webnovel

Menuju Kebenaran – 10

Kucengkeram erat jubah Arsene yang kukenakan, takut jika sewaktu-waktu makhluk itu kembali muncul.

"E–"

Srak!

Kami terdorong ketika sesuatu mendekat.

Bayangan hitam menahannya, terperangkap. Hanya wajah yang terlihat.

Arsene mundur sambil mencengkeram tanganku.

Kulirik Nemesis yang berdiri di belakang lawan kami.

"Aku tahu Zayn dikhianati. Tapi, dengan ilusi tidak akan membuatku merasa bersalah!" balas Nemesis.

Lucius berjuang membebaskan diri dengan sia-sia. Dapat kudengar setiap jeritannya disertai amarah.

Nemesis membalas. "Zayn itu Guardian gagal, ia diduga membunuh dan pengguna sihir hitam."

"Jadi, kauanggap semua ini hanya kebetulan?" Lucius menatap para Guardian satu per satu.

.

.

.

Hening.

Tiada yang bersuara maupun gerak.

"Ada di antara kalian yang bereinkarnasi jadi pencipta kami, menjadi ruh tanpa raga, Zibaq," lanjut Lucius. "Ia telah lama memerhatikan kalian semua. Menunggu saat yang tepat."

"Jadi, kamu bisa jelaskan tragedi yang melanda Ezilis seabad ini?" sahut Nemesis. "Aku saja malas meminum darah manusia."

"Jangan sok suci!"

"Kalau itu sih, sudut pandangmu," balas Gill.

"Jangan prasangka!"

"Itulah alasan kami menyukaimu, Lucius," kata Arsene datar. "Kamu senang diajak ngobrol dan menghabiskan waktu alih-alih membunuh kami."

Mata merah Lucius tampak menggelap, memancarkan jurang tiada dasar, bagai mata mangsa yang lapar.

"Ah, kalian tidak mau menunda? Sini, kubantu!"

.

.

.

–KRAK!

Tidak disangka, tanah bergetar dan seluruh perabotan di ruangan yang acak semakin amburadul dan meloncat kian ke mari.

"Remi!" Arsene refleks mencengkeram bahuku dan Michelle. Ia dekap kami selagi guncangan semakin hebat.

Krak!

Mulai tumbuh rangkaian senjata bagai tangkai berduri dari tanah. Perabotan meraung selagi benda itu menari liar kian ke mari.

Tidak hanya itu, rangkaian tangkai berduri tadi juga keluar dari bagian bangunan yang lain hingga setiap sudut penuh dengan duri.

Aku gemetar. Kudekap erat leher Arsene selagi ia belai rambutku.

Michelle malah tampak sebaliknya, tenang dan terus menonton. Padahal, mendengar benda berjatuhan saja sudah membuatku takut setengah mati.

"Mati!" geram Lucius selagi menyerang membabi-buta.

Rangkaian tangkai berduri menancap ke segala penjuru. Beruntung Nemesis dan Gill berhasil menghindar.

Wuuuussshhh!

Arsene lindungi kami dengan sihirnya, menciptakan lingkaran hitam diselingi cahaya putih.

"Uhuk!"

–Kudengar ia terbatuk hingga melepas dekapan.

Sihir yang melindungi kami mulai terkikis. Darah bercampur gumpalan hitam menetes ke lantai.

"Papa?" Aku elus punggungnya. Cemas bercampur takut.

Ia tatap Lucius. Tanpa basa-basi, melesat dalam wujud penuh bayangan bagai halimun.

Dur! Dur! Dur!

Kilatan cahaya bersahutan di ruang bawah tanah.

Aku dan Michelle menatap tajam sumber cahaya yang melawan rangkaian tangkai berduri.

Gill berhasil mendekat lalu lindungi kami selagi berlutut, seperti Arsene tadi.

"Mana Nemesis?" tanya Michelle.

Gill menunjuk dengan mata. Kuikuti arah tatapannya.

Ia tengah berdiri di pojok, tampak mencari cara guna membantu rekannya. Nemesis merubah wujudnya menjadi halimun seperti. Menyelubungi Arsene dan Lucius yang mengamuk.

Suara dentum hingga jeritan saling menyahut. Bayangan hitam tampak menari di udara menghiasi dinding bawah tanah serta raungan Lucius.

"Mister Gillmore!"

Gill mendongak.

"Bantu aku!" Nemesis mengeluarkan lebih banyak halimun, menciptakan ruangan yang semakin samar.

Rangkaian tangkai berduri tadi mencuat ke sana ke mari dengan liar. Menari membiarkan ritme kematian menyertai.

Krak!

Kulihat Michelle memukul mundur beberapa tangkai yang nyaris meraihnya menggunakan kaki kursi tadi. Gill rupanya sempat membawanya untuk kami.

"Awas!"

Krak!

Nyaris saja terpukul.

Kulirik dari balik halimun, sekilas tampak bayangan dua makhluk mulai kewalahan saling menyerang. Namun, tangkai berduri itu masih menggeliat hendak menyerang.

Aku jelas cemas.

"Papa!"

Tidak kusangka, tangkai itu melesat ke arahku. Tidak hanya satu, melainkan beberapa hingga tidak terhitung jumlahnya.

"Remi!" Michelle mendorongku dengan kencang hingga aku terguling.

Buk!

Wajahku mengantam lantai ruang bawah tanah yang lembap dan bau. Aku berjuang agar tidak ada kotoran yang masuk ke hidung.

Krak!

Aku dengar Michelle terkesiap. Begitu berdiri, bulu kudukku meremang.

Itu ...

Kulihat tangkai menembus bahunya, mencuat liar menciptakan "bunga" di tubuhnya.

Mulutnya memuntahkan darah.

Tidak ...

"Papa!" Akhirnya aku sanggup menyeru.

Arsene berlutut, merintih menahan derita selagi tangkai itu masih menancap di tubuhnya.

Brak!

Aku ditabrak salah satu tangkai yang masih berkeliaran. Tubuhku mengempas ke tanah.

"Remi." Kudengar Arsene berjuang menyeru namaku.

Aku lantas berdiri dan mengabaikan luka kecil dipinggang. Duri-duri itu hanya menggores, tidak mengurangi derita menyaksikan Guardian-ku terluka.

Aku mencoba mendekat.

"Jangan!" Nemesis menarikku sebelum tangkai tadi memotong jalan.

Ia menggeram sambil menatap tajam lawannya yang meliar. Apa benar itu ilusi? Belum pernah aku menghadapi ilusi dengan kekuatan.

Lucius menyeringai. Ia biarkan benda menjijikan itu menyerang kami.

"Jangan gerak!" bisik Nemesis, walau suaranya tetap nyaring.

Aku mengiakan. Kulirik Arsene.

Ia berlutut sambil menahan rangkaian tangkai yang menusuknya, berjuang agar benda itu tidak merobek tubuh. Aku kian iba melihatnya, jelas hendak mendekat. Namun, ingat perintah Guardian-ku, ini demi keselamatan sendiri.

Lucius memainkan tangkai.

Srak!

Arsene menggerang. Tangkai yang menancap di tubuhnya ditarik paksa oleh Lucius.

Ia roboh dibanjiri darah.

"Papa!"

Aku hendak berdiri, kaki seakan ditahan. Ada perasaan janggal di hati antara kesal, takut dan sedih di saat yang sama. Melihat sang penolong terluka, jelas membuatku merasa bersalah.

Michelle hendak mendekat.

Gill menahannya sebelum sebuah tangkai berayun.

"Ia serang apa yang bergerak!" seru Gill.

Sebuah tangkai berayun ke arahnya.

Gill berdiri melindungi Michelle di belakangnya.

Krak!

Tangkai itu meremukkan kepalanya.

Darah muncrat ke arah Michelle yang melindungi wajah dengan telapak tangan.

"Gill!"

Kami menjerit. Jelas panik melihatnya terduduk tanpa kepala.

Michelle raih tubuhnya. Dia tampak pucat menatap benda yang dipegang.

Aku menggeram, membiarkan emosiku berkuasa. Hanya menangis yang bisa kulakukan saat ini. Kucengkeram tangan dengan keras.

"Gill?!" Kudengar suara Michelle. Dia terdengar bingung.

Aku mendongak, heran.

Perlahan, kepala Gill muncul kembali ke wujud asal. Ia tampak bengong. Beberapa detik kemudian, ia dekap Michelle.

"Putri! Syukurlah!" Kudengar dia tertawa lega.

Aku maupun Michelle hanya diam. Tidak tahu harus membalas apa. Barulah aku ingat kekuatannya.

Kulirik Nemesis, vampir itu tampak lebih sibuk mengurus strategi cara mengalahkan Lucius dibandingkan melihat fakta kalau Gill tidak bisa dibunuh karena kekuatannya.

Pandanganku beralih ke Arsene. Tatapan kami bertemu.

Sinar kehidupan terkikis dari matanya.

"Mister Gillmore!" panggil Nemesis. "Aku ada ide!"

Tanpa disuruh lagi, Gill menghampiri Nemesis. Memberiku peluang untuk mendekati Arsene.

Ia kian pucat dan melemah, tapi masih saja tersenyum tipis. Seakan deritanya bukan apa-apa.

Aku terisak lagi. Tidak kuat melihatnya menderita.

Tak peduli lagi, aku mendekat. Darahnya, dari mulut maupun tubuh mengotori lantai. Ia gemetar selagi menarik napas, menekan bahunya yang berlubang.

Mata emasnya menatap tajam ke belakangku.

"Remi–"

Krak!

Aku refleks lindungi Arsene dengan mendekap. Beruntung tangkai itu menusuk dinding tepat di atas, sesenti dekat kepala. Kutarik napas lega. Bersyukur nyawa tidak sampai di situ.

Krak!

Michelle potong tangkai tadi dengan potongan kayu. Tidak kusangka, gadis itu berlari menyerang Lucius yang tampak kesetanan. Atau Michelle yang meliar.

Arsene perlahan berdiri. Ia gendong aku. Tampak tak peduli dengan bahunya yang terluka.

Membawaku lari selagi lawan tidak sadar, semakin dekat menuju cahaya.

"Mau ke mana?"

–KRAK!