webnovel

Menuju Kebenaran – 7

Aku terbangun di kasur baru pada dini hari. Kulirik sekitar, tidak ada seorang pun menemani. Lantas, aku mencoba keluar dan mencari seseorang untuk diajak mengobrol.

Kemarin malam, Evergreen menyuruhku tidur di sini, walaupun aku merasa tidak nyaman lantaran ini terlalu asing.

Apalagi perihal malam itu. Aku seakan tidak percaya, namun tentu tidak bisa menolak ucapan Arsene.

Pintu kamar kubuka. Lantas mencari kamar Arsene untuk menjenguk.

Tok! Tok! Tok!

Aku hendak memanggil, tapi–

"Eh?"

Baru saja mengetuk, keluar wajah Dokter yang ... Berantakan. Rambutnya acak-acakan serta mata yang tampak kelelahan.

"Remi?" herannya.

"Dimana Pa–"

Terdengar suara batuk dari belakang.

Bibirku bergetar. "Pa–"

Ia memotong. "Kamu tidurlah, biarkan ayahmu istirahat."

Klik

Ia tutup pintunya.

Aku yang tidak bisa berkata-kata, hanya duduk berharap cemas di luar sambil menyandarkan tubuh.

Aku tahu apa yang terjadi.

Keadaannya memburuk. Itulah yang membuatku takut. Dadaku terasa sakit seolah merasakan deritanya, sementara jiwa ini berjuang untuk tidak menangis. Air mata mengalir. Pikiran kacau. Aku peluk lutut sambil berharap cemas.

"Pangeran?"

Mendengarnya, aku mendongak lalu memeluknya erat. Dari suaranya, aku tahu persis itu siapa.

"Pangeran?" Gill lagi-lagi heran.

Aku tidak menyahut.

Gill mengelus rambutku. Selama beberapa saat, tiada yang bersuara. Semua diam dan berharap. Aku perlahan terbuai di pelukan Gill. Melepas lelah.

Aku merasa digendong lalu dibaringkan di kamar. Aku tahu Gill pasti tidur di sampingku, menjaga. Ia pula yang menyelimuti dan berbaring di sisiku dalam posisi nyaris jatuh dari ranjang. Hanya ia yang bisa menenangkanku saat ini.

Aku lanjutkan tidur.

***

Pada pagi hari, aku terbangun dan mendapati Gill tidur di lantai entah kenapa.

"Gill?"

"Hm." Ia membalas malas. Jelas mau melanjutkan tidur.

Aku menyelimutinya lalu berjalan pelan keluar kamar.

Evergreen tampak terkejut melihatku bangun sedini ini. "Kamu lapar?"

Aku menggeleng pelan.

Evergreen menuntunku ke ruang makan. Michelle sama lesunya denganku. Kami duduk dalam diam sementara Evergreen membangunkan Gill. Aku entah kenapa tidak berselera makan.

Michelle jelas mencemaskan sesuatu. Dia hanya menyentuh makanan dengan sendok tanpa menyuap. Aku mencoba makan meski hanya segigit. Setidaknya masih ada secuil selera dariku.

Aku harus makan, supaya tidak sakit. Entah siapa yang menyebutnya. Kurasa itu orangtua yang tidak bisa kuingat. Ah, andai aku tahu siapa mereka.

"Remi." Michelle memanggil. "Kenapa lesu?"

"Kamu juga," balasku tanpa menatapnya.

Dia menghela napas. "Aku takut."

Aku mengiakan.

"Entah kenapa aku jadi penakut begini. Terakhir ... Aku tidak sepayah ini."

"Benarkah? Apa yang kamu ingat?"

Michelle menatap sekeliling, seakan takut diintip. Dia lalu bertutur dengan suara sepelan mungkin, tapi masih bisa kudengar jika mendekat.

"Aku ... Sebenarnya berambut hijau." Michelle menunjuk kepalanya. Terlihat akar rambutnya yang hijau.

Aku mengerutkan kening. "Kamu orang mana?"

"Sepertinya Shyr," ujarnya. "Aku masih ingat dialek dan beberapa kata dari sana. Anehnya, aku juga bisa berbahasa Ezilis sepertimu."

"Sama," balasku. "Tapi, aku tidak yakin dari mana asalku. Dari penampilan, barangkali aku memang orang sini."

"Kamu ingat apa saja?" tanyanya. "Aku bersyukur tidak kehilangan ilmu yang barangkali dengan susah payah kucari."

"Misalnya?"

"Aku bisa berbahasa Ezilis dan Shyr, tahu beberapa hal tentang sihir, sejumlah cerita rakyat ... Pokoknya lumayan." Michelle lalu menyuap sarapan, akhirnya berselera. "Kalau kamu?"

"Entahlah." Aku menggaruk rambut. "Mungkin berbahasa Ezilis dan sejumlah kosakata. Buktinya, aku bisa bicara dan membaca dengan lancar sepertimu."

Hening sejenak.

Michelle menarik napas sambil menyuap. "Aku benci kalau begini. Aku cemas jika harus melupakan orang yang berarti bagiku."

Aku mengiakan. Kami senasib.

"Andai ada cara mengembalikan ingatan," ujarnya.

"Adakah?" tanyaku antusias.

Michelle diam dan menunduk. Jelas mengecewakan.

"Mana Pangeran?"

"Di situ, lagi makan selagi kamu ketiduran."

Kami kembali makan dalam hening. Tak lama, Gill datang. Masih mengantuk dan Evergreen terpaksa menuntunnya.

"Pagi," sapanya berusaha menggumpulkan tenaga.

Aku menyahut.

"Wah, kalian suka, ya!" Evergreen tersenyum. Ia elus rambutku. "Makan yang banyak. Nanti sakit."

Aku mengiakan lalu kembali makan. Terbayang wajah Arsene di benakku. Aku berdiri dan menatap Evergreen.

"John, izinkan aku menjenguk Arsene!"

Evergreen tersenyum. "Boleh. Sebentar, kubuatkan sarapan untuknya."

***

Aku bawa sepiring makanan dan segelas teh hangat untuknya. Dengan hati berbunga melangkah ke kamar Arsene, berharap ia membaik.

Begitu pintu terbuka, Dokter Youngfeather tengah berbaring di lantai beralas kasur tipis dan selimut. Rambut putih dan hitamnya berantakan, kacamata diletakkan di samping bantal, ia jelas kewalahan.

Kamar berantakan bak kapal pecah, banyak tisu dan kain berdarah berserakan.

Di depan, Arsene berbaring dengan napas sedikit terburu, entah sedang tidur atau setengah sadar.

Kulirik darahnya yang terkumpul di sebuah wadah. Aku bergidik menyadari ada gumpalan hitam, perlahan tampak berusaha mengerogoti darah merah. Pertarungan kecil itu justru dimenangkan oleh darah merah. Jumlah mereka bertahan lebih lama dan berkembang pesat. Kini, aku paham bagaimana Arsene bisa bertahan lebih lama.

Pancaran kalungku memburam.

Ia terbangun. Mata emasnya melirikku.

Aku tersenyum. "Evergreen buatkan sarapan."

Arsene perlahan duduk dan mengamati sarapan. Aku dekatkan piring, menyuruh makan. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya.

"Bilang padanya jika aku kenyang," kata Arsene.

"Aku yang memintanya memasak."

Ia terdiam. Kembali menatap sarapan dengan ragu. Gelagatnya jelas membuatku curiga.

Arsene terbatuk pelan. Ia kembali berbaring, tatapannya tertuju ke langit-langit.

Aku ikuti arah pandangnya. Meski tidak pernah mengalami, aku seolah merasakan rasa sakit yang sama.

"Papa?" Aku menatap cemas. Kembali memanggilnya seperti kemarin.

Matanya terpejam. Ia tampak berusaha tidur lagi. Kuelus keningnya yang panas.

"Aku dulunya sangat lemah, keluar rumah saja hampir membunuhku. Mungkin, ini alasan mengapa mereka menamaiku Arsene, yang artinya kuat."

Aku dengar ia memburu napas, seolah bicara tadi telah menguras tenaganya. Dengan mata terpejam, masih tampak lemah, berjuang melanjutkan kalimat.

"Aku tahu mereka mencintaiku sepenuh hati. Tapi, kamu pasti paham betapa malunya aku dilahirkan seperti ini. Setiap malam, selalu meringkuk di selimut dengan takut, mengira suatu saat mereka akan membuangku. Aku buah dari cinta terlarang mereka."

Ia terbatuk selama beberapa saat. Darah mengotori sedikit mulut dan tangan.

Kuraih selembar tisu dan membersihkan kekacauan tadi. Kemudian, meraih segelas air dan meminumkannya. Kutunggu ia hingga sedikit tenang.

Belum pernah aku melihat Arsene begitu masygul, biasanya ia tampak cuek dan menerima semua apa adanya. Kini, ia hanya pria malang yang berbaring lemah di hadapanku.

Begitu napasnya teratur, ia kembali bicara dengan lancar meski lirih dan hampir tidak terdengar.

"Syukurlah kalian selamat." Ia perlahan membuka mata dan melirikku.

"Ada apa tadi?" tanyaku. "Dimana Nemesis?"

Ketika Arsene hendak menyahut, ucapannya terpotong dengan decitan pintu. Tatapan yang awalnya tampak lemah, berganti jadi lebih waspada.

"Ah, kamu sudah makan?" Evergreen muncul di ambang pintu dengan senyuman tipis. "Baguslah."

Arsene tidak menyahut, menatapnya dingin.

"John, boleh nanya?" tanyaku.

"Tentu, Remi."

"Kamu bisa cari Nemesis untuk kami?" tanyaku. "Kamu bisa 'kan, menyuruh anak buahmu?"

Evergreen tertegun. Ia jelas keberatan. Aku lirik Arsene, kami sama-sama ragu.

Evergreen menghela napas berat. "Baik."

"Kamu tampak keberatan," ujar Arsene.

Pria itu jadi salah tingkah. "Tidak. Hanya ... Tidak tahu."

"Apanya?" Arsene menatap dingin Evergreen. "Kalau keberatan, bilang saja. Jangan malah mengurung kami di sini!"

Apa? Mengurung? "Tunggu, apa–"

"Mengurung katamu?" Evergreen terkekeh. "Efek demam, ya?"

Arsene tidak menyahut, tatapannya dingin dan menusuk.

Evergreen mendekat lalu menyentuh kening Arsene. "Ah, kamu masih demam rupanya. Istirahatlah."

"Aku tahu kamu dalang di balik semua ini," kata Arsene.

Evergreen mengatupkan rahang. Ia menghela napas dan kembali tersenyum. "Dalang apa, Monsieur? Anda tampak payah hari ini. Sebaiknya tidur saja. Tadi itu benar-benar kacau."

Ia diam saja.

Dokter tiba-tiba bangun. Ia merentangkan otot dan nyaris kaget melihat kami.

Evergreen tersenyum. "Makanlah, aku sudah sediakan sarapan untukmu."

Aku berpaling, hendak melihat Arsene. Pria itu tampak terlelap di kasur seolah belum siuman.

Dengan heran, kulirik Evergreen yang masih menatap pintu yang terbuka bekas kepergian Dokter.

"Ayo, Nak!" Evergreen menuntunku keluar.

Aku yang kebingungan hanya bisa patuh. Banyak pertanyaan muncul. Apalagi perihal ucapan Arsene tadi. Apa benar? Atau igauan saja? Aku yakin ia sepenuhnya sadar, sama halnya dengan malam itu, ketika ia mengungkapkan segelintir soal Evergreen.

***

"Ada yang ingin kuurus."

Sebelum pergi, Evergreen sempat memberi pesan untuk tidak keluar rumah apapun alasannya. Aku lagi-lagi mengangguk patuh sementara Michelle dan Gill hanya diam menatap kepergiannya entah ke mana.

"Kalian aman di sini." Ia tersenyum lalu pergi begitu saja.

Gill menghela napas. "Kamu tahu, aku jelas tidak nyaman dikurung begini."

Aku hanya mengiakan.

Michelle masuk. "Aku ingin berkeliling rumah."

"Ikut!" responsku.

"Eh, eh! Tunggu!" Gill menahan bahu kami. "Kalian mau ke mana? Nanti tersesat!"

"Kami mau berkeliling," balas Michelle. "Terserahmu mau ikut atau tidak."

Balasan itu jelas menjebak Gill. Mau tidak mau, ia ikut meski takutnya kambuh beberapa saat lagi.

Rumah Evergreen ternyata menyimpan banyak ruang kosong yang tidak terkunci. Isinya memang tidak penting untuk diceritakan, namun tetap saja aku penasaran dengan seluruh isinya.

"Pangeran," bisik Gill. "Kalian jangan salah masuk, ya."

Ia yang menjaga, ia pula yang takut.

"Kalau takut, tidak perlu ikut, kok." Michelle menghentikan langkah tepat dekat tangga ruang bawah tanah.

Begitu mengucapkannya, ruangan diselubungi kabut hitam. Gill refleks mencengkeram tangan kami dengan gemetar. Ia menatap liar sekitar.

"Ada ... Apa ini?" Gill terkesiap. "Setan!"

Aku dan Michelle menatap lurus ke depan. Sosok hitam muncul di antara kabut itu. Mata merah itu menatap kami dingin, perlahan menunjukkan wujudnya.

"Nemesis?"