webnovel

Menuju Kebenaran – 8

"Bagaimana kabar Mister Perrier?" tanya vampir itu.

Kabut hitam mengikis, menyisakan dirinya yang berdiri di tengah tangga ruang bawah tanah. Ia tampak seolah baru saja keluar dari lembah kematian. Tatapannya masih dingin, padahal kami sudah saling mengenal.

"Membaik," balasku.

"Nemesis, kamu dari mana saja?" tanya Michelle.

"Kemarin, kami berhasil kabur dari kumpulan vampir," jawab Nemesis. "Aku berpencar. Mister Perrier yang menyelamatkan kalian, bukan?"

Aku mengiakan.

"Aku mendapat giliran mengirim kabar ke salah satu Guardian," ujarnya. "Sebelumnya, aku disuruh memberi kabar ke Wynter."

"Untuk apa?" tanyaku.

"Kami menyakini sesuatu dan ia tahu itu." Nemesis berpaling menghadap ruang bawah tanah, meski tidak jelas seberapa jauh kami harus menuruni tangga. "Ayo, ikut aku!"

Gill terkesiap saat kami menuruni tangga. Jelas takutnya kambuh. Aku tahu ia yang tidak mau ditinggal sendirian, terpaksa menyusul meski kudengar langkahnya yang tergesa-gesa. Sesekali ia menjerit tertahan ketika nyaris tergelincir.

Aku sesekali menghentikan langkah demi menjaganya. Gill kemudian menghabiskan waktu bergandengan denganku supaya tidak jatuh atau takut lagi. Kasihan Gill, entah apa yang membuatnya takut.

Nemesis memimpin jalan menuju ruang bawah tanah. Anehnya, kami harus melewati puluhan bahkan ratusan anak tangga dalam cahaya remang ditambah cahaya kalung kami berdua. Semua saling berpegangan, membentuk rantai makhluk hidup selama menyusuri tangga yang tampak tak berujung.

Kulirik semua orang, tiada yang berniat membuka mulut atau mencairkan suasana. Semua seolah sibuk dalam pikiran sendiri. Kenapa semuanya diam saja?

Gill tampak lebih tenang saat bergandengan, meski jelas tangannya masih saja gemetar. Aku jadi kasihan, namun tidak mampu berkomentar akibat fokus menuruni tangga berlapis beton ini.

"E–"

Gill refleks menarikku mendekat. Aku nyaris tergelincir entah menginjak apa.

"Maaf," bisikku malu.

Gill menghela napas. "Kenapa ke dalam sini? Anak-anak dalam bahaya."

Nemesis menyahut, "Kamu bisa menjaga mereka di atas kalau mau. Aku hanya meminta saksi dan menghindari Evergreen."

Balasan itu lantas membungkam Gill. Aku tahu, ia pun tidak mau kembali ke atas walau niatnya hendak mengajakku juga. Akhirnya ia memilih terus meski aku tahu dari wajahnya, sangat keberatan.

Di dalam tampak tak berdasar. Aku merasa tidak enak, di sisi lain penasaran dengan isinya. Lagipula toh, ada dua Guardian menjaga.

Nemesis menghentikan langkah.

"Ada apa?" tanya Michelle.

"Perlu kalian ketahui, Evergreen merancang rumahnya seperti tempurung dalam satu malam," jelas Nemesis sambil meneruskan langkah. "Aku tidak bisa masuk kecuali dalam wujud kabut. Rupanya, ia mencoba mengurung kita di sini."

"Untuk apa?" tanyaku.

"Entahlah."

Kami meneruskan langkah hingga tiba di sebuah ruang luas seperti gua. Hanya beberapa obor yang tersedia, anehnya masih menyala terang seolah dijaga.

"Kita ke mana?" tanya Michelle.

"Ada yang ingin kucari," ujar Nemesis. "Wynter dapat petunjuk dari mimpi."

Aku jelas skeptis. Bagaimana bisa bunga tidur dijadikan petunjuk? Apa mereka tidak bisa membedakan kenyataan dengan campuran khalayan dan peristiwa? Lagi-lagi, aku memilih diam daripada memulai perdebatan. Apalagi dengan sosok seperti Nemesis yang tampak teguh pendirian.

Tibalah kami di antara dua pintu gua. Nemesis mengendus udara sebelum maju. Ia dekati pintu sebelah kiri dan mendesis.

"Mister Gillmore," panggilnya.

Gill menyahut, "Ya?"

"Aku lihat di dalam ada pasukan mayat hidup, barangkali mantan antek-antek Miss Wynter."

Yang dimaksud Nemesis pasti Nisma.

Sesuai dugaan, Gill mundur selangkah dengan bibir bergetar. "Kamu ... Mau apa?"

"Kamu Pengalih-Rupa, bukan?" Nemesis masih serius, seperti biasa. "Gunakan!"

Gill malah kabur.

Nemesis menggeram. "Pengecut! Kenapa kamu layak jadi Guardian?!"

"Sudahlah, Nemesis," tegur Michelle.

Aku setuju dengannya, kami berdua tidak tega melihat Gill seperti ini. Kami tidak tahu masa lalunya di Shan yang barangkali bikin trauma.

Vampir itu menarik napas. "Sudah, aku akan membuka dan melawan mereka dengan atau tanpa Mister Gillmore!"

Brak!

Nemesis hancurkan pintu dengan sekali tinju.

Kumpulan mayat hidup tadi berpaling, erangan serta geraman memenuhi telinga, membuatku tersiksa secara batin. Belum lagi wajah busuk mereka, tanpa mata lagi. Hanya ada tulang dengan lelehan kulit.

Michelle menarikku mundur sementara Nemesis dengan gesit mematahkan leher musuhnya tanpa henti maupun gentar.

Jumlah mereka ternyata bertambah banyak.

Aku menelan ludah, membayangkan nasib Nemesis. Tanpa Gill, ia tidak bisa bertahan lama. Duh, ke mana ia?!

Nemesis kian terpojok. Ia nyaris digigit oleh lima mayat sekaligus. Beruntung ia refleks membelah mereka hanya dengan sebelah tangan.

Nemesis menggeram. "Di mana Guardian lain?!"

Aku mencoba membantu dengan menendang sebiasanya.

Michelle berhasil menarik kepala salah satu tentara meski dia nyaris dimakan hidup-hidup. Mereka bukannya takut, malah makin gencar memojokkan kami.

Aku kepalkan tinju, siap melawan meski sia-sia. Begitu pula dengan Michelle, kami mencoba membantu Nemesis dengan meninju beberapa mayat hidup dan menghindari gigitan.

"Hei! Hentikan!"

Suara cempreng itu ...

Aku menoleh.

Nisma?!

Gadis berambut hitam itu menyeringai. Dia tatap kumpulan mayat hidup itu. Ajaib, mereka diam dan melepaskan Nemesis.

Nemesis berdiri melindungi kami, ia masih menatap tajam Nisma. "Hentikan mereka!"

Nisma memayunkan bibir. "Cih! Bentar."

Nisma angkat kedua tangannya. "Hoi, Mayat-Mayatku! Kuperintahkan kalian mengubur diri dengan damai. Jangan pernah keluar sampai mendengar titahku!"

Dengan mudahnya mereka patuh lalu, entah bagaimana, mengubur diri hingga kembali menjadi tanah lapang tiada cacat.

Hening lama.

Tidak kusangka salah satu anak Wynter bisa datang ke sini. Padahal, Nemesis saja harus merubah wujudnya. Jangan-jangan ....

"Huft, hampir saja." Nisma gemetar.

Ah, aku tahu siapa itu. "Gill?"

Nisma jadi salah tingkah. "Eh–Pa-Pangeran?"

"Mister Gillmore?!" Nemesis mundur selangkah saking herannya.

Cahaya hijau menyelubungi tubuh itu, perlahan keluar Gill dengan wajah tertunduk seolah telah berbuat kesalahan.

"Maaf, tadi aku ... Mau pilih antara serang atau akting. Karena aku takut ..."–Ia gosok lehernya–"Aku pilih berpura-pura jadi Nisma. Ah, untung berhasil."

Untuk kali pertama, kulihat Nemesis tersenyum dan menepuk bahu Gill. "Kerja bagus, Guardian!"

Gill tampak tersenyum canggung. "Um, anu, maaf bikin kalian marah. Aku memang takut tadi."

"Tidak masalah!" kata Nemesis. "Sekarang, kita perlu mencari benda lain!"

"Ini ... Sudah hampir malam, kayaknya," ujar Gill. "Lanjut besok saja."

"Kalau begitu, kamu kembali saja ke atas dan pastikan Evergreen tidak ke sini!"

Gill mengangguk.

Tuk ... Tuk ... Tuk ...

Begitu ia hendak melangkah, terdengar suara yang tidak dikenali maupun disukai.

"Kalian belum lulus ujian kalau sekadar mengalahkan pasukan mayat tadi."

Ya, seharusnya Nisma yang mengucapkannya. Tetapi, ini rumah Evergreen dan keluarga Wynter tidak bisa masuk kecuali dapat menghancurkan bentengnya dari awal.

"Aku curi teknik yang Nisma lakukan!" serunya. "Kini, aku butuh darah untuk bangkitkan mereka lagi!"

Yang mengucapkannya, sosok pucat berpakaian serba hitam seperti Nemesis. Ia berdiri di atas sana, di antara dinding ruang bawah tanah, berdiri dengan seringai selagi menatap mangsanya.

Aku ingat ia. Sosok yang menyerang Arsene. Tunggu, bukannya dia sudah jadi abu?

"Dasar bodoh!" decaknya. "Kalian terlambat mengambil keputusan. Kini, terima akibatnya!"