana menjadi ricuh ketika beragam benda terutama kursi dan meja beterbangan mengelilingi ruangan.

Bruk!

Aku dan Michelle berlindung dengan berlutut sambil berpelukan.

Krak! Krak!

Meja hancur berkeping-keping kala menghantam dinding. Tidak kusangka ada seseorang yang bisa melakukannya, kuharap itu salah satu Guardian.

Kubuka mata dan menoleh, terkejut melihat halimun hitam semakin pekat dan menyesakkan.

"Kakak!" panggilku. "Bagaimana?"

Michelle termenung sejenak. "Ayo, aku ada ide!"

.

.

.

-"Nemy!"

Duar!

Seruan Gill bersamaan dengan petasan nyaris mencopot jantungku. Bagaimana tidak? Tak lama setelahnya, muncul buku yang melesat dan hampir menusuk keningku.

Bruk!

Michelle menarikku menjauh, entah bagaimana dia bisa melihat di balik kabut pekat. Dia tuntun aku menuju sebuah celah yang tampak sebesar pintu.

Duak!

Kami dipukul, begitu keras hingga terdorong beberapa meter.

Sesuatu mendekapku.

Aku mendongak. "Papa!"

"Papa?!" heran Michelle. Sepertinya aku lupa memberitahu.

Tidak kusangka Arsene tiba tepat waktu. Meski masih pucat, ia mampu mendekapku erat. Dapat kurasakan suhu tubuhnya memanas, meski ia menggigil.

"Kamu baik-baik saja?" bisiknya.

Aku mengiakan sambil membalas dekapannya.

Kutatap ke depan, sosok tadi berdiri tanpa ekspresi. Kendati demikian, tatapannya seakan menusuk hingga ke relung jiwa.

Arsene mempererat dekapan sehingga aku tidak bisa menoleh lagi. "Kau ..."

Aku hanya bisa mendengar suara lawan kami. Yang membuatku heran, bagaimana bisa dia hidup kembali? Bukankah kemarin menjadi abu?

"Kamu tahu sendiri tragedi Shan? Ya, ia berhasil bereinkarnasi."

"Siapa?" tanya Arsene.

Tidak ada balasan.

Siapa-

Kudengar sosok itu berdecak. "Aku kagum melihatmu masih saja kuat."

Arsene membalas, "Kamu vampir itu?"

Tunggu, itu berarti-

Ia membenarkan. "Kamu dengan santai menolakku, padahal Nemesis tidak beda jauh."

Arsene balas dengan sinis, "Aku tidak butuh opinimu."

"Kamu kaku," ujar Lucius. "Yah, pada dasarnya, kamu memang kaku dan keras."

"Apa hubunganmu dengan Shan?" tanya Arsene.

Dari balik punggung, aku dapat melihat pantulan cahaya dari pintu luar. Kami semakin dekat menuju atas. Aku paham, Arsene sengaja mengalihkan perhatian Lucius selama mungkin.

"Kalian pasti ingat, menjadi bagian dari kerajan itu tidak semudah mendaftar saja," ujar Lucius. "Harus ada proses panjang. Sayangnya, kalian lolos semudah itu."

"Apa maksudmu?" Arsene perlahan menggendongku dan berdiri. Wajahku masih dihadapkan ke belakang.

"Kenapa bajingan sepertimu lulus?" sahut Lucius. Ia seakan bicara tanpa kehendaknya sendiri. Tatapan kosong, meski tertuju pada kami.

"Kamu tahu jawabannya," balas Arsene. "Dan ... Aku tahu kamu tidak nyata."

Apa?

Lucius terdengar tidak bereaksi selain berucap, "Berarti kamu tahu itu semua terjadi karena kesalahan kalian di masa lalu."

Tidak ada balasan.

"Kalian seharusnya malu, karena tidak ada yang lebih hina dari apa yang kalian lakukan. Jangan bertingkah seolah aku yang salah!" Lucius terdengar marah, ia lagi-lagi seakan tidak bicara dengan pikirannya sendiri. "Kamu tidak becus jadi Guardian!"

Arsene mempererat dekapan, aku bahkan dapat merasakan detak jantungnya. Pelan dan lemah.

"Daripada kamu, tidak lulus." Michelle mendengkus.

Lucius menggeram. Ia melesat.

Duar!

Arsene mempererat pelukan. Aku cengkeram jubahnya. Tercium bau kamar yang tidak dibersihkan selama berhari-hari, namun aku paham kondisinya.

Michelle hanya berlutut, menolak untuk mendekat. Dia tatap ke depan, entah siapa yang ditatap setajam pisau.

Kudengar Lucius menggeram. "Alexiel! Tangkap mereka!"

Mendengar dentuman keras, aku menoleh.

Kulihat Nemesis seakan bermain kucing-kucingan dengan sosok yang kuduga bernama "Alexiel" tadi. Berbeda dengan Lucius, ia berambut cokelat tapi sama-sama bermata merah dan pucat. Namun, lagi-lagi karena Arsene, aku tahu mereka hanya ilusi yang dibuat seolah nyata. Tapi, bagaimana? Apa benar?

Dur! Dur! Dur!

Gill sibuk melempari petasan dan beragam benda di sekitar dengan membabi buta. Sebagian berhasil menyakiti Alexiel hingga makhluk itu merubah wujudnya menjadi kelelawar.

Halimun semakin terkikis hingga tiada lagi yang samar. Aku masih di gendongan Arsene, memegang jubahnya sementara ia diam memandang, tampak berpikir.

Nemesis ikut mengubah wujudnya saar mereka kembali kejar-kejaran. Aku tidak tahu kapan ini berakhir.

Kudengar Michelle menghela napas. Ya, kami bosan beberapa menit kemudian.

"Cukup."

Entah kenapa, aku merinding mendengar suara Arsene itu.

Bayangan hitam menyelubungi kami. Aku terkesiap melihatnya bercahaya ketika menghantam sesuatu, menciptakan bunyi bagai guntur. Kudekap ia selama menyerang lawannya.

Terdengar desisan.

Arsene berputar sebelum Lucius mencakar. Muncul bayangan hitam memukul mundur vampir itu.

Gill mengambil potongan kaki kursi dan-

Brak!

-mengantam Lucius.

Lucius menggerang. "Bang-"

Arsene tutup telingaku sebelum kudengar kalimatnya. Apa bunyinya? Terdengar menarik.

Ia lepaskan. Kini tiada yang bersuara.

Aku akhirnya kembali mendengar. Kutatap lawan kami yang tampak geram.

Alexiel mendesis, namun tidak bisa menyerang berkat Nemesis. Ia terpojok sementara Nemesis siap menghajarnya dengan atau tanpa senjata.

Arsene mengatur napas, dapat kurasakan detak jatungnya semakin kuat namun di saat yang sama, ia kewalahan. "Monsieur Killearn, jangan bunuh ilusi!"

Nemesis cengkeram leher Alexiel. Ia mengiakan.

Lucius pamerkan deretan taring. Ia melesat ke arah Nemesis.

Arsene perlahan menurunkanku. "Hati-hati."

Aku mengiakan.

Ia serahkan jubahnya lalu berlari.

Krak!

Tubuh Lucius dikekang bayangan hitam ciptaan Arsene. Ia meronta dengan sia-sia sementara rekannya tidak berdaya di tangan Nemesis.

"Katakan yang sebenarnya!" titah Arsene. "Siapa kamu?"

Lucius menyeringai. "Kami dahulu ruh dari yang tersakiti."

"Siapa yang tersakiti?" tanya Nemesis, ia kuatkan cengkeraman. "Kalian hanya ilusi! Kalian tidak nyata!"

Alexiel merintih selagi berjuang menahan nyawanya yang terkikis. Aku tidak yakin apakah itu salah satu tipu daya ilusi tadi.

"Ya!" Lucius berseru. "Kalian bahkan tidak menunjukkan sisi Guardian yang sesungguhnya!"

"Kalau begitu." Arsene melirik Alexiel. "Siapa kalian? Kalian hanya ilusi atau ruh, tubuh siapa yang kalian pakai?"

"Pertama-tama, kenalkan dirimu dulu," balas Lucius.

Baik Arsene, Nemesis maupun Gill, semua saling tatap. Tampak ragu. Namun, bagaimanapun juga, mereka ujungnya menyebut nama masing-masing.

"Arsene Perrier."

"Thomas Gillmore." Gill menunduk, seakan takut dipukul.

"Nemesis Killearn." Ia tampak bosan mengucapkannya. "Giliranmu!"

"Aku Lucius dan ini Alexiel, nama baru berian Zibaq." Lucius berdehem. "Kami berada di bawah naungannya."

"Siapa Zibaq?" tanya Nemesis. "Aku seolah kenal."

Lucius menyeringai. "Dia ... Lupakan saja. Kalian fokuslah melawan kami dan tunjukkan sisi kalian sesungguhnya."

Tidak ada yang menyahut.

"Asal kalian tahu, Monsieur, meski Zibaq telah tiada, ruhnya masih bisa mengendalikan sihir layaknya masih hidup. Ia salah satu saksi."

Aku tidak tahu itu siapa. Tapi, aku paham kenapa Guardian-ku semua tampak heran.

Kulirik Michelle, gadis itu juga bingung.

"Sekarang, lepaskan dia!" Lucius menatap tajam Arsene.

Kulirik Arsene, aku yakin ia akan membebaskannya. Yah, minimal membiarkannya hidup meski dengan pengawasan.

Arsene diam saja.

Aku menoleh ke kanan, Nemesis melesat bagai kilat.

Wush!

Ia hanya menembus sebuah abu.